Dua kandidat presiden dalam Pemilu 2019, yakni Joko Widodo serta Prabowo Subianto, masih dikelilingi oleh kepentingan perusahaan batu bara. Hal ini terungkap dalam sebuah laporan berjudul Coalruption: Elite Politik dalam Pusaran Bisnis Batu Bara yang diluncurkan oleh Greenpeace, Auriga, Indonesian Corruption Watch (ICW), dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).

Salah satu elite politik penguasa bisnis batu bara yang jadi sorotan adalah Luhut Binsar Pandjaitan. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman tersebut merupakan pemilik Toba Sejahtra Group yang mengoperasikan sejumlah tambang di Kalimantan Timur (Kaltim).

Tata Musytasya dari Greenpeace mengatakan, studi kasus terhadap anak usaha Toba Sejahtra, yakni Kutai Energi, menunjukkan perusahaan tersebut menyebabkan kerusakan lingkungan. Dari data yang dirilis dalam Coalruption, 4 dari 10 lubang terbuka di daerah konsesi Kutai Energi di Kutai Kartanegara tidak direklamasi. Bahkan di salah satu lubang, airnya mengalir ke Sungai Nangka tanpa disaring. Meskipun ada temuan ini, belum ada tindakan untuk menghentikan pencemaran.

Tata menjelaskan, korupsi yang dilakukan para elite seperti contoh kasus ini adalah korupsi politik dengan memanfaatkan struktur oligarki dan desentralisasi. Coalruption menyebutkan, Bupati Kukar saat itu Rita Widyasari dianggap dekat dengan Luhut dengan menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi bagi Trisensa Mineral Utama dan memperpanjang izin milik Indomining. Keduanya merupakan anak usaha Toba Sejahtra. “Bagaimana elite melakukan ini dengan memanfaatkan kerja sama pemerintah nasional dan daerah,” kata Tata, di Jakarta, Senin (17/12).

Bukan hanya Luhut, kecenderungan elite menguasai bisnis batu bara ini juga terjadi pada Prabowo Subianto. Dari laporan tersebut, Nusantara Energy yang sebagian besar sahamnya dimiliki Prabowo, sempat berebut konsesi lahan tambang dengan perusahaan Inggris yakni Churchill Mining di Kutai Timur. Namun, Bupati Kutai Timur saat itu Isran Noor mencabut izin Churchill dan memperpanjang izin Nusantara Energy. Isran di kemudian hari diusung Gerindra untuk menjadi Gubernur Kalimantan Timur.

“Banyak juga kasus perusakan lingkungan hidup (Nusantara) tapi kawan saya yang tahu persis,” kata Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Elite lainnya adalah Sandiaga Uno melalui Saratoga dan Erick Tohir yang merupakan adik Boy Tohir juga dianggap dekat dengan bisnis batu bara.

Pendanaan Politik

Merah menyebutkan, dari data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2015, rata-rata kebutuhan pendanaan politik setiap kandidat walikota dan bupati mencapai Rp 20-30 miliar, sedangkan untuk gubernur mencapai Rp 100 miliar. Sedangkan rata-rata besaran Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) hanya Rp 6-7 miliar.
“Jadi ada ruang dan gap gelap yang dapat dipakai sponsor politik,” ujar dia.

Oleh sebab itu, para LSM dan para penanggap laporan mengingatkan, pemerintah harus segera meninggalkan bahan bakar kotor seperti batu bara. Selain itu aturan Beneficiary Ownership (BO) juga harus ditegakkan untuk mengetahui kepemilikan perusahaan ini dan hubungannya dengan para kepala daerah.

“Menyelesaikan (konflik kepentingan) di batu bara ini menjadi pintu masuk menata konflik yang lain-lainnya,” kata Pengamat Ekonomi Politik Faisal Basri, yang jadi penanggap laporan tersebut.

Sumber : https://katadata.co.id/berita/2018/12/17/elite-politik-dua-kubu-capres-di-pusaran-bisnis-batu-bara