Pers Release
14 April 2016
BANTUAN DATANG PASCA BANDANG
Siaran pers bersama WALHI, Ulayat Bengkulu, Yayasan Genesis Bengkulu, forum Pengurangan Risiko Bencana Propinsi Bengkulu.
Berdasarkan informasi tim investigasi FPRB Bengkulu di lapangan menyatakan bahwa ada 23 rumah yang dinyatakan rusak parah, sementara yang lain berada pada kondisi masih dapat dihuni walau harus ada prbaikan disana-sini.
Pemerintahan mulia dari BPBD, Camat, polsek, Sekda dan beberapa pemangku lainnya berdatangan untuk melakukan pembantuan. Proses pembantuan ini berjalan sporadis tanpa adanya komando dari pihak manapun, Badan penanggulangan bencana daerah kabupaten Kaur melakukan kerja-kerja yang baik dalam mengkoordinasikan semua proses pembantuan ini
Pada tingkat masyarakat juga secara mandiri mulai membersihkan rumahnya masing-masing dan memperbaiki seperlu agar dapat kembali dihuni. Tetap muncul optimisme dimata mata mereka bahwa bencana ekologis ini tidak akan mampu melumpuhkan semangat mereka untuk tetap berjuang dalam menjalankan aktivitas guna menunjang penghidupan mereka.
Ruang informasipun hampir dapat dikatakan penuh dengan pemberitaan, semua media mengabarkan tentang kejadian ini, dan Hampir semua pembaca menyatakan duka atas bencana yang terjadi.
Tapi apa yang menjadi penyebab banjir bandang yang meluluh lantakan desa tua ini?. forum pengurangan risiko bencana menyatakan bahwa factor utama yang menjadi penyebab kerusakan ini adalah rendahnya kemampuan bukit kumbang dalam menahan curahan air hujan yang menguyur wilayah dalam beberapa hari sebelum banjir datang. Bukit kumbang yang merupakan kawasan Hutan produksi terbatas dengan luasan 10.732,91 ha, berada pada keadaan kritis. Fungsi ekologisnya sebagai hulu sungai air nasal, air sawang dan air sambat berada sudah tidak mampu berfungsi secara optimal.
Dalam sejarahnya tepat 1987 wilayah ini juga mengalami banjir bandang. Analisa ekologis yang menjadi penyebab bandang pada waktu itu adalah sejak awal tahun 70an, bisnis kayu mulai berkembang di Indonesia dan HPT air kumbang juga tidak luput dari bisnis tersebut.
Pasca bandang tahun 1987 aktivitas di Bukit kumbang dalam logging dapat dikatakan tergolong minim, baru pada tahun 2002 beberapa HPH (kini IUPHK) seperti kasus PT Semaku jaya Sakti, PT, PT Sirlando Reksa utama yang berperan sebagai kontraktor lapangan bekerja dikawasan ini.
Dalam perjalanannya berdasarkan temuan dan investigasi yayasan Ulayat Bengkulu yang kemudian dipublikasikan pada tahun 2003 menyatakan bahwa BUMD ini telah melakukan pelanggaran hukum dengan melakukan logging di kawasan Taman nasional bukit barisan selatan, sementara konsesinya berada di kawasan HPT bukit Kumbang. Bukit kumbang sendiri berdasarkan investigasi pada waktu itu sudah tidak memiliki tegakan kayu dengan kualitas bagus.
Berdasarkan hasil wawancana yayasan genesis Bengkulu dengan masyarakat desa tanjung aur aktivitas logging masih terus berlangsung. Bahkan pengangkutan hasil logging dilakukan dengan melakukan jinder milik PT Cipta Mas Bumi selaras, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan sawit yang merupakan anak perusahaan Ciputra group. Dapat dipastikan setiap minggu kayu ini keluar dari kawasan bukit kumbang sebagai wilayah asal kayu.
Aktor logging ini menurut masyarakat adalah oknum angkatan laut yang sejatinya memiliki lahan proyek pemukiman angkatan laut seluas 3200 ha. Kayu ini diangkut keluar yang sebelumnnya di tumpuk di Desa latihan kecamatan Nasal yang kemudian diangkut untuk dijual.
Dengan analisa perubahan dan kecenderungan maka dapat dinyatakan bahwa 1970-1987, dalam kurun waktu 17 tahun mulai dari ekploitasi sampai titik nol kemampuan daya dukung lingkungan telah menyebabkan bencana ekologis, 2002 -2016, dalam kurun waktu 14 tahun kembali terjadi posisi titik nol daya dukung lingkungan. Fakta tak terbantahkan ini harusnya memposisikan pemangku kepentingan terutama kementerian lingkungan hidup dan kehutanan pada level nasional, dinas kehutanan pada level propinsi dan kabupaten adalah kelompok yang paling bertanggungjawab atas kejadian banjir bandang di kecamatan Nasal kabupaten Kaur. Karena sejatinya mereka tidak mampu mengelola kawasan yang sudah menjadi tanggungjawab mereka.