Oleh: Olan Sahayu

Hutan mangrove dan hutan pantai yang sudah bagus dan dijaga oleh masyarakat teluk sepang sebagai Green Belt daerah mereka dengan sekejap diratakan dengan tanah. Pengundulan hutan tersebut untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.

“Sejak hutan mangrove dibabat, penghasilan kami menurun dan mencari kepiting pun semakin susah” kata Noprizal nelayan Teluk Sepang akhir pekan lalu.

Selain fungsi ekologi dimana tempat ikan memijah, hutan mangrove juga berfungsi secara fisik bisa menahan abrasi, menahan intrusi air laut, meredam gelombang tinggi serta potensi ekowisata.

Pembakaran batu bara untuk menghasilkan listrik ternyata mempengaruhi ekosistem pesisir. Seperti PLTU di Teluk Sepang, Kota Bengkulu yang sedang tahap pembangunan pabrik telah mengorbankan hutan mangrove yang punya fungsi strategis bagi ekosistem pesisir. Tidak kurang dari 10 Ha hutan mangrove  di pantai Teluk Sepang dibabat habis untuk pembangunan PLTU.

Potret ini menunjukkan bahwa kerusakan yang diakibatkan oleh industri tambang dibagian hilir juga sangat berkontribusi atas kerusakan lingkungan. Tapi persoalan kerusakan akibat industri hilir batu bara belum banyak disoroti publik. Padahal pengembangan industri hilir batu bara untuk pembangkit listrik merupakan sumber mala petaka bagi lingkungan dan rakyat.

Pembangkit listrik tenaga uap berbasis batubara melepas jumlah CO2 yang sangat besar ke atmosfir tiap tahunnya, atau tepatnya 11 milyar ton. Asap pembakaran batu bara berdampak negatif bagi kesehatan warga yang bermukim disekitar pembangkit tersebut.

Seperti  penelitian terbaru yang dilakukan tim peneliti dari Universitas Harvard, Amerika Serikat  polusi udara yang dihasilkan PLTU batubara menyebabkan kematian dini sekitar 6500 jiwa per tahun di Indonesia.

Kematian dini terjadi karena penyakit stroke sekitar 2700 orang, jantung iskemik sekitar 2300 orang, kanker paru-paru  sekitar 300 orang, penyakit paru obstruktif kronik sekitar 400 orang, dan penyakit pernapasan serta kardiovaskular lainnya sekitar 800 orang.

Selain ancaman kematian akibat polusi udara, industri batu bara sudah menimbulkan persoalan di sektor hulu dimana bahan tambang itu digali. Di Provinsi Bengkulu misalnya praktek pertambangan batu bara telah menghilangkan lahan pangan dan mencemari banyak sungai yang selama ini menjadi andalan masyarakat untuk mendapatkan air bersih.

Salah satu potret kerusakan lingkungan akibat pertambangan batu bara adalah kesrusakan hulu dan hilir Sungai Bengkulu yang membentang dari Kabupaten Bengkulu Tengah dan bermuara di Kota Bengkulu. Disepanjang aliran sungai dapat disaksikan pemandangan aktifitas warga memungut batu bara di aliran sungai. Batu bara tersebut berasal dari pencucian batu bara di area penambangan di hulu sungai.

Padahal, air sungai Bengkulu masih digunakan sebagai bahan baku air PDAM Kota Bengkulu. Hampir 6.000 pelanggan masih menikmati air yang bersumber dari sungai yang sudah tercemar ini. Dengan meningkatnya kebutuhan batu bara untuk energi listrik maka kebutuhan bahan baku akan terus. Akibatnya, eksploitasi terhadap sumber daya alam semakin meningkat.

Atas kondisi diatas pemerintah lebih bijak dalam pemilihan sumber energi yang rama lingkungan dan kehidupan yang berkelanjutan. Menghentikan pembangunan batu bara berarti adalah keputusan yang terbaik untuk melestarikan bumi.

 

http://lifestyle.kompas.com/read/2015/08/12/152235423/Polusi.PLTU.Batubara.di.Indonesia.Sebabkan.Kematian.Dini

http://www.antaranews.com/print/262911/bengkulu-uji-pencemaran-air-sungai

http://www.mongabay.co.id/2017/04/30/aktivitas-tambang-batubara-yang-meresahkan-di-hulu-das-air-bengkulu/

http://www.republika.co.id/berita/nasional/lingkungan/11/09/13/lrfw3i-sungai-bengkulu-tercemar-limbah-batu-bara-menteri-lh-turun-tangan