Hari masih pagi, pukul 9.30 WIB tapi cuaca sudah tak nyaman. Udara terasa panas bercampur debu saat kami tiba di Desa Kebur, Kecamatan Merapi Barat, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan.
Dari pusat Kota Lahat, desa ini ditempuh dalam waktu 30 menit. Tidak sulit menemukan desa ini, sebab posisinya berada di jalan lintas Kabupaten Lahat-Kota Palembang.
Pencarian semakin mudah sebab kami ditemani seorang “pemandu” bernama Aidil Fikri. Ia adalah staf di lembaga Hutan Kita Institute (HAKI) Palembang.
Aidil terbilang paham dengan wilayah itu sebab semasa kuliah, ia bersama rekan-rekannya di Mahasiswa Pecinta Alam Fakultas Ekonomi Universitas Sriwijaya (Mapesripala) kerap mengadakan kegiatan di seputaran Kabupaten Lahat.
Hari itu, Rabu (19/9) suasana desa cukup sepi. Hampir seluruh rumah penduduk tertutup rapat. Beruntung ada satu warung manisan yang sudah membuka pintu. Kami pun menanyakan rumah kepala desa.
Sesuai petunjuk warga tersebut, kami menemukan rumah Kepala Desa Kebur, Idwar Alamsyah. Rumahnya tak sulit ditemukan sebab berada di tepi jalan lintas itu.
Dengan handuk melilit di pinggang, Pak Kades menyambut kami bertiga di pintu rumahnya. Ia mempersilakan kami duduk di kursi teras yang tersedia.
Diselingi suara truk bermuatan batu bara yang lalu lalang, kami mulai mengenalkan diri dan menyampaikan maksud serta tujuan datang ke Desa Kebur.
“Kami ingin melihat PLTU Keban Agung dan berbincang dengan warga tentang dampak kehadiran PLTU,” kata Aidil membuka pembicaraan.
Tanpa menunggu penjelasan panjang lebar, Pak Kades langsung meminta kami untuk terlebih dahulu “sowan” ke Camat Merapi Barat.
“Bukan tidak percaya tapi ini hanya semacam izin memasuki wilayah desa. Nanti Pak Camat pasti langsung minta saya menjelaskan,” kata Kades.
Permintaan ini pun kami turuti dan langsung bergerak menuju Kantor Camat yang jaraknya sekitar tiga kilometer dari Desa Kebur. Beruntung Camat Merapi Barat, Kamran masih berada di kantor dan menerima kedatangan kami dengan ramah.
Tak perlu panjang lebar mendengar penjelasan kami, Pak Camat langsung mempersilakan kami kembali menemui Kades dan menanyakan informasi yang dibutuhkan.
Keberadaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara mulut tambang Keban Agung berkapasitas 2 x 135 Megawatt yang membawa kami ke desa yang berada di tepi Sungai Lematang itu. Pembangkit hanya berjarak 1,7 kilometer dari pusat permukiman desa.
Namanya PLTU Keban Agung tapi beroperasi di Desa Kebur. Konon, proyek milik politisi-pengusaha Djan Faridz ini seyogyanya beroperasi di Desa Keban Agung, Kabupaten Muara Enim. Namun, karena terkendala pembebasan lahan, proyek itu dipindahkan ke Desa Kebur, Kabupaten Lahat.
Proyek ini dibangun perusahaan swasta atau “Independent Power Producer” (IPP) PT Priamanaya Energi, menggunakan pinjaman dari sindikasi bank dalam negeri dengan BNI sebagai pimpinan sindikasi. Dana yang digelontorkan mencapai 310 juta US Dolar, termasuk pembangunan jaringan transmisi 150 Kilovolt (KV) sejauh 20 kilometer ke Gardu Induk Lahat.
Disebut PLTU mulut tambang, sebab tapak PLTU berada di lokasi yang sama dengan sumber batu bara yang dibakar. Jaraknya sekitar 1,5 kilometer. Batu bara dipasok dari konsesi tambang milik PT Priamanaya Energi dan konsesi milik PT Dizamatra Powerindo dengan luas kedua KP mencapai 2.000 hektare.
Tiang pancang pertama proyek PLTU diresmikan pada 2009 dan awalnya direncanakan beroperasi komersil pada 2012. Namun perencanaan meleset hingga empat tahun di mana pembangkit mulai menghasilkan setrum pada 2016, atau satu tahun terakhir.
Untuk penjualan listrik, Priamanaya telah menandatangani “Power Purchase Agreement” (PPA) dengan PT PLN Persero selama 30 tahun dengan harga jual listrik sebesar 5 sen US Dolar per KwH.
Menurut salah seorang manajer PT Priamanaya Energi, pembangkit itu menggunakan teknologi ElectroStatic Precipitator (ESP) yakni salah satu alternatif penangkap debu dengan efisiensi tinggi, mencapai diatas 90 persen dan rentang partikel yang didapat cukup besar.
Setiap jam sebanyak 156 ton batu bara dibakar untuk merebus air guna menghasilkan uap pemutar turbin. Lalu, abu terbang sisa pembakaran batu bara dimanfaatkan sebagai bahan baku pencampur semen oleh PT Semen Baturaja.
Kesaksian Warga
Desa Kebur adalah satu dari 19 desa di Kecamatan Merapi Barat, Kabupaten Lahat. Menurut Kades Kebur, Idwar Alamsyah kehadiran PLTU Keban Agung telah mempengaruhi secara nyata kehidupan masyarakat di desa itu.
Tidak hanya Kebur, sebagian kecil tapak PLTU juga masuk wilayah Desa Telatang, sehingga kedua desa ini masuk dalam ring satu.
Menurut Kades, sebelum PLTU berdiri, sebagian besar penduduk berprofesi sebagai petani dan sebagian kecil adalah perajin periuk dari tanah liat.
Kini, hampir 50 persen dari 2.500 jiwa penduduk desa itu bekerja di sektor pertambangan batu bara, dan sebagian kecil bekerja di PLTU.
Perusahaan merealisasikan dana tanggung jawab sosial perusahaan atau “Corporate Social Responsibility” (CSR) dalam bentuk beasiswa bagi seluruh pelajar SD hingga SMA bagi warga Desa Kebur dan Telatang. Sebagian dana juga disalurkan berbentuk bantuan sejumlah uang bagi kaum manula atau jompo.
Tidak ketinggalan pengurus masjid di desa yang masuk dalam ring satu dan ring dua pun ikut mendapatkan honor dari dana CSR perusahaan.
Namun, menurut Idwar, belakangan ini warga desa mengalami sejenis penyaki gatal-gatal. Untuk mengetahui penyebab penyakit itu, tim peneliti dari Universitas Gajah Mada sedang melakukan penelitian di desa itu.
Terkait asap yang keluar dari cerobong PLTU, Idwar mengatakan sulit melihatnya pada siang hari. Berbeda dengan malam hari di mana asap putih yang keluar akan kontras dengan gelapnya malam.
Saat Pak Kades pamitan mandi, istrinya mengajak kami mengobrol di teras. Sambil menggendong anak perempuannya yang baru berumur beberapa bulan, istri Pak Kades mengeluh soal udara panas dan debu yang sepanjang hari menyelimuti desa mereka.
“Sangat tidak nyaman tinggal di sini, panas dan debu beterbangan sepanjang hari. Kalau bisa cari rumah ke arah Kota Lahat,” kata Ibu tiga anak itu.