Jumat itu, akhir September, jam tangan saya menunjukkan pukul setengah dua siang. Saya mendatangi Madrasah Diniah Takmiliyah Miftahul Ulum di Dusun Hilir, Simpang Pitco, Sarolangun, Jambi. Sekolah masih sepi, tiga pintu ruangan tampak terkunci.

Saya menemui laki-laki yang sedang duduk di atas sepeda motor seraya memperkenalkan sebagai wartawan Mongabay.

“Cari siapo?” tanyanya.

“Saya mau tanya soal PLTU.”

Dia terlihat ketakutan. “Sayo bukan orang sini. Nggak tau.”

“Ayo dek cepat dikit,” teriak pria ini. Seorang perempuan sekitar dua puluhan tahun keluar dari rumah papan, berjilbab. Bedak putih belum rata di wajahnya.

“Ngapo?” katanya.

“Orang ini tanya soal PLTU,” jawab laki-laki itu.

Belakangan saya tahu nama perempuan ini Husnul. Dia lebih terbuka ketimbang suaminya. Tanpa curiga dia cerita soal PLTU. Saat malam, katanya, PLTU kerap mengeluarkan suara keras. Suara ini makin sering saat cuaca lagi buruk. “Suaranya itu kayak roket mau meluncur, kencang nian.”

“Ngopo?” tanya lelaki tua datang dari timur.

Pria ini bertelanjang dada, lekukan tulang terlihat jelas dari badannya yang kurus. Dia Darsono, ayah Husnul.

Pria asal Kinjeng, Pati, Jawa Tengah ini sudah tiga tahun tinggal di Dusun Ilir, Simpang Pitco. Dia tinggal bersama istri, anak, menantu dan cucu perempuannya.

Awalnya, kata Darsono, sempat kaget dan bingung suara keras mendadak gemuruh saat hari gelap.

“Nek lagi turu yo kaget. Suarane buanter koyo bom kae, terus metu kelue, medéni.” (Kalau lagi tidur pasti kaget karena suara kayak bom. Menakutkan).

Banyak warga cerita, asap (debu) mengepul hitam disertai suara gemuruh keras itu muncul saat PLTU membuang limbah hasil pembakaran batubara. Suara ini muncul sekitar 10-15 menit.

Namun Darsono tak pernah protes apalagi minta kompensasi, meski pernah ketemu langsung dengan Khailan, orang penting kedua di PLTU Pauh, setelah Widodo.

“Pak Ailan (Khailan) ki yo sering dolan rene, njaluk urut,” kata Darsono. Ngurut jadi kerja sampingan dia selain kerja nyadap karet.

Khailan, katanya, pernah minta tolong dicarikan tanah. PLTU berencana membangun mes karyawan di sekitar rumah Darsono. Setelah tanah pesanan Kailan dapat, dia justru tak pernah lagi menemui Darsono.

Cucu Darsono, pamit mau sekolah, anak ini kelas dua Madrasah Diniah Takmiliyah Miftahul Ulum, menyalami saya langsung lari ke madrasah yang berjarak sekitar 30 meter dari rumah kakeknya itu.

Setengah jam lebih saya menunggu, akhirnya madrasah itu dibuka. Sekitar pukul 14.05, murid madrasah mulai belajar. Anak-anak bepakaian bebas, dan jarang bersepatu. Jumlah mereka tak banyak, dari kelas satu hingga enam hanya 40-an anak.

Sekolah ini dibangun di pinggir kebun karet, jaraknya tak sampai satu kilometer dari PLTU Pauh, terpisah oleh tanah kosong yang ditumbuhi lalang.

Saya menemui Juliana, Kepala Madrasah Diniah Takmiliyah Miftahul Ulum. Dia cerita, suara mesin PLTU kerap mengejutkan dan memecah konsentrasi anak.

“Anak-anak itu malah cerita-cerita, suaro apo yo, suaro apo yo. Soalnya waktu nggak tentu, jadi kadang terkejut.”

“Suaranya itu seeesssssss…tapi keras, saya tinggal di Semaran Ujung itu kedengaran sampai sana,” katanya. Namun, suara desisan mesin PLTU itu tak sekencang saat membuang debu batubara.

Suara gemuruh itu datang tidak mengenal waktu. “Suaronyo tu huuu…mas sekencang-kencang idak. Kadang subuh, magrib gak tentu,” kata Aceng, warga setempat.

“Sungai itu dulu ikan banyak, besar-besar, segede gini na,” kata Aceng, sembari merentangkan kedua tangan menceritakan soal ikan di Sungai Alih. “Sisiknyo bae sebesak jam—jam dinding.”

Aceng, pria beistri dengan satu anak perempuan umur delapan tahun. Kerja serabutan, kadang jadi supir truk, kadang jual beli kayu, pernah juga jadi tukang las besi.

Kerja serabutan, membuat Aceng banyak waktu luang. Dia sering pergi mancing ke Sungai Alih. Sehari satu sampai dua kilogram ikan gabus, kadang lambak bisa dia dapat. “Lumayan bisa hemat uang belanja,” katanya.

Suami Yanti ini menunjukkan koleksi pancing dan puluhan timah pemberat yang disimpan dalam botol minyak rambut Gatsby. Ukuran macam-macam, dari sebesar kacang kedele sampai jari kelingking orang dewasa. Itu alat pancing dia dulu.

Sejak PLTU beroperasi, dia tak pernah mancing lagi.

Saya lihat pancing model joran ice fishing tergeletak di sudut ruang tamu. Di teras depan, tercampak pancing bambu tegak menyandar dinding rumah.

“Ikan kini tu dak ado lagi,” kata Aceng. “Kalau dulu mas, asal tarok pancing tu dapat. Sekarang mancing di pasar, bawa duit dapat ikan.”

Katanya, ikan mulai hilang lantaran Sungai Alih, tercemar lumpur dari debu batubara bekas pembakaran PLTU. Warga Semaran pun tak ada lagi yang cari ikan ke Sungai Alih.

Empat hari pada awal Agustus, saya diantar Ramli dan Aceng melihat pencemaran debu batubara di Sungai Alih. Sekitar 10 menit jalan kaki dari rumah Aceng. Melewati kebun karet lalu turun lebih rendah seperti daerah rawa yang kering.

Banyak sekali pohon mati meranggas, luas sekitar setengah hektar mengikuti Sungai Alih yang memanjang 200 meter lebih. Daun-daun gugur jatuh menyebar rata di atas tanah hitam pekat.

“Ini agek lamo-lamo mati jugo,” kata Ramli menunjuk pohon sebesar lengan yang masih hidup.

Ramli dan Aceng tak tahu penyebab matinya pohon-pohon ini. “Apa ini dibakar?” tanya saya. “Ndak, gak ada yang bakar di sini,” jawab Ramli.

Tanah sekitar Sungai Alih terlihat hitam, keras dan licin. Sebagian lembek seperti endapan lumpur batubara. Hilir Sungai Alih berada lebih rendah dibanding tanah sekitar. Saat musim banjir, tinggi air bisa sampai tiga meter lebih.

Aceng lalu berjalan menuju arah barat. Dia menunjukkan hamparan tanah kosong tempat PLTU menimbun sisa pembakaran batubara. Di pinggirnya, dibuat parit lebar lebih satu meter, dalam kira-kira satu meteran. Parit ini membatasi limbah batubara meluber ke sungai.

Aceng bilang parit itu belum lama dibuat. “Ini baru, sebelumnyo dak ado,” katanya.

“Sebelum parit ini dibuat, kalau hujan pastilah debu batubara lari ke sungai, makonyo banyak pohon mati,” kata Ramli, menduga.

“Lah tercemar baru dibuat parit.”

Aceng cerita, kala musim banjir daratan sekitar PLTU terendam, termasuk lapangan timbunan debu batubara. Tak lama, air akan mulai mengalir ke tempat rendah, melewati banyak celah dan sampai ke Sungai Alih.

Kami kembali melihat Sungai Alih. Agustus ini musim kemarau, air sungai terlihat kuning kemerahan, mengkilat seperti kena minyak. Penuh lumpur dan guguran daun. “Dulu air bening mas,” kata Aceng. “Sekarang keruh,” kata Ramli.

Aceng menancapkan ranting pohon ke dalam sungai, menunjukkan seberapa dalam endapan lumpur. Ranting sepanjang hampir satu meter itu terbenam lebih dari separuh. Dia juga bilang Sungai Alih sekarang menyempit, karena banyak lumpur masuk ke sungai.

“Dulu agak lebar dari ini.” Aceng mengira-ngira lebar sekitar satu meter lagi dari pinggir sungai.

Di Jambi, saya bertemu dengan Sukmal Fahri, dosen Kesehatan Lingkungan Politeknik Kementerian Kesehatan Jambi. Saya menunjukkan sebuah foto tanah berlumpur yang saya ambil 4 Agustus lalu.

Menurut dia, kematian banyak pohon di sekitar Sungai Alih bisa karena unsur hara pohon tertutup batubara. Akibatnya, tanaman menjadi kerdil, rusak bahkan mati.

“Karena di situ unsur hara miskin, hingga yang diserap akar bukan humus-humus tanah yang diperlukan untuk pertumbuhan, tapi kadar sulfur yang bersifat asam,” katanya.

Hadrah, dosen Teknik Lingkungan di Universitas Batanghari, Jambi, juga berpendapat sama. Alumnus Institut Teknologi Bandung ini menduga unsur nitrogen, fosfor, kalium, karbon, hidrogen, oksigen yang dibutuhkan pohon untuk tumbuh terhambat.

“Lumpur dari debu batubara menghambat pergerakan air tanah yang mengandung unsur hara diserap tumbuhan. Apalagi kalau tanah licin, kami menduga itu mengandung minyak. Minyak dan air tidak bisa menyatu, hingga menghambat air terserap tanaman.”

Jumat akhir September, di malam larut menuju pagi, daratan Semaran basah kuyup diguyur hujan lebat. Air Sungai Alih kuning mengkilat pun berubah bening, mengalir pelan ke muara yang lebih luas, Sungai Tembesi. Jambi tak lagi kemarau, musim telah berganti.

Saya uji air ke labor Dinas Lingkungan Hidup Jambi, dengan parameter pH, TSS, besi (Fe), dan mangan (Mn). Hasilnya, Ph: 6,40, TSS: 7, besi: 0,186 dan mangan: <0,01, semua masih batas toleran baku mutu air limbah batubara.

Lab DLH Jambi menduga terjadi pengenceran karena hujan dapat memengaruhi kandungan parameter air.

Saya minta pendapat Monik Kasman. Perempuan yang mendalami soal rekayasa air limbah di Universitas Malaya, Malaysia. Dia bilang, secara kasat mata air sungai kuning kemerahan mengandung besi. Namun kandungan besi dan mangan bisa tereduksi saat terkena air hujan, bahkan menjadi netral.

“Hujan walau asam, tapi air itu akan menetralisir kandungan besi. Satu lagi sifat besi karena alami, lebih labil.”

Di juga bilang, fly ash (abu terbang) dari pembakaran batubara dapat mengganggu proses foto sintesis karena pori-pori daun tersumbat. Dampaknya bisa menurunan produksi puluhan hektar perkebunan karet warga di sekitar PLTU.

Pagi itu, Sukamto menyadap lebih dari separuh pohon karet milik majikannya di Pauh. Getah karet mengalir pelan, tetes demi tetes mulai mengisi cawan batok kelapa. Aromanya harum seperti perasan santan.

Sedang bau busuk macam kotoran keluar dari tumpukan getah beku yang tercecer di samping cawan. Dia bilang, sudah lima tahun sejak PLTU Semaran beroperasi, hasil sadapan tak berubah.

“Sayo sudah 17 tahun nyadap karet, lamo sebelum ada PLTU, tapi kayaknya gak ada masalah, biasa saja,” katanya.

Darsono, buruh sadap juga bilang sama. Setiap satu, dua minggu dapat 70 kilogram getah beku dari kebun garapan di seberang PLTU, terpisah Sungai Tembesi.

Sukamto membuat jalur sadap ganda, ke atas dan ke bawah. Teknik sadap ke atas umum digunakan di Malaysia. Di Jambi, jarang petani menyadap karet seperti ini karena dianggap merusak, meski getah keluar lebih banyak. Teknik sadap seperti ini hanya untuk pohon karet tua dan akan ditebang.

Di ujung tanah kosong, belakang PLTU Aceng menunjukkan jembatan beton menuju sawah, hancur. Jembatan ini menghubungkan daerah pemukiman dengan ladang, kebun dan sawah yang terpisah Sungai Alih.

Pemerintah Sarolangun juga membangun jalan beton dua jalur. Aceng bilang, setiap jalur lebar dulu sekitar setengah meter. Jalan dimulai dari pos jaga PLTU Semaran menuju sawah, panjang satu kiloanmeter lebih.

Jalan itu dibangun sekitar 2013, saat Warsito menjabat Kepala Desa. Namun, tidak ada warga yang tahu soal proyek jalan ini, Aceng hanya tahu jalan dibuat untuk petani Semaran supaya lebih mudah ke sawah.

Sekarang, jalan dan jembatan rusak. Bahkan sekitar 500 meter bekas jalan beton di samping PLTU itu lenyap. Saya hanya menemukan bongkahan beton kurang dari semeter, sisa jalan tertutup rumput.

Kata Aceng, jalan dan jembatan sengaja dihancurkan PLTU dengan alat berat. Dia menduga, PLTU tak ingin ada warga melintasi kawasan itu. “Jembatan ini ada rangka besinya bisa rusak seperti ini. Tak mungkin rusak dewek. Ini sengaja dirusak,” katanya.

Warsito, mantan Kepala Desa Semaran, lagi telanjang dada saat saya temui. Dia bilang, tak tahu soal proyek jalan meuju sawah. Dia bilang itu bukan proyek desa. “Itu proyek dari atas, nggak ngerti juga, tahu-tahu ada jalan. Ntah dari pertanian atau PU (Pekerjaan Umum-red) saya tidak tahu. Pokoknya desa dapat bantuan jalan, ya nerima saja,” katanya.

Soal jalan sekarang rusak, Warsito mengaku tak tahu. Selama ini, tak ada warga mengadu. Di bilang, sudah dua tahun sejak tak jadi kades tak pernah lihat jalan beton itu lagi.

“Di situ itu sering banjir, air biso sampek tigo meter tingginyo.”

“Kerendam banjir lamo-lamo yo rusak. Kalau jembatan, keno banjir rusaklah.”

Kerusakan jalan, membuat petani di Simpang Pitco, harus jalan lebih jauh, sekitar empat kilometer, untuk melihat ladang, kebun dan sawah mereka.

Upaya tuntut PLTU

Lebih 150 orang bersekutu. Warga Semaran yang mulanya tenang mulai kasak-kusuk. “Desi” berulang kali disebut. Nama itu tak asing di telinga warga Semaran, terutama RT 03,05, 06 dan 07. Sekitar setahun lalu, dia mengkoordinir warga empat rukun tetangga menuntut kompensasi dari PT.Permata Prima Elektrindo (PPE), pengelola PLTU Semaran. Sekitar 150 orang tandatangan. Tuntutan gagal.

Sekarang, Desi pindah entah kemana. Berulang kali saya coba menghubungi lewat saluran telepon, tetapi tak sekalipun nomornya aktif. Hanya jawaban, “Maaf nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi.”

Eti mantan mertua Desi, menunjukkan saya lembaran dokumen rangkap tiga milik Desi, berisi foto penampungan batubara PLTU, pohon meranggas di pinggir Sungai Alih dan nama 150-an warga menuntut pencemaran limbah batubara PLTU, dan hak untuk jadi tenaga kerja dari lingkungan sekitar.

Proyek PLTU mulai 2008. Warga dan perangkat desa diajak rembukan di balai desa dan kantor camat oleh perusahaan. Meskipun begitu, tak ada yang tahu persis seperti apa perjanjian warga dengan PLTU.

Saya bertemu Santi, warga Semaran. “Dulu katanya ada cek kesehatan gratis, susu, sama duit Rp300.000 tiap rumah.” “Dulu janjinya setiap tiang (di jalan) akan dipasang lampu, tapi tidak ada. Potongan 30% biaya tagihan listrik, juga dak dapat.”

Dia juga bilang banyak pekerja PLTU justru bukan warga Semaran. “Yang kerjo banyak dari Jambi, Pauh, orang hilir (Sarolangun).”

Warsito mengaku sama sekali tak ingat soal perjanjian antara warga dan PLTU. Dia hanya ingat PLTU sempat beroperasi setahun setelah dia jadi kades—sekitar 2010–tetapi tak lama mati lagi. Baru aktif pada 2012, sampai sekarang.

Warsito menjabat Kades mulai 2009 hingga 2015. Dia bilang, selama jadi kades tak ada warga mengeluh ataupun menuntut kompensasi ke PLTU. “Yang dikhawatirkan masyarakat itu abu batubara, jemuran (baju) putih jadi item-item, nyatanya aman-aman saja.”

“Bagaimana suara PLTU?” pancing saya. “Kalau di sini suara cuma kresek-kresek aja, wajar saja, tidak kayak kapal terbang mbrengungung gitu nggak,” jawabnya.

Jarak rumah Warsito sekitar dua kilometer sampai pos jaga PLTU.

Menurut dia, masyarakat justru terbantu sejak PLTU Semaran beroperasi, listrik di Sarolangun lebih stabil, jauh beda dengan sebelumnya. “Nak disek, lampune gur mrengengeh (kalau dulu lampu redup).”

Mustofa, Supervisor Operasi PLN Area Muara Bungo mengatakan, kebutuhan listrik di Sarolangun berkisar 18-20 megawatt. Dua per tiga kebutuhan listrik Sarolangun, dipasok dari PLTU Semaran yang mampu mengalirkan daya12 megawatt. Delapan megawatt daya listrik disuplai dari Gardu Induk Bangko dan Tembesi, ditambah pasokan daya PLTG Sarolangun 0,7 megawatt.

“Nek masalah PLTU Haji Kirno lebih paham,” kata Warsito.

Selang seminggu saya mendatangi rumah Haji Kirno. Pagar bergaya mediterania 30 meter panjangnya, di belakangnya dibangun dua rumah, satu bertingkat. Kirno dikenal sebagai tuan tanah. Dia punya banyak kebun karet mulai Simpang Pitco hingga kilometer 9. Kurun 2004-2009, Kiro menjabat sebagai sekretaris desa.

Jumat itu, jam tangan saya menujukkan pukul 10.25. Saya duduk di samping taman dan kolam ikan. Teduh dan nyaman. Kirno menemui saya, dia terlihat belum tua betul, taksiran saya belum 70 tahun. Langkah kakinya cepat.

Saya mulai tanya soal asal usul PLTU. Kirno cerita soal rencana pembuatan pelabuhan untuk batubara yang gagal dibangun, lanjut ke PT Pitco, jadi TGL, sampai ke perusahaan kayu sebelum jadi PLTU.

“Pak, kue iki malah cerito mrembet tekan ngendi-ngendi, ora usah cerito macem-macem, sek ditakonke wae (Pak, kamu itu cerita malah merembet ke mana-mana. Jangan cerita yang macam-macam, yang ditanyakan saja),” kata istri Kirno, dari pintu rumah.

Kirno terus cerita. Namun, kala saya tanya soal PLTU ada kesepakatan dengan warga mengenai kompensasi oleh perusahaan, dia bilang lupa.

“Lupa, itu kan sudah bertahun-tahun, sudah gak ingat lagi. Saya ini kan cuma sekdes, wakil kades. Kalau ada kades yang ikut rapat ya saya nggak ikut rapat,” katanya.

Beberapa pertanyaan soal PLTU, juga Kirno jawab sudah lupa. “Lupa, gak inget lagi.”

Kirno hanya mengomentari soal penerimaan tenaga kerja yang bukan dari warga sekitar PLTU. “Dulu, kalau (PLTU) jadi, ada warga sini yang kerja jadi pegawai. Sekarang itu ada, tapi ya tidak banyak, banyak orang dari Pauh, Sarolangun, Jambi,” katanya.

“Kan perusahaan ambil pegawai ini bukan karena deket, tapi karena kemampuannya, kalau gak mampu ya nggak diterima.”

Saya kembali bertanya perihal kesepakatan warga dan PLTU sebelum mulai beroperasi. Dia jawab yang lebih tahu soal PLTU itu Rohim, Kades Semaran kurun 2004-2009.

“Rumah Pak Rohim dimana?”

“Pak Rohim sudah meninggal,” jawabnya. (Bersambung)

 

Sumber : http://www.mongabay.co.id/2017/11/28/bunyi-bising-dari-pembangkit-batubara-di-sarolangun-sungai-pun-tercemar-bagian-2/