Catatan Perjalanan Seorang CO
September 2017

Hari itu masih pagi, saya menghirup kopi yang sudah disediakan oleh istri pak Midin salah seorang tokoh masayarakat di Kelurahan Teluk Sepang. Sebagai pendamping warga yang ditugaskan oleh lembaga Kanopi Bengkulu, keseharian saya berada di antara permukiman warga dan pelabuhan yang hanya berjarak satu kilometer.

Beberapa hari terakhir ini mata saya tertuju pada aktivitas sekelompok perempuan di tumpukan batu bara. Awalnya saya tak tahu apa yang mereka kerjakan.

Saya coba mendekati salah seorang diantara mereka, namanya Miswati. Pertanyaan-pertayaan untuk menjawab rasa penasaran pun saya lontarkan. Apa jenis pekerjaan mereka, bagaimana proses kerja dan yang paling menganggu saya adalah kondisi lokasi bekerja yang diselimuti debu batu bara.

Membersihkan batubara dari batu dan tanah atau yang lazim disebut“parting”, merupakan pekerjaan yang mereka lakukan. Kami sudah terlatih membedakan batu sungai, bongkahan tanah atau batu lapis walaupun sudah berwarna sama dengan batubara, kata Miswati.

Panas terik matahari tak mereka hiraukan. Caping di kepala, muka dibungkus masker dan syal, adalah perlengkapan kerja yang jauh dari kata standar.

Berdiri disamping “tangan” alat berat harus dilakukan karena ketika batubara diserakan akan terlihat mana batubara mana yang bukan. Dengan menggunakan garpu kecil bersama dengan teman-temannya tanpa kenal takut menggaruk kotoran tersebut dan memisahkannya dari tumpukan batubara

Tujuh Tahun sudah sejak suaminya tidak dapat melaut karena sakit, Miswati menjadi parting. Dengan upah Rp 45 ribu per hari, semua risiko harus ditanggung sendiri, gak boleh celaka disini, karena semua menjadi risiko sendiri katanya.

Sontak, ketika saya sedang asik ngobrol, seorang laki-laki berbadan tegap yang belakangan diketahui sebagai mandor menghampiri saya dan bilang jangan tanya-tanya soal pekerjaan ya!!!

Risiko Kematian

Penasaran akan risiko yang akan diterima oleh para pemilah batubara, saya menyampaikan informasi ini kepada semua teman di kanopi. Teman-temanpun berinisiatif untuk menanyakan ke ahli-nya

Bagaimana risiko kematian mengintai Miswati? Pakar kesehatan telah lama mengidenfikasi penyakit Pneumoconiosis yaitu penyakit paru-paru yang disebabkan debu batu bara.

Dokter ahli paru-paru di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) M Yunus Bengkulu, Mirna Sp.P mengatakan debu batu bara yang terhirup dan masuk ke paru-paru menjadi penyebab utama penyakit pneumoconiosis.“Pekerja pertambangan, apalagi langsung bersentuhan dengan debu batu bara akan rawan sekali terkena pneumoconiosis,” kata Mirna.

Apalagi pekerja tidak dilengkapi alat pengamanan diri yang standar maka potensi menghirup debu akan semakin tinggi.

Sayangnya kata dia, peralatan dan sumber daya manusia di RSUD M Yunus dan wilayah Bengkulu secara keseluruhan belum dapat mendeteksi penyakit ini.“Biasanya kalau ada gejala itu saya rujuk ke rumah sakit di Jakarta, misalnya RS Persahabatan,” kata Mirna.

Mirna mengatakan tidak ada angka pasti penderita pneumoconiosis di Provinsi Bengkulu, namun menurutnya, potensi warga terkena penyakit ini cukup tinggi sebab jumlah pekerja di sektor pertambangan di daerah ini cukup banyak.

Sementara berdasarkan data “International Labor Organization” (ILO) pada 2013, sebanyak 30 hingga 50 persen pekerja di negara berkembang menderita pneumoconiosis. Indonesia merupakan negara berkembang yang salah satu penopang ekonominya adalah sektor industri yaitu industri pertambangan.

Istilah pneumoconiosis berasal dari bahasa Yunani yaitu pneumo yang berarti paru dan konos yang artinya debu. Istilah ini pertama kali diperkenalkan pada awal abad ke-19 untuk menggambarkan penyakit paru yang berhubungan dengan debu mineral.

Berdasarkan berat penyakit pneumoconiosis penambang batu bara dibagi dua yaitu simpleks dan kompleks. Pneumoconiosis simpleks biasanya tanpa gejala di mana pemeriksaan spirometri tidak menunjukkan kelainan fungsi paru yang berarti.

Tindakan pencegahan sangat diperlukan pada fase ini untuk mencegah progresifitas menjadi kompleks. Pneumoconiosis kompleks biasanya disertai gejala berupa batuk berdahak yang cenderung menetap.

Bahkan batuk dapat disertai dengan dahak berwarna kehitaman yang biasanya diakibatkan oleh komplikasi infeksi pada penderitaa.

Gejala pernafasan lainnya adalah sesak nafas, terutama saat melakukan aktivitas dan nyeri dada. Sedangkan gejala non-respirasi yang mungkin terjadi adalah bengkak di kaki dan tungkai yang merupakan komplikasi lanjutan dan pemeriksaan spirometri ditemukan penurunan nilai fungsi paru-paru yang berarti.

Timbulnya reaksi debu terhadap jaringan membutuhkan waktu yang cukup lama. Pada beberapa penelitian didapatkan sekitar 15-20 tahun. Berdasarkan penyebabnya, pneumoconiosis dibagi menjadi tiga kelompok yakni debu organik, anorganik (silika, asbes, dan timah) dan pekerjaan penambangan batu bara atau “coal worker’s pneumoconiosis” atau lebih dikenal dengan paru-paru hitam.

Miswati pun seolah memahami efek pekerjaan terhadap kesehatannya sehingga ia menyiapkan asupan segelas susu yang diminum setiap hari setelah bekerja.

Ia mengaku belum mengalami gejala-gejala gangguan pada paru-paru namun setiap pulang kerja merasa sesak akibat udara yang dihirup terbatas selama bekerja di “stockpile”.

“Belum ada pilihan pekerjaan lain. Saya juga cemas dengan kesehatan di masa datang,” katanya.