Kanopi Bengkulu – Konsolidasi masyarakat sipil melawan ekspansi besar-besaran pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di Sumatera Selatan digelar pada 26 Juli 2017, di Sekretariat Hutan Kita Institute (HAKI), Palembang, Sumatera Selatan. Kegiatan diawali dengan sambutan Direktur Eksekutif HAKI, Aidil Fitri. Ia menyebut HAKI selaku organisasi yang konsen terhadap keselamatan lingkungan menyambut baik inisiatif Kanopi Bengkulu dalam menggelar acara konsolidasi ini.
Substansi acara disampaikan oleh Ali Akbar (Ketua Kanopi Bengkulu). Dalam presentasi berjudul “Membangun aliansi melawan PLTU Batubara”, Ali menyatakan bahwa Sumatera Selatan menjadi pusat dari ekploitasi energi batu bara, dimana 40 persen cadangan batu bara Indonesia ada di Sumatera Selatan. Tingginya deposit batubara tentu saja pada satu sisi menjadi primadona bagi Sumatera Selatan sebagai sumber ekonomi, akan tetapi pada sisi lain juga berdampak kepada semakin rendahnya kualitas lingkungan yang menurunkan kualitas hidup.
Sebagai lumbung batu bara Sumatera, wilayah ini juga menjadi target nasional sebagai sumber energi listrik. Berdasarkan RUPTL 2016-2026, Sumatera Selatan ditarget jadi sarang PLTU batu bara dengan total kapasitas 3.890 MWyang tersebar di 7 lokasi.
Dengan target sebesar itu, maka dapat dibayangkan berapa banyak polutan yang bersifat racun akan terlepas ke udara. Belum lagi dampak ikutan lainnya seperti konflik sosial dan kehilangan mata pencaharian sebagai akibat turunnya kualitas dan kuantitas sumber penghidupan pendukung laju ekonomi rakyat.
Selanjutnya juga disampaikan bahwa diperlukan tindakan bersama untuk menghentikan rencana pembangunan PLTU batu bara melalui beberapa rangkaian kegiatan seperti membangun pertemanan dengan komunitas, melakukan serangkain penelitian untuk mengetahui dampak, melakukan penguatan kapasitas warga serta menyusun strategi bersama sebagai panduan dalam menjalankan agenda perlawanan terhadap penggunaan energi kotor itu.
Sesi selanjutnya disampaikan oleh Ariffiyanto/Greenpeace yang menyebut program 35.000 MW yang dicanangkan oleh pemerintahan Jokowi-JK masih menitikberakan pengunaan energi kotor batu bara, yang mulai ditinggalkan dunia karena sumbangsihnya bagi pemanasan global. 60 persen daya 35.000 MW berasal dari PLTU batu bara. Sementara fakta bicara bahwa akibat pembakaran batubara sebagai bahan pembangkit listrik telah menyebabkan kerusakan teramat memprihatikan.
Jargon pembangunan pembangkit listrik adalah untuk meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, faktanya dari 35 000 MW itu 60 persen dibangun di Jawa yang dipergunakan untuk industri. Alih-alih menerangi wilayah-wilayah yang sekarang ini tidak ada aliran listriknya. Atas dasar fakta ini maka dapat disimpulkan bahwa pembangunan PLTU bukan untuk memenuhi kebutuhan rakyat akan tetapi untuk melayani industri.
Selain itu jargon bahwa PLTU Batubara adalah energi murah juga perlu dikaji lebih dalam, jika akumulasi biaya pembangkit batubara ditambah dengan biaya eksternalitas seperti kerusakan lingkungan dan penyakit yang ditimbulkan, maka PLTU batubara sebagai bahan bakar murah sudah terbantahkan
Sekarang ada tiga negara yang menjadi pemodal utama pembangunan PLTU di Asia, yaitu Jepang, Korea selatan dan China. Ironisnya di tiga negara tersebut justru pembangunan PLTU sudah dihentikan dan secara perlahan mengganti pembangkitnya menjadi pembangkit yang lebih ramah lingkungan seperti panel surya dan pembangkit bertenaga air dan gelombang.
Penggunaan teknologi PLTU batu bara dari sub critical dan ultra critical dan super ultra critical sejatinya masih belum bisa menjawab permasalahan terkait pencemaran akibat penggunaan batu bara sebagai bahan bakar pembagkit PLTU.
Sumatera Selatan, sebagai lumbung energi Sumatera menjadi target utama dalam proyek PLTU 35.000 MW terutama untuk Sumatera, PLTU mulut Tambang yang sekarang sedang di inisiasi di diperkirakan akan berdampak buruk kepada Sumatera Selatan secara khusus dan Sumatera secara umum.
Untuk itu diperlukan rencana aksi bersama guna melawan proyek pembangunan PLTU batubara guna menghentikan laju kerusakan lingkungan yang semakin memprihatinkan.
Sesi respon diawali oleh Dr. Tarech Rasyid. Dosen Universitas Ida Bayuni ini menyatakan bahwa wilayah Musi Banyu Asin akan dieksploitasi batu baranya. saat ini sedang terjadi permasalahan terkait tapal batas guna mendapatkan pembagian rejeki dari eksploitasi yang dilaksanakan, ke depan dikhawatirkan dampak dari ekploitasi seperti yang ada di Muara Enim dan Lahat yang kondisinya memprihatinkan.
Ada dua pilihan menurut Tarech. Diam atau kerja bersama-sama. Satu sisi banyak rekan yang berada dalam pemerintahan tapi kebijakan pemerintahan saat ini tidak ramah lingkungan. Ada kontradiksi. Bila aliansi berhadapan dengan pemerintahan Jokowi lalu berhadapan dengan teman sendiri. Mereka bagian dari rezim. “Di satu sisi kita dihadapkan pada nilai-nilai kemanusian. Di barisan penguasa ada banyak teman-teman kita. Bergerak apakah hanya disebut sebagai peduli lingkungan. Atau bagian dari kekuasaan ada yang dijalankan dan bagian lain mengingatkan. Perlu diperjelas posisi masing-masing. Bagaimana menghadapi politik lingkungan”.
Atas penyataan yang dilontarkan Dr Tarech Rasyid tersebut Rabin Zainal, Direktur Eksekutif Yayasan Pilar Nusantara (Pinus) mengungkapkan fakta bahwa dari 359 IUP di Sumatera Selatan, 200 izinnya sudah dicabut karena tidak Clear and Clear (CnC). Dari jumlah izin yang dicabut tersebut, 10 menuntut ke pengadilan tata usaha negara, dan 6 diantaranya sudah diputuskan oleh pengadilan tata usaha negara dan dimenangkan oleh penggugat (perusahaan)
Merespon Sumsel sebagai lumbung energi Sumatera, 2007-2008 sebenarnya Sumsatera Selatan justru mempunyai ambisi untuk menjadi lumbung energi nasional. Hal ini dibuktikan dengan adanya rencana pembangunan koneksi Sumatera ke Jawa lalu Singapura.
Proyek PLTU yang dianggap serius adalah PLTU yang sekarang sedang dibangun oleh Sinar Mas di wilayah Banyu Asin (Bayung lincir). Menurut Rabin saat ini pasar terakhir batu bara domestik adalah PLTU. “Kalau mau menghentikan eksploitasi batu bara maka hentikan PLTU”.
Terakhir Rabin menyatakan bahwa edukasi kepada masyarakat sangat penting, karena pertahanan terakhir dari upaya menghentikan aktivitas pertambangan adalah rakyat terdampak, warga yang memahami dampak dipercaya akan melakukan perlawanan untuk menghentikan setiap rencana yang akan berdampak buruk kepada mereka.
Imelda yang bekerja di Yayasan BUMEI menyatakan bahwa masyarakat sudah merasakan dampak eksploitasi batu bara antara lain pendapatan menurun dan bentang lahan berubah bahkan rusak. Ia mencontohkan tiga desa yang terdampak di sekitar Bukit Serelo. Secara ekonomi lanjutnya, daerah juga tidak mendapatkan pemasukan signifikan dari sektor pertambangan. Kalau pun ada, nilainya tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan.
Dede Shineba mantan Dewan Nasional WALHI, Mantan deputi direktur KPA yang sekarang bekerja di Badan Registrasi Gambut Sumatera Selatan mengulas tentang arah kebijakan energi yang salah maka dari itu yang diadvokasi haruslah kebijakan. Energi kotor adalah termurah untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. Kebijakan energi alternatif atau terbarukan belum masif.
Kerusakan lingkungan sudah banyak cerita itu tapi bagaimana memenuhi energi itu di daerah. Tetap di lapangan ada kerja advokasi, tingkat elit juga perlu didorong. Menentukan orang yang tepat. Pertarungannya keras karena isi elit politik di Jakarta, karena senayan diisi politisi pendukung HTI, tambang dan kebun.
Ada beberapa orang yang komitmen untuk mengembangkan energi terbarukan di ESDM tapi tidak didukung pemerintah. Untuk sumber listrik yang besar memang kemampuan pemerintah. Energi terbarukan dikembangkan tapi skalanya sangat kecil.
Mengulas semua pandangan dari beberapa peserta diskusi, Arifiyanto dari Greenpeace memberikan beberapa pandangan, pertama, sektor Minerba hanya 9 persen memberikan sumbangan bagi pendapatan nasional, batu bara hanya 4 persen. Batu bara dianggap murah karena tidak pernah dihitung biaya kesehatan, sosial dan ekonomi.
Karakter sektor batu bara beda dengan hutan. Kalsel target Adaro, ekspos dampak sudah sering tapi belum terlalu berpengaruh. Semua elemen harus disasar, level kebijakan, masyarakat dan investasi terutama Jepang, China dan Korea Selatan
Terakhir Ali Akbar menyampaikan bahwa target utama dari kerja advokasi membangun aliansi adalah
berhentinya aktivitas pembangunan pembangkit PLTU di Sumatera dengan pertimbangan daya rusak sektor ini mulai hulu hingga hilir yang mengancam keberlangsungan hidup. Untuk itu ada dua capaian yang harus diraih adalah minimal terjadi penundaan operasi dari rencana yang sudah ditetapkan. Selain itu juga terkait teknologi dimana sekarang hanya Jawa yang mengunakan teknologi super ultra critical, maka jika tidak dapat dihentikan minimal teknologi yang akan digunakan di Sumatera sama dengan di Jawa.
Harus diakui bahwa kerja kampanye dan advokasi yang selama ini dilakukan belum menggugah banyak pihak. Data dan informasi yang disampaikan belum menjadi parameter ketika negara merumuskan kebijakan tentang pemenuhan kebutuhan energi listrik. Atas kondisi ini diperlukan kajian yang mendalam terkait dampak dan pengaruh buruk PLTU batu bara terhadap kesehatan, llingkungan dan sosial. Pada tingkat tapa,k warga harus di beri pemahaman yang utuh tentang baik buruk PLTU batu bara atas dasar pengetahuan yang utuh, maka kedepan diharapkan komunitas terdampak akan melakukan pencegahan secara mandiri dari rencana pembangunan PLTU batu bara.
Terakhir, melawan pengunaan energi kotor tidak dapat dilaksanakan dengan melakukan kerja-kerja sendiri, diperlukan aliansi yang luas tanpa memandang batasan administratif, karena sesungguhnya kesenangan yang dinikmati oleh satu wilayah, seringkali mengorbankan wilayah lain.
Hentikan penggunaan energi kotor, segera beralih ke energi terbarukan!