Bekerja di medan yang keras ternyata bukan monopoli kaum laki-laki saja. Pekerjaan ini pun dilakoni banyak perempuan yang bekerja sebagai parting atau pemisah batu dari batu bara di stockpile atau area penumpukan batu bara Pulau Baai, Kota Bengkulu
Di PT Jambi Resources misalnya, ada sebanyak 33 orang perempuan yang bekerja di area penumpukan stockpile di sekitar area pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di Bengkulu. Mereka bekerja memisahkan “kotoran” dari batu bara seperti batu sungai, sampah, dan tanah.
Ibu Rukhaya salah seorang dari mereka. Setiap hari menghabiskan waktunya di tumpukan batu bara, mulai bekerja dari pukul 07.00 WIB sampai 17.00 WIB. Ia bekerja mencari nafkah, sembari mengerjakan tugas rumah tangga.
Sebelum ayam berkokok, Ibu Rukhaya sudah bangun untuk menjalankan kewajiban sebagai ibu rumah tangga. Ia memasak sarapan pagi dan mempersiapkan kebutuhan sekolah anak-anaknya.
Setelah memasak, Ibu Rukhaya berangkat ke stockfile dan bekerja sebagai parting dengan gaji Rp 50 ribu per hari, dengan alat pelindung diri (APD) yang minim. Rukhaya menggunakan caping untuk menghalau teriknya matahari di kepala dan bandana sebagai penutup mulut dan hidung dari debu batu bara.
Sudah tujuh tahun Ibu Rukhaya bekerja sebagai buruh parting, dengan keterbatasan pengetahuan tentang dampak yang ditimbulkan akibat menghirup partikel batu bara. Rukhaya mengatakan terpaksa mengabaikan dampak kesehatan dari pekerjaannya demi mendapatkan uang untuk menyekolahkan anak anaknya. Uang itu juga dipakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sebab pendapatan suami yang seorang nelayan belum mencukupi.
Rukhaya menjadi potret kondisi hilir batu bara yang selama ini belum banyak diulas. Penelitian dan advokasi cenderung dilakukan di wilayah hulu di mana batu bara itu ditambang.
Padahal, pekerjaannya itu cukup berisiko bagi kesehatannya. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa para pekerja tambang sangat rentan mengalami pneumokoniosis. Seperti dilansir depkes.go.id pada 13 November 2015, sebuah riset menunjukkan, sekitar sembilan persen penambang batu bara di Indonesia menderita pneumokoniosis.
Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), pneumokoniosis merupakan penyakit akibat kerja (PAK) paling banyak diderita oleh pekerja. Tahun 2013, 30 persen hingga 50 persen pekerja di negara berkembang menderita pneumokoniosis. Sedangkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, dari 1 juta kematian pada pekerja, lima persen di antaranya adalah akibat Pneumokoniosis.
Dalam bahasa awam, penyakit akibat paparan debu batubara disebut paru-paru hitam (black lung disease) atau coal worker’s pneumoconiosis (CWP). CWP atau pneumokoniosis batu bara terjadi akibat terhirupnya debu batu bara secara berlebih atau dalam jangka waktu yang lama.
Risiko pekerja terkena pneumokoniosis tergantung dari berapa lama pekerja tersebut terpapar debu batu bara. Penyakit ini terjadi bila paparan cukup lama, biasanya setelah pekerja terpapar lebih dari 10 tahun.
Karena proses sejak terpapar debu hingga muncul gejala butuh waktu bertahun-tahun, sering kali pada tahap awal penyakit ini tidak bergejala. Maka dari itu, pneumokoniosis batu bara ini sering tidak terdeteksi. Kebanyakan seseorang baru terdeteksi mengidap pneumokoniosis saat berusia lebih dari 50 tahun.
Bila pekerja sudah didiagnosis menderita pneumokoniosis batu bara, artinya pekerja tersebut harus lebih berhati-hati. Sebab, pneumokoniosis bisa berkembang pada tahap terberatnya menjadi kanker paru yang menjadi penyakit pembunuh no satu di dunia.
Di Bengkulu sekarang ini sedang dibangun PLTU batu bara di wilayah Samudera Ujung Pulau Baai, dengan daya 200 MW. Apabila pembangkit ini beroperasi sebanyak 2.900 ton batu bara akan dibakar per hari. Hal ini akan berdampak buruk baik dari segi lingkungan maupun kesehatan masyarakat. Terutama 3.000 jiwa masyarakat Kelurahan Teluk Sepang yang bermukim 1,5 kilometer dari PLTU sangat rentan terpapar debu pembakaran batu bara.
Dampak PLTU batu bara menyebabkan masyarakat terpapar bahan beracun, ozon dan logam berat. Dampak kesehatan yang berat disebabkan partikel mikroskopik yang terbentuk dari emisi sulful, nitrogen oksida dan debu. Partikel halus ini menembus ke dalam paru-paru dan aliran darah, menyebabkan kematian dan barbagai masalah kesehatan.
Polusi udara dari emisi PLTU batubara meningkatkan risiko penyakit serius seperti kanker paru-paru, stroke, penyakit jantung, penyakit pernapasan kronis dan infeksi saluran pernapasan akut. Bayi, ibu hamil, dan orang tua yang paling rentan terhadap efek akut dari polusi udara.
Hasil pemodelan atmosfer GEOS-Chem yang dilakukan oleh tim peneliti Harvard University – Atmospheric Chemistry Modeling Group (ACMG) menunjukkan bahwa polusi udara dari operasi PLTU Batubara saat ini telah menyebabkan kematian dini sekitar 6.500 jiwa per tahun. Penyebab utamanya adalah stroke (2.700), penyakit jantung iskemik (2.300), penyakit paru obstruktif kronik (400), kanker paru-paru (300) serta penyakit kardiovaskular dan pernapasan lainnya (800).
Selain itu, keberadaan proyek pembangkit listrik ini juga mengancam mata mencaharian nelayan tradisional yang melaut hanya sekitar dua mil dari daratan. Kondisi ini sudah dialami nelayan di beberapa daerah di Pulau Jawa, antara lain di Jepara, Cilacap dan Labuan, Banten. Para nelayan mengeluhkan minimnya hasil tangkapan pasca-operasi PLTU di pesisir wilayah itu.
Pembakaran batu bara juga menjadi biang kerok pemanasan global akibat emisi yang dihasilkan. Pandangan sebagian besar ilmuwan bahwa emisi yang sudah dilepaskan akan terus berkontribusi lebih lanjut terhadap pemanasan global paling tidak sepanjang dekade mendatang.
Berdasarkan data Badan Energi Internasional (IEA), bahan bakar fosil batu bara menyumbang 44 persen dari total emisi karbon global. Sementara pemerntah Indonesia masih mengandalakan batu barasebagai sumber energi. Proyek penambahan listrik sebanyak 35.000 MW masih bertumpuh 60 persen pada batu bara.
Atas potret ancaman kesehatan dan konflik yang ditimbulkan keberadaan pembangkit ini, seharusnya pemerintah menghentikan penggunaan batu bara sebagai sumber energi dan beralih ke sumber energi terbaru dan rama lingkungan seperti tenaga surya, tenaga angin, dan tenaga air.
LITERATUR
- http://www.downtoearth-indonesia.org/id/story/batubara-dan-perubahan-iklim
- https://www.safetysign.co.id/news/210/Bahaya-Menghirup-Debu-Batu-Bara-Pekerja-Tambang-Rentan-Terkena-Pneumokoniosis
- https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150513152441-20-53107/pembangunan-pltu-batang-berdampak-buruk-bagi-nelayan/
- http://www.mongabay.co.id/2017/08/24/nestapa-nelayan-di-sekitar-pembangkit-listrik-batubara-labuan-bagian-2/
- http://m.greenpeace.org/seasia/id/PageFiles/695938/laporan-ringkas-ancaman-maut-pltu-batubara.pdf