Oleh : Olan Sahayu

Kanopi – Empat belas hari ikut merasakan suasana Desa Kebur yang sangat panas mencapai 33 derajat Celcius. Panasnya sampai ke ubun-ubun. Hari itu tiba di desa pukul 21.30 WIB. Malam pertama sudah menggunakan kipas, padahal saya tidak bisa menggunakan kipas saat malam hari. Namun lain cerita di Kebur, siang malam menggunakan kipas angin. Semua warga Kebur juga menggunakan kipas angin, dulunya kipas ini menjadi barang mewah bagi warga.

Persoalan di sini bukan hanya panas, tapi debu batubara yang beterbangan di jalan dan masuk kerumah warga, sampai rumah dalam gang ikut kemasukan debu.

“Dulu panas di Kebur belum terlalu panas, sekarang la sampai ke ubun-ubun, kalau nyapu 2-3 kali itupun masih juge banyak debu” bu Nurmala (47). Pernyataan ini bukan hanya dari satu orang warga, tapi hampir seluruh warga mengeluhkan panas dan debu batu bara.

Cuaca di desa mendung, tapi masih saja tetap panas. Aktivitas angkutan batu bara setiap detik lalu lalang membuat debu di jalan sampai masuk ke dalam rumah mengharuskan pintu depan rumah warga di desa tertutup. Teras rumah sudah pindah ke belakang. Sejak musim kemarau sudah 2 bulan yang lalu tidak ada hujan. Air sumur mulai kering sehingga warga mandi, mencuci di sungai Lematang. Sungai pun sudah dangkal dan banyak sampah yang hanyut terbawa arus.

Hidung mulai tak bersahabat, kerongkongan kering dan gatal-gatal serta badan mulai gatal-gatal akibat mandi di sungai Lematang. Suara bising angkutan yang tak henti lalu lalang membuat resah warga. Bukan hanya itu, truk pengangkut batubara juga kebut-kebutan di jalan, untuk menyeberang jalan butuh waktu bermenit-menit untuk bisa melintas.

Mengenai debu, warga kebur tidak mau ada uang ganti rugi juga penyiraman. Ada kesepakatan antara warga dengan pihak perusahaan bahwa mobil tidak boleh melebihi tonase, harus ditutup dengan terpal dan penyiraman ban sebelum masuk dari tambang ke desa. Jika ada batu bara yang jatuh maka langsung dikejar dan diadili oleh masyarakat. Itu salah satu cara dari warga untuk meminimalisir debu. Mereka berpikir, jika dilakukan penyiraman dan penyapuan jalan maka debu semakin banyak dan warga tidak bisa menuntut karena perusahaan sudah menjalankan kewajibannya.

PLTU batubara Keban Agung

PLTU mulut tambang Keban Agung berkapasitas 2×135 MW berdiri di wilayah Desa Kebur, Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Penancapan tiang pancang pertama pada Selasa, 7 Juli 2009, oleh Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi (Dirjen LPE), Jack Purwono. Ini merupakan proyek pembangkit listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) yang dibangun oleh PT Primanaya Energi berdasarkan IUKU-Sementara nomor 407-12/20/600.3/2007 tanggal 29 Oktober 2007.

Sejak 2007 pihak perusahaan sudah mulai membebaskan lahan warga. Sebelumnya, harga sebidang tanah hanya Rp3 juta/hektare, namun sejak 2007 tanah warga dibeli seharga Rp50 jt/ha untuk kebun karet siap sadap dan kopi siap panen. Kalau tanah kosong seharga Rp30 juta/ha. Waktu itu, warga senang ada perusahaan masuk. Mereka hanya melihat dari sisi positif saja. Perekonomian akan meningkat, desa akan ramai, itu yang diberitahukan kepada masyarakat.

Saat itu, tidak ada penolakan sedikit pun dari warga karena pembebasan lahan artinya warga akan mendapatkan duit. Sebelumnya harga tanah hanya Rp3 juta melonjak menjadi Rp50 juta.

Tahun 2009 setelah penancapan tiang pertama, konstruksi ditunda sementara dengan berbagai alasan hingga tahun 2012 konstruksi dilanjutkan dan 2016 COD PLTU Keban Agung sudah beroperasi sampai saat ini.

Persepsi Warga

Antara debu batubara dan abu PLTU batu bara belum dipahami sepenuhnya oleh warga Kebur. Mereka memahami dampak dari debu hanya mengakibatkan batuk-batuk dan sesak nafas. Padahal ada ancaman serius yang akan diderita jika selalu menghirup debu batubara.

Menurut Leni selaku bidan desa Kebur bahwa 70% masyarakat desa mengalami ISPA dan 10 persen mengalami TBC. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan dari Debi bahwa ia sudah terkena ispa dan sebulan yang lalu batuk sampai berdahak hitam, ada debu batu bara.

”Kalau untuk debu la pening dek, capek nyemprot sekarang, seminggu la hitam lagi” kata Debi.

Sejauh ini antisipasi warga menutup sumur dan beberapa warga menyiram depan rumahnya. Ditambah lagi suara bising dari mesin PLTU setiap hari, kadang pagi jam 10.00 WIB sampai subuh 03.00 WIB mengganggu waktu istirahat.

Tidak hanya di desa Kebur, desa tetangga juga sama yaitu Telatang, Muara Maung, Merapi dan Tanjung Baru. Salah satu warga Tanjung Baru yang kami temui saat di kebun karet miliknya, Pak Amat menceritakan kondisi yang terjadi. Rumahnya berdekatan dengan stockpile atau area penumpukan batu bara dan banyak truk tronton yang lewat membawa batu bara. Sebagian batu bara jatuh ke siring sehingga saat hujan sumur hitam kotor. Air sumur di dalam rumah sudah hitam.

Akibatnya, tiga tahun terakhir warga sudah pakai air galon karena air sumur tidak layak untuk diminum, hanya untuk masak nasi, mandi, cuci piring. Seluruh rumah warga yang berada di pinggir jalan tidak pernah lagi membuka pintu depan. Kalau masuk rumah langsung lewat pintu belakang.

“Sejak 4 tahun lalu Bapak sering batuk-batuk, diobati berenti tapi ngulang lagi. Bangun tidur nafas agak sempit,” kata Pak Amat.

Apa yang dialami warga tidak jauh dari fakta yang terdokumentasi dalam sejumlah riset dan literatur yang menyebutkan bahwa debu batu bara 0,1-10 micron atau PM 10 sangat mudah terhirup saat kita bernafas. Debu yang terhirup ini akan mengendap di paru-paru.

Debu yang berukuran diatas 5 micron akan mengendap di saluran nafas bagian atas sedangkan yang berukuran 3-5 micron akan menempel di saluran nafas bronkiolus. Sementara yang berukuran 1-3 micron akan sampai ke jaringan alveoli sehingga bisa menyebabkan penyakit paru hitam (Pneumoconiosis) atau sederhananya debu batu bara mengendap di dalam paru-paru karena terakumulasinya debu batubara di dalam paru-paru yang terhirup dalam jangka waktu yang lama https://zodized.blogspot.com/2015/04/pneumokoniosis-batubara-penyakit-akibat.html.

Perbedaan antara debu batu bara dengan abu sisa pembakaran batu bara sangatlah berbeda. Ukuran abu yang dipancarkan dari pembaharan batu bara berukuran 0,1-2,5 micron atau PM 2.5 yang jika terhirup maka akan menyebabkan kematian. Menurut penelitian dari Harvard University sebagaimana dimuat dalam laporan Greenpeace pada 2015 (http://m.greenpeace.org/seasia/id/PageFiles/695938/kita-batubara-dan-polusi-udara.pdf) mengestimasi bahwa polutan dari PLTU batu bara telah mengakibatkan kematian dini sekitar 6.500 jiwa per tahun di Indonesia. Angka  tersebut diperkirakan akan meningkat hingga 15.700 jiwa per tahun seiring dengan masifnya pembangunan PLTU batu bara di berbagai tempat di Indonesia. Pembakaran batu bara juga mengeluarkan bahan kimia berbahaya dan beracun seperti merkuri, timbal, arsenik dan lainnya serta polutan seperti Nox dan SO2 yang merupakan penyebab hujan asam.

Dampak Buruk Batubara

Tidak hanya soal kesehatan. Areal pertanian yang menjadi tumpuan utama ekonomi masyarakat pun terkena imbas. Dalam lima tahun terakhir, hasil panen padi menurun drastis. “Dulu sebelum 2014 hasil padi bisa 200-250 kaling namun dari 2014 sampai sekarang hanya 80-100 kaling dengan luas sawah 1 ha” kata Badarudin petani palawija.

Begitu pula tanaman karet. Penuturan pak Rustam warga Desa Tanjung Baru yang memiliki kebun karet yang berdampingan dengan areal tambang membuat getah karet berkurang drastis. Bukan hanya pak Rustam yang mengalaminya, Pak Amat yang memiliki kebun karet seluas 1 hektare mengeluh karena getah karet tak lagi seperti dulu

Gejala awal menurut Pak Amat yaitu sering mati pucuk. Ia memperkirakan hal itu dikarenakan debu batu bara dan suhu panas. Sudah sekitar 2 tahun terakhir gejala ini terjadi. Biasanya setiap hari bisa menghasilkan 18-20 kg getah karet tapi kini hanya 35 kg dalam tiga hari.

Tanaman karet yang terdampak limbah batubara diganti rugi Rp25 jt per per tahun, dengan luas kebun 3,5 ha, itupun kalau diurus ke perusahaan. Karet yang selama ini menjadi mata pencarian sehari-sehari oleh masyarakat sekarang terus menyusut getahnya.

Melihat kondisi di atas sangatlah beralasan sebab penurunan hasil panen juga disebabkan oleh hujan asam https://www.nationalgeographic.com/environment/global-warming/acid-rain/. Hujan asam terjadi saat pembakaran batu bara di mana polutan yang terpancar yakni sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen oksida (NOx) dilepas ke atmosfer. Gas-gas kimia ini bereaksi dengan air, oksigen, dan zat lain untuk membentuk larutan asam sulfat dan nitrat dengan bantuan angin dapat menyebarkan larutan asam ini di atmosfer lebih dari ratusan mil. Ketika hujan maka akan mengalir di permukaan air limpasan, memasuki sistem air, dan tenggelam ke dalam tanah sehingga menjadi racun bagi udang, ikan dan hewan yang ada di sungai dan danau.

Begitu juga terhadap tanaman, kandungan asam yang terkandung dalam hujan asam dapat memperlambat akar untuk tumbuh sehingga tumbuhan sulit untuk berkembang atau bisa jadi kerdil. Merampas nutrisi tanah dan melepaskan aluminium di tanah yang membuat pohon sulit untuk mengambil air atau kekeringan dan tanaman akan mudah terserang penyakit.