BENGKULU –    Catatan Yayasan Genesis Bengkulu, setidaknya ada 152 IU (izin usaha pertambangan) di Provinsi Bengkulu yang luasnya mencapai 517 ribu hectare. Juga terdata ada 59 HGU (hak guna usaha) perkebunan skala besar, total luasnya mencapai 192 ribu hektare. Jumlah izin industri ekstraktif (tambang dan perkebunan) tersebut mencapai 71% dari ruang Areal Peruntukan Lain (APL) se-Provinsi Bengkulu.

Menurut Direktur Yayasan Genesis Bengkulu, Barlian, usaha ekstraktif telah membawa kerusakan bagi alam. Selain itu telah merampas ruang kelola rakyat, mengancam keselamatan rakyat, menghadirkan konflik, kejahatan lingkungan, dan memperbesar potensi bencana ekologis di Provinsi Bengkulu.

Bahkan tidak hanya Genesis, sejumlah organisasi lingkungan di Bengkulu pun mengkhawatirkan perluasan areal konsesi pertambangan mineral dan batu bara hingga 225 ribu hectare. Jumlah ini melebihi luas areal persawahan yang hanya 92 ribu hektare.

Berlian mengungkapkan, atas apa yang telah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut, Negara dinilai tidak hadir bagi rakyat. Tidak ada kontrol serta tindakan tegas bagi kejahatan yang dilakukan, serta tidak ada usaha dalam memulihkan kembali ekologis menjadi bukti  keberpihakan pemerintah kepada pengusaha besar.

“Perluasan konsesi pertambangan mineral dan batu bara di Bengkulu sudah memasuki fase mengkhawatirkan. Bahkan saat ini sudah lebih luas dibandingkan dengan areal pangan seperti persawahan dan perkebunan,” ungkapnya dalam dialog akhir tahun dengan tema “”Aksi Kedaulatan Ekologis, Saatnya Publik Menjadi Pengambil Keputusan dalam Pengelolaan Sumber Penghidupan Rakyat”.

Barlian mencontohkan kasus pengerukan batu bara di Desa Gunung Payung, Kabupaten Bengkulu Utara yang menghilangkan ratusan hektare areal persawahan. Padahal desa itu ditetapkan sebagai lumbung pangan pada tahun 2009. Data Genesis menyebutkan dari 300 hektare areal persawahan di desa tersebut, hanya tersisa 20 hektare. Ironisnya, pengerukan batu bara oleh PT. Injatama dimulai pada 2009, bertepatan dengan pencanangan desa lumbung pangan di Desa Gunung Payung.

Bahkan saat ini konsesi pertambangan yang dimiliki perusahaan pertambangan di Bengkulu mencapai 6.000 hektare. Di mana 444,2 hektare dianataranya berada di lahan budidaya masyarakat. Luas konsesi pertambangan didominasi Kabupaten Bengkulu Utara mencapai 69 ribu hectare. Disusul Kabupaten Seluma seluas 48 ribu hektare, Kabupaten Bengkulu Tengah 31 ribu hektare, Kabupaten Lebong 10 ribu hektare dan Kaur seluas 303 hektare.

Sementara Direktur Yayasan Kanopi Bengkulu, Ali Akbar menambahkan, selain untuk industri ekstraktif pertambangan, pembukaan lahan untuk perusahaan perkebunan monokultur mencapai 200 ribu hektare. Pengembangan ekonomi yang bersandar pada industri ekstraktif menurutnya telah memicu bencana ekologis yang jumlahnya meningkat hampir 100 persen pada 2016 dibanding tahun 2015.

“Jumlah bencana yang melanda Bengkulu pada 2015 sebanyak 104 kali, sementara pada November 2016 sudah mencapai 205 kali bencana,” jelasnya.

Dari ratusan bencana alam tersebut, bencana tanah longsor menempati posisi tertinggi mencapai 77 kali dan banjir sebanyak 44 kali.. Kondisi ini menurut Ali harus disikapi dengan mengubah regulasi peningkatan ekonomi yang bersandar pada industri ekstraktif pertambangan batu bara. (sly)