Memperingati Hari Lingkungan Hidup sedunia 5 Juni 2022 Kanopi Hijau Indonesia, Fossil Free Bengkulu serta puluhan pemuda lintas komunitas dan organisasi menggelar aksi di Simpang Lima Ratu Samban, Kota Bengkulu. Aksi ini untuk menyuarakan kondisi lingkungan saat ini dimana hulu dikeruk dan hilir diracuni. Tema hari lingkungan hidup tahun ini adalah Only One Earth atau hanya ada Satu Bumi. Namun, tema tersebut hanyalah slogan jika dilihat fakta yang terjadi di Bengkulu.
Koordinator aksi, Cimbyo Layas Ketaren yang juga Koordinator Fossil Free Bengkulu mengatakan bahwa aksi ini bertujuan mengingatkan semua orang tentang kondisi lingkungan yang ada di Provinsi Bengkulu.
“Hulu dihancurkan dan hilir diracuni adalah kondisi lingkungan yang dipertontonkan setiap hari di depan mata kita,” kata Cimbyo.
Ia berharap aksi damai yang menggambarkan penghancuran lingkungan yang diperankan para aktivis lingkungan dapat membangkitkan kesadaran publik untuk peduli dan menjaga lingkungan. Ia menambahakan kondisi saat ini di hulu, perambahan hutan, penebangan liar hingga praktik jual beli kawasan hutan masih terus terjadi. Selain itu, penghancuran sumber air untuk pertambangan batu bara juga menyumbang kerusakan yang menambah penderitaan rakyat.
Sedangkan di hilir, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara Teluk Sepang sudah menimbulkan dampak buruk.
Hal tersebut juga ditekankan oleh Direktur Program dan Kampanye Kanopi Hijau Indonesia, Olan Sahayu mengatakan bahwa proses penghancuran ini terus berlangsung.
Olan mencontohkan, di habitat gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) di Bentang Alam Seblat ditemukan 58 titik perambahan baru, ada pula ancaman tambang batu bara PT Inmas Abadi.
Saat ini seluas 23.740 hektare kawasan hutan Bentang Seblat di wilayah Bengkulu Utara dan Mukomuko telah dirambah dan kehilangan fungsinya tanpa ada tindakan berarti dari pemangku dan penegak hukum.
Sedangkan di Desa Pondok Bakil, Bengkulu Utara pengerukan batubara oleh PT Injatama sudah menimbulkan kerusakan dan merugikan rakyat.
Di sektor hilir, akibat pembakaran batu bara, pembuangan limbah cair ke laut tanpa izin diduga telah menyebabkan 28 ekor penyu mati.
Tidak hanya itu, limbah air bahang dengan suhu tinggi dapat menyebabkan pemutihan terumbu karang. Akibatnya, ribuan nelayan pesisir Kota Bengkulu dan Seluma akan terganggu penghidupannya karena hasil tangkap mereka bergantung pada kelestarian sumber daya laut.
Tidak hanya itu, pembakaran batu bara juga mengeluarkan abu beracun yang menyumbang emisi ke atmosfir. Setiap hari sebanyak 700 kg abu serta senyawa beracun seperti NOx, Sox, CO keluar dari cerobong PLTU.
Senyawa tersebut di atas bila dihirup manusia akan menyebabkan penyakit ISPA, kanker paru-paru, jantung, hingga kematian dini bagi warga Kota Bengkulu, Bengkulu Tengah dan Seluma yang terpapar abu pembakaran PLTU.
Padahal, pembakaran batu bara berkontribusi 44 persen pada emisi karbon dunia yang menjadi penyebab krisis iklim. Artinya, PLTU batu bara di Bengkulu ikut berkontribusi atas krisis iklim yang terjadi saat ini.
Atas semua ini, menurut Olan negara masih abai akan keselamatan lingkungan dan masa depan generasi yang akan datang.
“Kita sudah tidak punya banyak waktu. Jika dalam abad ini tidak ada perbaikan pengelolaan lingkungan hidup, maka planet ini akan semakin kritis. Daya dukung lingkungan dipastikan akan hancur,” kata Olan.
Karena itu, negara harus segera mengambil langkah nyata untuk mengendalikan kerusakan lingkungan, salah satu langkah nyata yang dapat dilakukan adalah menghentikan praktik penghancuran hutan dan secepatnya transisi dari energi batu bara ke energi terbarukan.