Kanopi – Ada pemandangan berbeda di Shelter Tsunami Teluk Sepang, Kota Bengkulu pada Sabtu (1/12), pagi. Gedung yang sehari-hari diisi kawanan kambing itu tiba-tiba didatangi seratusan orang mahasiswa dan sejumlah warga.

Seratusan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) Universitas Bengkulu datang ke shelter yang dibangun untuk tempat pengungsian warga dari bencana tsunami tersebut untuk mengikuti kuliah.

Adalah Sustainable Development Goals (SDG’s) Center Universitas Bengkulu bersama lima organisasi non-pemerintah (Kanopi, WCC-Cahaya Perempuan, Lingkar Studi Feminis, Genesis dan Walhi) dan warga Teluk Sepang yang menggelar Kuliah Bersama Rakyat (KBR) di tempat tersebut.

Apa itu kuliah bersama rakyat? Kata “rakyat” ini memang punya muatan moral/ideologis yang besar. “Bersama rakyat” mengandaikan ada kesetaraan antara akademisi dengan “rakyat”. Tapi siapa “rakyat” yg dimaksudkan dalam konteks ini? Ide kuliah bersama rakyat ini memang berawal dari niat sekelompok akademisi yg terpanggil untuk melihat langsung, memahami dan mendukung perlawanan teman-teman warga Pegunungan Kendeng dalam menghadapi ekspansi pabrik semen di Rembang dan Pati.

Apa kaitan personalan yang dihadapi warga di Pegunungan Kendeng dan warga Teluk Sepang? Keduanya dihubungkan pada perjuangan atas hak-hak asasi mereka atas kedaulatan sumber daya alam dan hak atas lingkungan yang baik. Kegiatan KBR di Teluk Sepang adalah satu dari 19 KBR lainnya yang digelar di sejumlah kota dan provinsi lain untuk mengakomodasi isu-isu lingkungan, sumberdaya alam dan tata kelola, serta keberlanjutannya. KBR Bengkulu mengambil tema “Keadilan Energi, Hak Ekosob Warga dan Pengakan Hukum” yang mendatangkan lima narasumber yakni Pak Hamidin dan Bu Miswati, keduanya warga Teluk Sepang. Narasumber lain adalah Ali Akbar dari Kanopi Bengkulu, Nurkholis Sastro dari WCC-Cahaya Perempuan dan Randy Pradityo dari Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Bengkulu. Kuliah selama dua jam itu dimoderatori Bu Titiek Kartika dari SDG’s Center.

Kuliah diawali pemaparan dari Pak Hamidin yang menceritakan sejarah Teluk Sepang dan perjuangan warga menyelamatkan wilayah mereka dari aktivitas destruktif seperti penambangan pasir laut di pinggir Pantai Teluk Sepang pada tahun 2006. Saat itu kata Pak Hamidin warga resah dengan penambangan pasir karena tingkat abrasi di wilayah itu cukup tinggi. Perjuangan warga pun berhasil mendesak Wali Kota Bengkulu yang akhirnya mencabut izin penambangan pasir.

Setelah penambangan pasir berakhir, gempa bumi melanda wilayah Kota Bengkulu dan sekitarnya pada 2007. Saat itu warga dilanda kecemasan karena gempa berbekuatan 7,9 SR itu dikhawatirkan menimbulkan tsunami. Kecemasan itu diperparah dengan peristiwa gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada 2004.

Sejak gempa kuat itu masyarakat masih diliputi kecemasan bila sewaktu-waktu gempa atau tsunami melanda pesisir dan wilayah mereka. Menjawab keresahan masyarakat, pemerintah membangun shelter tsunami yaitu gedung terbuka bertingkat empat sebagai tempat mengungsi bila tsunami terjadi.

“Sejak itu kami mulai bisa tidur lelap,” kata Pak Hamidin.

Selang satu tahun, keresahan warga kembali diusik dengan kehadiran proyek energi listrik Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang sayangnya berbahan bakar batu bara berkapasitas 2 x 100 Megawatt (MW). Sejak proyek itu disosialisasikan di Kantor Lurah Teluk Sepang pada April 2016, warga sudah menolak dengan tegas yakni meminta pemerintah membatalkan proyek di sekitar permukiman mereka. Penolakan juga ditegaskan warga saat peletakan batu pertama proyek dengan berunjukrasa memblokir jalan menuju lokasi proyek.

Hanya satu keresahan Hamidin yang sejak awal menolak proyek energi kotor ini yaitu melindungi anak cucunya dan generasi masa depan Teluk Sepang dari ancaman polusi udara. Pembakaran batu bara akan menghasilkan debu beracun yang akan dihirup setiap hari oleh warga setempat. Ditambah lagi kecemasan atas lingkungan laut di mana pembakaran batu bara akan menghasilkan abu bawah dan sisa rebusan air yang dibuang ke laut dalam kondisi panas.

Baca : http://esa.or.id/kami-butuh-udara-bersih-bukan-debu-batu-bara/
Baca : http://esa.or.id/tolak-batu-bara-tangkal-paru-hitam/

Setelah pemaparan Pak Hamidin, narasumber kedua, Ibu Miswati menceritakan awal kedatangan mereka ke Teluk Sepang. Bu Miswati dan keluarganya serta puluhan kepala keluarga lain “dipindahkan” ke Teluk Sepang melalui program “transmigrasi” karena abrasi melanda rumah mereka di Pantai Malabero.

Peristiwa itu berlangsung pada tahun 1990. Ibu Miswati dan belasan keluarga lainnya dipindahkan dari “akarnya” di tepi Pantai Malabero dan dipaksa beradaptasi dengan lingkungan baru di sudut kota di Teluk Sepang. Setelah mendapatkan lingkungan baru di tempat itu, masyarakat dihantui proyek-proyek pemerintah yang mengabaikan suara mereka, salah satunya proyek PLTU batu bara Teluk Sepang.

“Kami tidak mau generasi yang akan datang menghirup racun batu bara,” kata Miswati.

Pembicara ketiga yakni Ali Akbar mengulas tentang hasil riset Kanopi di wilayah lain di mana PLTU batu bara telah berdiri seperti PLTU Keban Agung di Desa Kebur Sumatera Selatan dan PLTU Pangkalan Susu di Provinsi Sumatera Utara. Pengelolaan limbah B3 yang semrawut menjadi catatan khusus dari riset ke wilayah tersebut. Seperti di PLTU Pangkalan Susu di mana limbah abu bawah pembakaran batu bara ditimbun untuk memadatkan tanah proyek PLTU unit 3 dan 4. Sedangkan di PLTU Keban Agung, limbah abu bawah ditimbun untuk menutup lubang bekas galian tambang. Padahal limbah abu bawah pembakaran batu bara itu mengandung logam berat yang meracuni air dan tanah.

Hasil riset lain adalah abu atas dari cerobong PLTU yang mencemari perairan sekitar Pulau Sembilan di Pangkalan Susu, mengakibatkan hasil tangkapan nelayan, terutama komoditas udang merosot tajam. Kondisi ini juga yang dikhawatirkan terjadi bila PLTU batu bara di Teluk Sepang beroperasi. Bila beroperasi, PLTU ini akan membakar batu bara sebanyak 2.700 ton dan abu atas mencapai 39 ton per hari.

Terkait hak ekonomi sosial dan budaya (Ekosob), Nurkholis Sastro dari WCC Cahaya Perempuan menegaskan masyarakat Teluk Sepang merupakan korban dari kebijakan yang tidak mengutamakan rakyat sebagai komponen utama. Hak masyarakat diabaikan lewat proyek-proyek ambisius pemerintah yakni proyek energi kotor dan rencana kawasan ekonomi khusus (KEK) di Pelabuhan Pulau Baai.

“Masyarakat dipaksa menerima dan menjadi penonton di wilayahnya sendiri,” kata Sastro.

Sementara pembicara terakhir, Randy Pradityo mengulas tentang dugaan pelanggaran hukum, dimulai dari hak dan aspirasi masyarakat yang diabaikan. Persepsi warga yang disebutkan dalam Amdal yaitu 92 persen menyetujui proyek PLTU menurut dosen Fakultäs Hukum UMB ini perlu dipertanyakan karena pada saat yang sama warga berunjukrasa menolak proyek tersebut.

Menurut dia masyarakat calon terdampak adalah penentu utama dalam keputusan menjalankan proyek, Masukan dan suara dari masyarakat harus menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan.

Setelah pemaparan dari para narasumber, kuliah dilanjutan dengan diskusi tanya jaw. Ada tiga mahasiswa yang menyampaikan pikirannya tentang proyek PLTU batu bara Teluk Sepang. Ketiga mahasiswa yang memberikan pertanyaan tersebut pada umumnya mempertanyakan keputusan pemerintah yang tidak mengakomodir aspirasi masyarakat Teluk Sepang.