Kanopi – Tulisan ini mengulas bagaimana korporasi “mengelabui” rakyat untuk melanggengkan tujuannya. Kali ini di proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara Keban Agung yang berdiri di Desa Kebur, Kecamatan Merapit Barat, Kabupaten Lahat, Provinsi Sumatera Selatan.

Kurun waktu 2006-2008, ada fenomena penjualan lahan yang masif untuk kebutuhan proyek. Kala itu masyarakat berlomba-lombang menjual lahan pada seseorang berinisial JP dengan harga tinggi.

Waktu itu, harga lahan berisi tanaman tua (karet, kopi, jengkol, pinang, mangga, dll) bernilai Rp5 juta/hektare, sedangkan JP bersedia membeli lahan warga yang berisi tanaman tua tersebut dengan harga Rp50 juta/hektare. Kondisi ini membuat warga tanpa pikir dua kali berbondong-bondong menyerahkan lahan mereka kepada Jhon Paris dengan niat akan membeli lahan baru di tempat lain.

Ketika sosialisasi proyek PLTU batu bara di Kebur, masyarakat sama sekali tidak mengetahui dampak yang akan ditimbulkan, mereka terlalu gembira membayangkan akan mendapat duit yang cukup besar dari JP.

Beberapa warga yang tidak memiliki lahan untuk di ganti rugi oleh JP, masih tetap dilibatkan ke tengah forum sosialisasi dan dimintai keterangan data diri untuk di berikan pekerjaan ketika proyek berjalan, sehingga kondisi itu juga membuat warga berlomba-lomba mendaftarkan diri untuk memperoleh pekerjaan tersebut.

Pada 2008 ada sembilan orang diajak jalan-jalan ke Jakarta oleh JP untuk melihat kegiatan keseharian JP di Jakarta, seperti usaha, pesantren, dan rumah kediaman di mana banyak mobil-mobil bagus berbaris.

Sesampainya di kediaman JP, sembilan orang warga yang ikut itu dibujuk agar menghibahkan lahan mereka (bersebelahan dengan PLTU Batubara Keban Agung yang sekarang) untuk didirikan pondok pesantren dan panti yatim oleh JP.

Setelah kembali dari Jakarta sembilan warga itu tidak bersedia menghibahkan lahan mereka untuk didirikan pondok pesantren dan pondok yatim karena dikhawatirkan lahan itu terlalu dekat dengan cerobong yang akan dibangun PLTU batu bara.

Tapi sebagian warga yang lain bersedia menyerahkan lahan mereka ke JP dengan syarat diganti rugi dengan harga yang sama seperti pembebasan lahan saat akan mendirikan PLTU. Permintaan warga ini pun disambut JP dengan sigap dan langsung mengganti rugi lahan berisi tanaman tua yang keseluruhannya kurang lebih seluas Desa Kebur dengan harga Rp50 juta/hektare.

Sejak itu, hingga saat ini September 2018, belum ada tanda-tanda bahwa lahan tersebut akan didirikan pondok pesantren dan panti yatim. Kini lahan tersebut berubah fungsi menjadi lahan tempat penumpukan abu bawah sisa pembakaran batubara PLTU batu bara Keban Agung.