Kanopi – Milfajri mencabuti seribuan batang cabai dari atas lahan garapan di kawasan Pelabuhan Pulau Baai, Kelurahan Teluk Sepang, Kota Bengkulu. Cabai yang mulai tumbuh subur itu membusuk karena terendam banjir selama dua hari. Padahal, Milfajri sudah menumpukan harapan pada tanaman tersebut untuk membiayai kebutuhan keluarganya.

“Terpaksa dicabut karena sudah membusuk terendam banjir,” ucap Milfajri dengan wajah dipenuhi rasa kecewa.

Areal pertanian tak sampai 1 hektare itu sudah ia kelola selama enam tahun. Selama itu pula kegiatan budidaya tanaman palawija berlangsung lancar dengan hasil cukup memuaskan.

Ia pun berkisah tentang pengalaman sekali proses budidaya tanaman cabai sebanyak 1.226 batang dalam tempo 3-4 bulan dapat mengantongi pendapatan sebesar Rp40 juta.

Namun, sejak konstruksi PLTU batu bara Teluk Sepang dimulai, terjadi perubahan bentang kawasan tersebut dikarenakan penggalian di beberapa titik membuat air tanah tersedot. Akibatnya, persediaan air tanah semakin menipis yang membuat tanah di areal pertanian mudah mengalami kekeringan.

Ditambah lagi pekerja proyek menimbun beberapa parit yang selama ini menjadi drainase alami areal tersebut membuat aliran air tersumbat sehingga areal pertanian mereka sangat gampang tergenang air.

“Kalau panas dua hari saja sudah kering tanah ini. Tapi kalau hujan satu jam saja banjir,” ucapnya.

Wilkan, petani lainnya mengaku sudah pernah memprotes dampak konstruksi PLTU tersebut terhadap areal pertanian mereka. Beberapa petani mendatangi kepala proyek dan mengeluhkan banjir yang merendam areal pertanian.

Namun, protes tersebut sepertinya hanya dianggap angin lalu. Sebab, tidak ada upaya dari pemilik proyek untuk mengatasi masalah yang dihadapi petani. Ada sekitar 20 hektare areal pertanian yang digarap oleh 10 kepala keluarga yang berdampingan dengan lokasi konstruksi PLTU batu bara Teluk Sepang.

Selain mengubah bentang lahan mereka, keberadaan proyek itu juga menutup akses utama petani menuju lahan yang digarap tersebut. Penutupan akses ini membuat mereka terpaksa mengambil jalur tepi pantai dengan jarak lebih jauh dan hanya dapat dilintasi saat pasang air laut surut. Kondisi ini menyulitkan bagi petani untuk membawa hasil panen mereka untuk dijual ke pasar.

Keresahan para petani di Teluk Sepang menjadi gambaran kekhawatiran masyarakat Kelurahan Teluk Sepang yang sejak awal menolak proyek PLTU Teluk Sepang 2 x 100 Megawatt (MW) didirikan di sekitar permukiman mereka. Penolakan proyek PLTU berbahan bakar baru bara digelar warga dengan berunjukrasa di jalan lintas menuju Samudera Ujung. Aksi tersebut digelar bertepatan dengan peletakan batu pertama proyek pada 25 Oktober 2016.

Penolakan warga sangat beralasan, mereka tidak ingin permukimannya dicemari udara kotor dari debu pembakaran batu bara. Belajar dari pengalaman masyarakat di wilayah lain di mana PLTU sudah berdiri, debu batu bara bahkan merampas ruang kelola para nelayan dan menjadi biang kerok berbagai macam penyakit yg diderita masyarakat.