Siaran Pers:

Jakarta, 26 November 2018 – Kelompok masyarakat sipil yang terdiri atas, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Yayasan Auriga Nusantara (AURIGA) yang tergabung dalam Gerakan #BersihkanIndonesia mengajukan pendapat hukum amicus curiae (sahabat pengadilan) kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Jakarta, Senin (26/11).

Pengajuan amicus curiae setebal 25 halaman ini ditujukan untuk menjadi bahan pertimbangan majelis hakim dalam melihat kasus korupsi PLTU Mulut Tambang Riau-1 sebagai permufakatan yang sangat canggih (corruption by design) dan teroganisir antara partai politik, korporasi dan pemodal asing.

Pendapat hukum ini disusun berdasarkan informasi yang dikumpulkan oleh masyarakat sipil melalui penulusuran langsung ke lapangan, pengumpulan informasi sekunder, pemantauan persidangan, maupun pengumpulan informasi di bursa saham di Indonesia ataupun di Singapura. Dugaan permufakatan jahat yang sangat canggih ini hanya akan mendatangkan kerugian bagi Indonesia seperti kerusakan lingkungan, terampasnya sumber-sumber penghidupan masyarakat di sekitar PLTU dan atau tambang batubara pemasoknya, biaya listrik yang akan ditanggung oleh warga atau pengguna lainnya yang akan lebih mahal bahkan potensi beban perekonomian negara karena memberikan jaminan terhadap proyek ini.

Dalam amicus curiae yang telah masyarakat sipil sampaikan kepada Majelis Hakim PN Tipikor Jakarta,memiliki poin-poin kesimpulan sebagai berikut:

1. Suap atau pemberian uang oleh Johannes Budisutrisno Kotjo kepada Eni Maulani Saragih, dan Idrus Marham, yang alirannya sampai ke Munaslub Golkar, serta janji pemberian fee kepada Sofyan Basir merupakan rangkaian dari mega korupsi yang tidak dapat dipandang berdiri sendiri. Pemberian uang tersebut jelas terkait dengan upaya Johannes Budisutrisno Kotjo supaya konsorsium Blackgold dapat menjadi pelaksana pembangunan dan pengoperasian PLTU MT Riau-1

2. Ada dugaan membangun desain supaya tindakan yang illegal seolah-oleh menjadi legal yang dimulai dari upaya sistematis mendorong munculnya proyek PLTU MT Riau-1 dalam RUPTL yang dibuat oleh PT PLN dan disahkan oleh Menteri ESDM hingga terjadinya perubahan Peraturan Presiden terkait mekanisme kerjasama antara PT PLN melalui anak perusahaannya dengan PT Samantaka Batu Bara (badan usaha swasta), Blackgold Natural Resources (badan usaha asing) dan CHEC (Badan Usaha Milik Negara Asing)

3. Dugaan Korupsi Proyek PLTU Riau-1, bukan saja melibatkan orang perseorangan, tetapi melibatkan banyak persekongkolan jahat korporasi untuk menguasai hajat hidup orang banyak, dan dapat merugikan ekonomi negara, maka penegakan hukum kasus ini tidak bisa berhenti hanya pada Johannes Budisutrisno Kotjo, Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham, tetapi harus dikembangkan hingga dapat membongkar aktor kunci korupsi PLTU MT Riau-1

4. Tindakan Johannes Budisutrisno Kotjo sebagai salah seorang pemegang saham di Blackgold tidak dapat dipisahkan sebagai tindakan korporasi, karena apa yang dilakukan oleh Johannes Budisutrisno Kotjo secara langsung memberikan keuntungan kepada Korporasi, dan bertujuan untuk kepentingan korporasi, sehingga seluruh korporasi yang menjadi bagian dalam Konsorsium Blackgold -Blackgold Natural Recourses, China Huadian Engineering Co, PT Samantaka, PT BJB, dan PT PLN BB-, dan PT PLN tentu saja bagian yang tidak pula bisa dilepaskan sebagai korporasi yang perlu diperhitungkan untuk dimintakan pertanggungjawabannya, karena selain telah menguntungkan korporasi, tindakan korporasi tersebut berpotensi untuk menimbulkan kerugian ekonomi Indonesia.

5. Peran Partai Golkar yang telah menerima uang yang patut diduga bersumber dari hasil kejahatan, serta telah memanfaatkan uang itu untuk kepentingan munaslub perlu menjadi perhatian khusus, karena tindakan tersebut secara sederhana telah memenuhi unsur Pasal 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dari kesimpulan di atas masyarakat sipil mendukung hakim untuk menjatuhkan vonis yang berpihak pada kepentingan Indonesia baik publik, warga terdampak, maupun lingkungan hidup, karena suap atau hadiah yang diberikan Johannes Budisutrisno Kotjo kepada Eni Maulai Sarigih merupakan rangkaian kecil dari lingkaran korupsi besar. Penegak hukum juga harus melihat keterlibatan korporasi dalam kasus ini baik yang dilakukan oleh BUMN atau anak perusahaannya maupun korporasi asing.

—–
Nara Hubung:
Arip Yogiawan – YLBHI (+62 812 1416 4445, arip.yogi@ylbhi.or.id)
Dwi Sawung – WALHI (+62 815 6104 606, sawung@walhi.or.id)
Firdaus Ilyas – ICW (+62 821 25113199, deepink@antikorupsi.org)
Hendrik Siregar – AURIGA (beggy@auriga.or.id)