Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah pada kesempatan membuka sosialisasi pengembangan panas bumi Bengkulu di Kepahiang pada Oktober 2018 mengungkapkan potensi Bengkulu sebagai lumbung energy bersih nasional dengan potensi pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) sebesar 1.362 Megawatt electric (MWe).

Ungkapan itu seharusnya menjadi visi dalam pengembangan energy listrik di Bengkulu kedepan dengan memprioritaskan energy terbarukan sebagai sumber utama energy listrik daerah. Selain pertimbangan ekonomi, pengembangan energy terbarukan juga sejalan dengan upaya pelestarian lingkungan. Sayangnya, kenyataan di lapangan tidak demikian.

Sejak 2016, menggunakan dana pinjaman dari China, pemerintah masih menambah pembangkit listrik dari energy tidak terbarukan atau energy fosil yaitu pembangkit listrik tenaga uap (PLTU)  batu bara berkapasitas 2×100 MW di Kelurahan Teluk Sepang, Kota Bengkulu.

Dunia sudah memakai batu bara sebagai sumber energy sejak berates tahun lalu. Penemuan mesin uap oleh James Watt yang dipatenkan pada 1769 sangat berperan dalam pertumbuhan penggunaan batu bara. Sehingga,  riwayat penambangan dan penggunaan batu bara tidak dapat dilepaskan dari sejarah revolusi industri, terutama terkait dengan produksi besi dan baja, transportasi kereta api dan kapal uap.

Dampak “industrialisasi” itu pun kini terasa dan menjadi factor utama dalam terjadinya pemanasan global yang mengakibatkan suhu bumi meningkat dan memicu perubahan iklim yang berpengaruh negative pada lingkungan dan menurunkan kualitas hidup semua mahluk di planet.

Mengutip dari data Badan Energi Internasional (IEA), bahan bakar fosil batu bara menyumbang 44 persen dari total emisi karbon global. Karena itu, Konferensi Perubahan Iklim  (Conference of the Parties/ COP) di Paris pada akhir 2015 mengamanatkan negara-negara peserta, termasuk Indonesia untuk mengurangi suhu global dibawah 2 derajatcelsius.

Salahsatucaranya, mengurangi konsumsi energy berbasis fosil, termasukbatubaraadalah pengurangan energy fosil dibarengi dengan peningkatan penggunaan energy terbarukan yang lebih ramah lingkungan seperti energy berasal dari matahari, panasbumi (geothermal), angin, air (hydropower) dan berbagai bentuk dari bio massa.

Padahal, potensi energi baru terbarukan (EBT) Indonesia mencapai 443 gigawatt (GW). Sayang sekali, hingga tahun lalu, potensi pemanfaatan EBT baru berkisar 8 GW.Memang, Indonesia punya ambisi mulia untuk mengejar target bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025. Faktanya, hingga 2017, bauran EBT Indonesia masih di angka 11,9 persen

Kondisiini yang mendorong sekelompok mahasiswa dan aktivis lingkungan yang bergabung dalam Komunitas Fossil Free atau Bebas Energi Fosil Bengkulu mengkampanyekan penghentian pengunaan energifosil sebagai sumber listrik dan segera mewujudkan transisi 100 persen energy terbarukan.

“Lewat peluncuran komunitas hari ini, kami mengajak kaum muda dan kelompok masyarakat untuk bersama-sama bersuara mendorong pemerintah segera mengakhiri pengembangan energy fosil dan menyiapkan kebijakan transisi ke energi terbarukan yang bersih dan ramah lingkungan,” kata Koordinator Komunitas Fossil Free Bengkulu, Cimbyo Layas Ketaren di sela peluncuran komunitas itu di Pantai Tapak Paderi, Minggu (08/09/19).

Menurut dia, kegiatan ini juga bertujuan meningkatkan pemahaman kaum muda tentang dampak buruk energi kotor bagi bumi dan pentingnya segera beralih keenergi terbarukan serta membangun kepedulian pemuda terhadap lingkungan.

Melalui rangkaian kegiatan seperti talk show, pemutaran film, belajar dan prakfik membuat alat kampanye diharapkan menjadi media untuk menjangkau millennial untuk bersama-sama bersuara mewujudkan transisi menuju 100 persenenergiterbarukan.Kegiataniniakan melibatkankaum muda mulai dari pelajar SMP dan SMA, kelompok pecinta alam dan mahasiswa.

Pada akhir kegiatan digelar penerbangan layang-layang yang sebelumnya sudah ditandatangani oleh peserta. Penerbangan layang-layang ini menjadi simbolis seruan sebagai bentuk ikrar dan komitmen bersama Bengkulu bebas energy fosil.