Krisis iklim global menyebabkan permukaan air laut terus naik, bisa menenggelamkan banyak pulau di penjuru Nusantara dan dunia. Pembakaran batu bara, kebakaran hutan dan lahan telah mencekik jutaan jiwa. Waktu kita tinggal 11 tahun lagi. Kita beraksi bersama jutaan orang lain di dunia,memberi jeda untuk iklim dan membalikkan keadaan.
Kaum milenial Bengkulu sebagai kelompok kritis telah memimpin gerakan jeda untuk klim yang diadakan serentak di seluruh dunia guna menuntut dideklarasikannya status darurat iklim. Aksi ini dimulai pada 20 September 2019, tiga hari menjelang pertemuan The UN Youth Climate Summit yang digelar PBB di New York.
Komunitas Fosil Free Bengkulu bersama lintas komunitas, mahasiswa dan seniman yang bergabung dalam #gerakanmenolakpunah menggelar aksi simpatik kolaboratif di Bengkulu pada 20 dan 22 September 2019.
Pada Jumat 20 September pukul 09.00 WIB – 11.00 WIB digelar aksi bentang spanduk dengan seruan “Berhenti Kecanduan Batu Bara” yang diarak oleh 18 orang di bundaran Simpang Lima Kota Bengkulu. Aksi ini juga disertai dengan pembagian stiker berisi informasi tentang pentingnya menghentikan penggunaan energi kotor batu bara untuk masa depan generasi.
Koordinator lapangan, Frengki Wijaya mengatakan bahwa aksi ini bertujuan mengkampanyekan pentingnya transisi energi dari fosil ke energi terbarukan secara adil. Mewujudkan masa depan bebas energi fosil merupakan langkah nyata penanggulangan perubahan iklim untuk kelangsungan hidup kita dan generasi mendatang.
“Bila pemerintah kita hari ini masih mengandalkan batu bara untuk sumber energi listrik seperti PLTU batu bara artinya mereka secara sadar memperburuk krisis iklim,” katanya.
Perwakilan #gerakanmenolakpunah Suyitno yang juga penggiat seni mengatakan aksi ini untuk menyerukan semua orang bahwa bumi sudah menuju kepunahan akibat perubahan iklim.
Cuaca ekstrem akibat pemanasan global yang salah satunya dipicu PLTU batu bara dan kebakaran hutan yang saat ini sedang terjadi, serta kekeringan adalah beberapa contoh dari dampak perubahan iklim.
“Ditambah lagi jika PLTU batu bara Teluk Sepang beroperasi. Karena itu kami tegaskan, sudah saatnya berhenti kecanduan batu bara,” katanya.
Koordinator Fossil Free Bengkulu, Cimbyo Layas Ketaren mengingatkan komitmen pemerintah Indonesia dalam Perjanjian Paris yang disepakati pada 2015.
Menurutnya, komitmen Indonesia menurunkan emisi karbon bertolak belakang dengan pengembangan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara di Kelurahan Teluk Sepang.
Sebanyak 2.700 ton batu bara akan dibakar setiap hari di PLTU tersebut yang memancarkan 700 ton abu beracun ke udara yang dihirup warga Kota Bengkulu setiap hari.
“Karena itu kami sejak awal menolak proyek itu dan mendorong pemerintah segera mengembangkan energi terbarukan seperti tenaga matahari, air angin yang tidak pernah habis dan dapat terus diperbaharui,” katanya.
Aksi diam di Simpang Lima tersebut merupakan awalan aksi jeda iklim yang akan dilanjutkan pada Sabtu, 22 September dengan menggelar berbagai kegiatan seperti pawai iklim, pentas musik, puisi, seni mural dan lukas rain yang digelar di Taman Pantai Berkas Bengkulu dengan penampilan spesial dari Andi Babas, vokalis band Boomerang.
Adapun seruan peserta aksi adalah :
1. Stop pengembangan PLTU batu bara
2. Segera bentuk peta jalan transisi ke energi terbarukan
3. Pulihkan kerusakan lingkungan dan kembalikan hak-hak korban
4. Transisi berkeadilan bagi tenaga kerja terdampak