Siaran pers Koalisi Langit Biru dan Bersihkan Indonesia
Untuk disiarkan tanggal 5 Februari 2019.

BENGKULU- Koalisi Langit Biru yang merupakan gabungan organisasi masyarakat sipil, warga pejuang dan nelayan yang menolak PLTU batu bara Bengkulu, Rabu pagi membentangkan spanduk raksasa bertuliskan “Jokowi, PLTU membunuh laut kami,” tepat di perairan dekat PLTU batu bara Teluk Sepang, Kota Bengkulu.

Aksi tolak proyek energi kotor ini bertepatan dengan peresmian monumen Ibu negara pertama, Fatmawati oleh Presiden Joko Widodo. Kedatangan Jokowi semula juga dijadwalkan akan meresmikan PLTU batu bar Teluk Sepang.

“Ibu Fatmawati adalah ibu yang menjahit bendera Indonesia sehingga bisa meraih kemerdekaan. Sayangnya Indonesia telah dicabik-cabik dengan kebijakan pembangunan energi kotor seperti proyek PLTU batu bara Teluk Sepang ini. Jokowi telah merusak harapan masyarakat Bumi Raflesia untuk bisa menghirup udara bersih,” kata Ketua Kanopi Bengkulu, Ali Akbar.

Para aktivis sudah sejak awal menyatakan bahwa PLTU bukan pilihan bijak untuk pemenuhan kebutuhan listrik di Bengkulu dan Sumatera serta Indonesia.

Proyek PLTU batu bara Bengkulu penuh dengan masalah, seperti maladministrasi yang sudah diproses Ombudsman RI, klaim persetujuan warga, melanggar tata ruang, menghancurkan sumber nafkah petani, menghilangkan kawasan hutan mangrove serta memunculkan konflik sosial di tengah masyarakat Teluk Sepang.

Ditambah lagi kematian 28 ekor penyu yang diduga kuat disebabkan oleh proses uji coba PLTU ini, seharusnya menjadikan semua pihak meletakannya sebagai pondasi kesadaran untuk mengevaluasi ulang secara keseluruhan PLTU batu bara yang didanai bank BUMN Tiongkok ini.

Namun pemerintahan Jokowi sejak periode pertama sangat candu dengan energi fosil kotor dan mempercepat pelaksanaan program 35 ribu MW yang sebagian besar baurannya bersumber pada batu bara.

Diresmikannya PLTU batu bara Teluk Sepang dengan kapasitas 2 x100 MW di Teluk Sepang oleh Jokowi sebagai presiden Indonesia adalah bentuk nyata bahwa pemerintah lebih membela investor dari pada keselamatan lingkungan dan keselamatan warga.

“Pemerintah sendiri menyebut bahwa rasio elektrifikasi di Bengkulu telah mencapai 100% pada awal 2019. Jadi investasi pembangunan PLTU Teluk Sepang ini untuk siapa? Ini jelas bukan untuk masyarakat tapi untuk kepentingan industri yang risikonya ditanggung oleh keragaman hayati laut dan ratusan ribu warga di Kota Bengkulu,” tambah Ali Akbar.

“Ini adalah tipikal kebijakan pemerintah yang didukung oleh oligarki batu bara dan ditambah dengan investasi Tiongkok yang memang tidak menganggap penting pada aspek lingkungan dan masyarakat. Sementara masyarakat akan menanggung biaya yang melekat dari investasi pltu ini dengan nilai yang begitu mahal seperti kesehatan dan lingkungan,” kata Ahmad Ashov Bisry, dari gerakan #BersihkanIndonesia.

Protes dan penolakan masyarakat atas pembangunan PLTU Batu Bara seperti di Teluk Sepang juga terjadi di banyak daerah di Indonesia. Dari Nagan Raya di Aceh, hingga Celukan Bawang, Bali serta Panau, Sulawesi Tengah, hampir di semua proyek pembangunan PLTU ditolak karena sejarah dampak kerusakannya terhadap kesehatan dan lingkungan yang tidak terbantahkan lagi.

“Apa yang kini tengah dibangun Presiden Jokowi tidak lain adalah bangunan sistem yang hanya menopang kepentingan segelintir pengusaha dan politisi di dunia ekstraktif. Padahal keinginan masyarakat untuk Indonesia beralih ke energi bersih terbarukan terus tumbuh dan menguat. Omnibus Law dengan undang-undang cipta lapangan kerja atau Cilaka adalah proyek besar kelompok ini,” tambah Ashov.

Gerakan penolakan energi kotor ini menuntut presiden untuk menghentikan proyek-proyek PLTU batu bara di Indonesia dan segera menyusun peta jalan transisi ke energi terbarukan.

Catatan editor:
1] https://www.cnbcindonesia.com/news/20190422211651-4-68137/kini-100-desa-di-bengkulu-sudah-teraliri-listrik

Kontak:
Ali Akbar, jurubicara #BersihkanIndonesia dari Kanopi Bengkulu – 085273572112
Ahmad Ashov Birry, Jurubicara #BersihkanIndonesia dari Trend Asia – +62 811-1757-246