“Kalau makan hanya tiga kali sehari, tapi menyapu rumah karena abu PLTU sampai enam kali sehari,” kata Aida, perempuan beranak dua, warga Desa Sianjang Koto Kecamatan Talawi Kota Sawahlunto, Sumatera Barat.
Saat kami berkunjung ke desa itu pada akhir pekan lalu, Aida dan beberapa ibu rumah tangga lainnya tak henti menceritakan keresahan mereka karena polusi udara dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara Ombilin.
Permukiman warga bisa dikatakan bertetangga dengan lokasi PLTU batu bara Ombilin di tepi Sungai Batang Ombilin. Sungai ini bermuara ke Danau Singkarak. Aida mengatakan abu terbang dari PLTU Ombilin setahun terakhir sangat mengganggu warga karena abu memasuki rumah, hinggap di makanan dan otomatis terhirup setiap hari.
Selama ini menurut Aida mereka tidak tahu apa yang keluar dari cerobong PLTU tersebut karena tidak ada informasi dari pihak manapun tentang abu terbang PLTU batu bara termasuk golongan bahan berbahaya dan beracun atau B3.
“Anak-anak sering batuk dan berlangsung lama. Sudah dua kali anak saya masuk rumah sakit,” kata Aida.
Cerita Siti, ibu rumah tangga lainnya hampir sama. Ia mengeluh karena abu PLTU setiap hari masuk dan mengotori rumah. Lebih mencemaskan kata Siti dampak bagi kesehatan bagi anak-anaknya yang minggu ini kembali harus mengunjungi Puskesmas.
Kali ini menurut Siti seluruh anggota keluarga terserang batuk-batuk dan seluruhnya harus pergi berobat.
“Kami baru enam tahun tinggal di Sijantang Koto karena suami bekerja membawa bus penumpang jurusan Sawahlunto-Padang,” katanya.
Situs Warisan dunia
Desa Sijantang Koto merupakan satu dari desa yang terdapat di Kota Sawahlunto yang belum lama ini ditetapkan sebagai World Heritage alias Situs Warisan Dunia dengan nama Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto. Status ini cukup membanggakan bagi pemerintah Sumatera Barat dan Indonesia sebab Sawahlunto merupakan kawasan pertambangan batu bara tua yang sudah dieksplorasi sejak 1889.
Namun, fakta di balik status ini cukup miris sebab masyarakat Desa Sijantang Koto yang berdampingan langsung dengan PLTU batu bara Ombilin hidup dalam kecemasan akibat polusi udara.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang Wendra Rona Putra mengatakan PLTU mengalami masalah pada filter udara hingga terjadi kebocoran limbah fly ash (abu terbang) and bottom ash (FABA) ke Sungai Batang Ombilin. Menurut Wendra, kerusakan cerobong asap dan pembuangan limbah PLTU mulut tambang tertua dengan kapasitas pembangkit 2×100 MW ini, telah menghadirkan penyakit berbahaya kepada masyarakat di sekitar pembangkit.
Wendra menyebutkan hasil pantauan kualitas udara ambien di Desa Sijantang Koto pada Juni 2019 menunjukkan peningkatan partikel mikron (PM) 2,5. Dalam kondisi ini udara tidak layak lagi dihirup oleh makhluk hidup.
Partikel PM 2,5 yang lepas ke udara mencapai angka 315 µg/m3. Kondisi ini tiga kali lipat melebihi parameter maksimal yang ditetapkan dalam peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 15 tahun 2019 tantang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal yakni 100 µg/m3 untuk PLTU.
Kondisi mengkhawatirkan akibat kebocoran cerobong asap dan pembuangan limbah PLTU Ombilin ini dijelaskan Wendra berdampak pada kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU Ombilin.
Berdasarkan data BPS sebut Wendra, dalam tiga tahun terakhir terjadi peningkatan jumlah penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) di Kecamatan Talawi. Pada 2015, penderita ISPA di kecamatan tersebut berjumlah 4.914 orang, pada 2016 meningkat menjadi 5.038 orang. Jumlah ini menurut Wendra akan terus meningkat seiring semakin parahnya kerusakan filter PLTU Ombilin.
Hendra menambahkan kondisi mengkhawatirkan dari PLTU ini adalah para siswa di SDN 19 Sijantang Koto. Berdasarkan hasil pemeriksaan, kesehatan paru yang dilaksanakan oleh PLN bersama dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) di Kota Sawahlunto pada 2017 diketahui dari 50 orang murid kelas tiga dan kelas empat, 76 persen diketahui telah mengalami penurunan fungsi paru-paru. Ada juga yang mengalami bronchitis kronis dan TB paru.