Oleh : Fransiska Syah Putri Purba (Mahasiswi Institut Teknologi Del)
Penggunaan batubara di dunia sebagai penghasil energi dimulai sejak revolusi di Eropa (abad 19) sedangkan di Indonesia digunakan sejak tahun 1849, zaman Hindia Belanda. Pemerintah saat ini menargetkan proyek penyediaan listrik sebesar 35.000 MW di Indonesia untuk tahun 2019 mendatang. Salah satu cara mencapai target proyek ini adalah dilakukannya pembangunan PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) untuk pertama kalinya di kota Bengkulu yaitu PT Tenaga Listrik Bengkulu (TLB) dengan kapasitas 2 x 100 MW. Pembangunan PLTU ini dilakukan di wilayah Pelabuhan Pulau Baai Kota Bengkulu, dengan luas lahan sekitar 35 hektar. Bahan bakar utama pembangkit ini adalah batubara.
PLTU batubara adalah sumber utama listrik dunia karena 60% listrik dunia bergantung pada batubara, karena PLTU batu bara bisa menyediakan listrik dengan harga murah. Namun penggunaan batubara ini perlu diperhatikan. Batubara merupakan suatu bahan bakar fosil yang mudah terbakar yang terbentuk dari endapan organik. Meskipun terbentuk dari suatu endapan organik namun hasil samping penggunaan batubara sebagai bahan bakar utama listrik ini bersifat kimiawi dimana pada saat pembakaran batu bara akan menghasilkan banyak campuran zat kimia berbahaya.
Menurut jurnal Muhammad Ehsan Munawer Tahun 2007, emisi yang dihasilkan dari pembakaran batubara adalah sulfur, karbon dan nitrogen yang terlepas sebagai SOx, COx, NOx, abu dan logam berat yang tinggi. Senyawa SOx berasal dari emisi sulfur pada saat pembakaran yang teroksidasi membentuk sulfur dioksida (SO2) dan selanjutnya teroksidasi kembali membentuk SO3 mengakibatkan ganggunan paru-paru dan berbagai penyakit pernapasan. Senyawa NOx yang bersama SOx menyebabkan hujan asam yang terdiri dari H2CO3, H2SO4 dan HNO3 yang menyebabkan penyakit berbahaya termasuk kanker kulit dan berbagai penyakit kulit lainnya serta berakibat buruk juga terhadap industri peternakan dan pertanian.
Senyawa COx membentuk lapisan yang menyelubungi permukaan bumi dan menimbulkan efek rumah kaca (green house effect) dimana efek rumah kaca yang tinggi akan menyebabkan terjadinya pergeseran keadaan cuaca juga. Menurut Greenpeace, bahan bakar batu bara menyumbang 44% dari total emisi CO2 global sehingga CO2 hasil pembakaran batubara merupakan sumber terbesar emisi gas rumah kaca. Hal ini menarik kesimpulan bahwa emisi batubara adalah yang paling merusak dari sektor energi karena mengandung logam berat seperti timbal, air raksa, arsenik, nikel dan serum (Pb, Hg, Ar, Ni, dan Se) menyebabkan kesehatan masyarakat menjadi parah akibat dari pencucian, oksidasi, hidrasi dan reaksi kimia lainnya.
Pada PLTU yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakarnya akan terdapat limbah pada gas keluaran cerobong yang akan keluar terhambur ke udara di atmosfer. Pada keluaran gas cerobong terdapat jenis abu (ash) yaitu fly ash dan bottom ash. Menurut Emily Prehida, 2007 dalam jurnal Elsevier, fly ash akan tercampur dengan udara yang mengandung tingkat sulfur yang tinggi mengakibatkan kualitas udara buruk. Hal ini berdampak pada kesehatan manusia termasuk kematian dan efek morbiditas pada sistem pernapasan, kardiovaskular, saraf, kencing dan sistem pencernaan termasuk juga kelainan bentuk tulang dan disfungsional ginjal terutama dengan paparan radionuklida.
Sedangkan bottom ash berupa limbah padat atau partikel debu mengandung unsur radioaktif yang berbahaya jika terhisap masuk ke paru-paru dan diteliti juga bahwa kandungannya memiliki karakterisasi di atas standar limbah yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dapat dibuang ke lingkungan. Bottom ash juga memiliki karakteristirk limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) sehingga hal ini jelas berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Pencemaran utama limbah ini karena mengandung logam berat dan bahan organik seperti PNA- Polinuclear aromatic.
Menurut Wisconsin State Laboratory of Hygiene University of Wisconsin-Madison, PNA merupakan senyawa organik semi volatil yang berbahaya bagi manusia dan bersifat karsinogenik (penyebab kanker/tumor).
Kini PLTU batubara semakin kehilangan popularitasnya di sejumlah negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Belanda dan Cina berkat meningkatkannya kesadarakan akan dampak bahaya yang ditimbulkan sehingga publik menolak keras penggunaan batubara sehagai peyedia listrik. Namun Indonesia masih mendominasi batu bara ini sebagai penghasil utama energi listrik.
Berdasarkan review jurnal ini, hendaknya perusahaan menjelajahi lebih lanjut risiko terkait penggunaan batubara terkait masalah kesehatan dan serangan lingkungan. Secara spesifik perusahaan hanya meninjau batu bara berdasarkan nilai kalorinya karena nilai kalornya yang memang sangat tinggi namun tidak memperhatikan limbah yang dihasilkan tidaklah baik bagi lingkungan jika dijadikan sebagai bahan bakar listrik. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia perlu mengetahui hal ini untuk mengantisipasi pendirian PLTU baru berbahan bakar batubara karena bersifat tidak ramah lingkungan.
Akan lebih baik jika Pemerintah Indonesia dalam mencapai target 35000 MW untuk seluruh Indonesia mengandalkan pembangunan pabrik PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) dan sumber energi terbarukan lainnya untuk menghasilkan energi listrik yang prosesnya yang ramah lingkungan. Pabrik PLTA menggunakan air dimana air berpotensi dalam skala cukup besar dalam produksi energi. Kepala pusat komunikasi publik Kementerian ESDM Saleh Abdurachman menyatakan salah satu pembangunan pabrik PLTA yang sedang dilakukan dalam pelaksanaan proyek 35 ribu MW yaitu PLTA Malea dengan kapasitas 2×50 MW dan PLTA Takalar kapasitas 2 x 100 MW di Sulawesi Selatan.
Menurut buku panduan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, pembangunan PLTA lebih baik di bandingkan PLTU di Indonesia terkhusus di Kota Bengkulu. Contoh nyata bahwa batu bara merugikan di Kota Bengkulu adalah pembabatan tanaman bakau tepi pantai lebih dari 10 hektare padahal tanaman bakau penting keberadaannya di tepi laut. Kelemahan PLTU sendiri adalah terbatasnya pasokan bahan bakar, membutuhkan listrik dan air pendingin yang sangat banyak dan besar pada proses produksinya dan investasi awal proses yang mahal. Alasan utama dari semua kelemahan itu ialah fakta yang didasarkan pada penelitian Universitas Harvard menyatakan bahwa bahan bakar batubara pada PLTU mengakibatkan kematian lebih cepat sekitar 6500 jiwa per tahunnya. Sedangkan pembangunan industri PLTA dapat melibatkan masyarakat setempat selain untuk mengurangi tingkat pengangguran juga keamanan dalam bekerja karena tidak berbahaya bagi tubuh dan alam. Hanya saja PLTA perlu diperhatikan lebih khusus saat musim kemarau dimana perlu dilakukan cadangan air sebagai pemasokan bahan untuk produksi daya listrik.