Oleh Suarli Salim
Setelah memacu kendaraan roda dua selama 30 menit, kami tiba di tepi Sungai Lematang, Desa Telatang, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Saya diantar seorang teman yang baru saja saya kenal tadi malam. Dia biasa dipanggil Cepul.
Belum terlalu siang, sekira pukul 11.00 WIB kami berhenti dan mengamati aktivitas pagi masyarakat desa di sepanjang aliran sungai yang memiliki air jernih. Berbagai kegiatan masyarakat mulai dari kaum ibu yg sedang mandi, mencuci baju dan piring, kaum bapak-bapak sedang mandi untuk bersiap-siap masuk waktu dzuhur, dan kelompok pemuda sedang mencuci motor di sungai.
Ada pula aktivitas penggalian dan pengangkutan pasir dan batu jenis koral menggunakan rakit. Dari seberang sungai, sekelompok ibu-ibu petani menggunakan caping melintasi jembatan gantung yang berayung-ayun.
Di seberang sungai berdiri satu bangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang lebih dikenal oleh warga lokal dengan sebutan “PLN” atau perusahaan listrik negara. Padahal, pembangkit listrik itu adalah milik swasta PT Priyamanaya Energy berkapasitas 2 x 135 megawatt yang membakar ribuan ton batu bara untuk menghasilkan uap lalu dipakai memutar turbin guna menghasilkan setrum.
Keterangan seorang warga bernama Ibu Misni yang saya temui di sungai, pembangkit listrik itu baru beroperasi setahun terakhir. Suara mesin pembangkit tersebut cukup mengganggu telinga warga karena deru mesinnya.
“Apalagi saat tengah malam, suaranya sangat keras dan membuat bising telinga,” kata Misni.
Keberadaan PLTU batu bara Keban Agung yang berdiri di antara dua desa yakni Kebur dan Telatang membawa saya ke Lahat. Riset sosial guna mengetahui dampak PLTU yang baru beroperasi setahun terakhir ini membuat saya harus berkendara lintas provinsi dari Kota Bengkulu menuju Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Dibutuhkan waktu enam jam berkendara roda empat dari Kota Bengkulu menuju Lahat.
Selain batu bara yang menjadi bahan bakar, air, juga menjadi kebutuhan utama untuk mengoperasikan PLTU. Air dibutuhkan untuk direbus dan menghasilkan uap pemutar turbin. PLTU batu bara Keban Agung menggunakan air Sungai Lematang untuk direbus.
Satu bangunan yang berfungsi sebagai tempat pengambilan air sungai atau “intake” terlihat jelas dari seberang Sungai Lematang bila kita berdiri di Desa Telatang. Saya dan Cepul berkesempatan mengamati bangunan “intake” di mana dua orang kaum bapak-bapak sedang memancing.
Dari penuturan mereka, Sungai Lematang masih kaya sumber daya ikan lokal mulai dari jenis Nila, Mujair, Keli (Lele), Lampam, Betutu, Lemutih, Umbut, Kepiat, Seluang, Kaloi, dan Semah. Namun beberapa waktu belakangan, tiga jenis ikan mulai sulit ditemui yakni jenis Kaloi, Beledeng, dan Semah. Selain dengan memancing, ikan-ikan tersebut juga dijaring dan dijala.
Berdasarkan keterangan warga, belum ada konflik pemanfaatan sumber daya air antara warga dengan perusahaan yang membangun “intake” dengan menggali tepi sungai hingga kedalaman tertentu untuk memudahkan penyaluran air ke pembangkit.
Namun, selama dua hari kami berkeliling Desa Kebur dan Telatang, hampir semua pintu rumah warga tertutup rapat, baik pada pagi, siang hingga malam hari. Menurut penuturan Kepala Dusun (Kadus) II Desa Kebur, Bapak Hariyadi, salah seorang warga Desa Telatang rumah mereka terpaksa ditutup karena kerap kemasukan debu baik yang berasal dari PLTU maupun dari lalu lintas truk pengangkut batu bara yang dipasok ke PLTU. “Dalam kondisi tertutup saja banyak debu masih masuk ke rumah. Sehari perlu menyapu rumah empat sampai lima kali,” kata Bapak Hariyadi.
Tidak hanya itu, menurut Pak Hariyadi, bila hujan turun beberapa jam di desa itu, dapat dipastikan dalam dua hari ke depan, warga desa akan mengalami batuk dan radang tenggorokan. Kondisi ini mencirikan dampak PLTU dari sisi kesehatan yang sudah diteliti para ahli bahwa debu pembakaran PLTU batu bara cukup membahayakan bagi kesehatan warga terdampak. Penelitian mengungkap bahaya polutan dari debu batu bara dapat menyebabkan penyakit paru-paru, jantung, penyakit pernafasan dan kardiovaskular serta penyakit stroke.
Kehadiran pertambangan batu bara dan PLTU batu bara Keban Agung juga telah mengubah struktur sosial dan ekonomi masyakarat Desa Kebur, Telatang dan Maung, tiga desa yang masuk dalam “ring 1” PLTU.
Awalnya warga tiga desa itu berprofesi sebagai petani padi dan palawija. Namun, seiring kehadiran tambang dan PLTU yang membutuhkan pekerja buruh, warga pun beralih profesi menjadi buruh. Kini, hanya sebagian kecil saja yang menggeluti pekerjaan petani padi dan palawija, sisanya bekerja di tambang batu bara.
Saat PLTU mulai dibangun, lebih dari 100 orang warga Desa Telatang bekerja sebagai buruh di proyek konstruksi PLTU. Seiring waktu, PLTU yang masuk ke tahap operasi, banyak pekerja diberhentikan dengan alasan proyek konstruksi sudah selesai dan tahap operasi membutuhkan tenaga kerja yang memiliki skill atau keahlian. Kini, hanya ada 10 orang warga Desa Telatang yang bekerja di PLTU, sisanya jadi buruh tambang. Lalu keuntungan apa yang didapat warga atas kehadiran PLTU? Menurut seorang warga, saat tahap pembebasan lahan, pihak perusahaan secara lisan menjanjikan beasiswa bagi anak-anak desa sekitar PLTU dan tunjangan hidup bagi kaum lansia. Berdasarkan janji investor kepada masyarakat, setiap anak dibiayai Rp70.000/bulan dan lansia akan diberikan tunjangan Rp100.000/bulan plus beras sebanyak 5 kilogram.
Berdasarkan perjanjian secara lisan itu, bantuan akan diberikan per tiga bulan sekali. Berdasarkan keterangan tokoh adat Desa Kebur, Cik Nuri, janji itu hanya direalisasikan sekali. “Kelemahan masyarakat adalah saat janji itu disampaikan investor, tidak ada masyarakat yang membuat dokumen tertulis (hitam di atas putih) akhirnya janji itu tidak bisa masyarakat gugat ke perusahaan maupun pengadilan,” katanya.
Berdasarkan informasi yang ditelusuri dari laman resmi PT Priamanaya , PLTU mulut tambang Keban Agung di Desa Kebur, Kecamatan Merapi Selatan, dengan kapasitas 2×135 MW mendapat batu bara dari Kuasa Pertambangan (KP) PT Priamanaya Energi dan PT Dizamatra Powerindo. Dua KP seluas 2.000 hektar di Kabupaten Lahat itu memiliki cadangan sebesar 280 juta ton. Energi listrik yang dihasilkan PLTU batu bara Keban Agung dialirkan melalui jaringan transmisi 150 kV ke Gardu Induk (GI) Lahat dan kemudian masuk ke sistem kelistrikan PLN Sumatera bagian Selatan (Sumbagsel).