Jakarta – 5 Desember 2018 – Indonesia tidak memiliki peraturan baku mutu air limbah PLTU Batubara yang dibuang ke laut sehingga potensi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan laut atas kegiatan pada unit pembangkit sangat besar. Padahal sebanyak 82% PLTU Batubara yang tercantum dalam RUPTL 2018-2027 berada di daerah pesisir. Penguatan kebijakan melalui pembentukan peraturan khusus pembuangan air limbah PLTU Batubara harus segera dilakukan.

Berdasarkan RUPTL 2018-2027, dari target bauran energi akhir tahun 2025, kontribusi PLTU Batubara paling besar yaitu 54%, sedangkan sisanya bersumber dari energi baru terbarukan, BBM dan gas. Dari 53.717 MW total target energi nasional dari batu bara itu, 82% atau 44.047 MW akan dihasilkan dari pembakaran batu bara yang mengancam daerah pesisir dan kehidupan laut.

Analisis yang dilakukan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengungkapkan peraturan baku mutu air limbah PLTU Batubara yang ada sangat longgar [1]. Landasan utama pencegahan dampak pencemaran air limbah yakni PermenLH No. 8 tahun 2009 hanyalah turunan dari Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001. Sementara PP No. 82 tahun 2001 sendiri tidak mengatur terkait air laut sehingga PermenLH No. 8 Tahun 2009 tidak dapat digunakan untuk acuan baku mutu air limbah PLTU Batubara yang dibuang ke laut.

“Tidak adanya baku mutu air limbah PLTU Batubara yang dibuang ke laut mengakibatkan tidak adanya jaminan perlindungan ekosistem pesisir dan laut. Bagaimana mungkin Indonesia akan membangun 19.611 MW PLTU Batubara yang baru dan 24.435,96 MW PLTU Batubara yang sekarang beroperasi di daerah pesisir sementara aturan pencegahan yang ada saat ini tidak tepat sasaran, sangat longgar dan saling bertolak belakang,” kata Angela Vania, Peneliti Divisi Pesisir dan Maritim Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)

Sementara itu, Ohiongyi Marino, Kepala Divisi Pesisir dan Maritim ICEL menambahkan: “Kami mendorong dibentuknya peraturan baru yang khusus mengatur baku mutu air limbah PLTU Batubara yang dibuang ke laut. Pembentukan peraturan ini penting untuk melaksanakan amanat UU No. 32 Tahun 2009 sendiri dan melindungi ekosistem pesisir dan laut dari kegiatan PLTU Batubara yang meningkat.”

Batu mutu suhu limbah bahang pada PermenLH No. 8 tahun 2009 memperbolehkan kenaikan suhu hingga 40oC ketika dibuang ke badan air penerima limbah. Ini berbeda dengan baku mutu suhu air laut dalam KepmenLH No. 51 tahun 2004 yang hanya memperbolehkan peningkatan suhu tidak lebih dari 2oC. Karena suhu rata-rata air laut di Indonesia adalah 29,5oC maka kenaikan suhu air laut seharusnya tidak lebih dari 31,5oC.

Perbedaan suhu air laut lebih dari 2oC akan mengganggu organisme laut. Bahkan kenaikan suhu sebesar 3oC-5oC mengakibatkan kematian bagi organisme laut. Kenaikan suhu 2oC-3oC berdampak kronis [3], misalkan mengganggu pola distribusi beberapa jenis organisme laut, menghambat metabolisme, dan menghambat fotosintesis.[4]

“Baku mutu suhu limbah bahang harus sama dengan baku mutu suhu air laut, yaitu perbedaan tidak melebihi 2oC dari suhu alami atau 31,5oC. Penetapan baku mutu suhu limbah bahang yang lebih ketat ini harus ditetapkan dalam peraturan yang baru,” ujar Vania.

Selain itu, ada parameter logam berat yang luput ditetapkan dalam PermenLH No. 8 Tahun 2009 untuk sumber kegiatan tempat penyimpanan batu bara (coal stockpile). PermenLH No. 8 Tahun 2009 tidak menetapkan parameter logam berat sama sekali untuk sumber kegiatan FGD sistem sea water wet scrubber, hanya parameter pH dan SO4(2-). Padahal air limbah kegiatan itu tidak hanya mengandung sulfur, namun juga logam berat yang beracun bagi tanaman, ikan dan serangga akuatik serta menurunkan kualitas air laut.

Tidak hanya itu, PermenLH No. 8 tahun 2009 juga tidak menetapkan baku mutu air lindi untuk sumber kegiatan di tempat penyimpanan dan penimbunan abu batu bara. Air lindi dari abu batu bara sangat berbahaya karena mengandung logam berat yang berpotensi mencemari ekosistem laut sehingga penting sekali untuk diatur.[5]

“Di samping baku mutu suhu limbah bahang, kami meminta penetapan baku mutu air lindi untuk sumber kegiatan di tempat penyimpanan dan penimbunan abu batu bara serta parameter-parameter logam berat untuk sumber kegiatan coal stockpile dan FGD sistem sea water wet scrubber dalam peraturan yang baru juga,” kata Ohiongyi.

“Jadi dari apa yang tertulis dalam aturan hukum, jelas PermenLH No. 8 Tahun 2009 tidak bisa mencegah kerusakan masif dari PLTU Batubara terhadap lingkungan pesisir dan laut. ICEL mendesak pemerintah dalam hal ini KLHK untuk segera membentuk peraturan baru yang khusus mengatur baku mutu air limbah PLTU Batubara yang dibuang ke laut. Peraturan ini terutama mengatur tentang ketiga isu di atas,” tegas Ohiongyi.

Kontak:
Angela Vania, Peneliti Divisi Pesisir dan Maritim ICEL, Telp: 081382166348
Ohiongyi Marino, Kepala Divisi Pesisir dan Maritim ICEL, Telp: 085777070735

Catatan editor:
Kertas Kebijakan secara lengkap dapat dilihat di: Urgensi Peraturan Khusus Mengenai Baku Mutu Pembuangan Air Limbah PLTU Batubara ke Laut

Infografis dapat dilihat di : Urgensi Peraturan Khusus Mengenai Baku Mutu Pembuangan Air Limbah PLTU Batubara ke Laut

1] Empat peraturan yang menjadi bahan hukum primer dalam analisis kebijakan ini:
a) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU No. 32 Tahun 2009)
b) Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut (“KepmenLH No. 51 Tahun 2004”)
c) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 8 Tahun 2009 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pembangkit Listrik Tenaga Termal (“PermenLH No. 8 Tahun 2009)
d) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.63/Menlhk/Setjen/KUM.1/7/2016 tentang Persyaratan dan Tata Cara Penimbunan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun di Fasilitas Penimbusan Akhir (“PermenLHK No. 63 Tahun 2016”)

2] Parameter logam berat yang dapat ditetapkan pada kegiatan coal stockpile adalah besi, mangan, kromium, kobalt, tembaga, timbal, nikel, seng, merkuri, perak, arsen, kadmium, boron, selenium dan barium.

Sementara dari kegiatan FGD adalah selenium, boron, arsen, merkuri, nitrat, besi, mangan, kromium, kobalt, tembaga, timbal, nikel, seng, merkuri, perak, kadmium, dan barium. Selain parameter logam berat, dapat ditetapkan pula parameter pH dan TSS.

Parameter-parameter yang dapat ditetapkan untuk baku mutu air lindi adalah pH, besi, mangan, barium, tembaga, seng, kromvalensi enam, krom total, cadmium, merkuri, timbal, stanum, arsen, selenium, nikel, kobal, sianida, sulfida, flourida, klorin bebas, amoniak bebas, nitrat, nitrit, klorin bebas, phosphat, karbon organisk total, salinitas, BOD5, COD, senyawa aktif biru metilen, fenol, minyak dan lemak, AOX, PCBs, PCDFs, dan PCDDs.

3] Stephen L. Coles, “Marine Management and The Sitings of Electrical Generating Stations on Tropical Shorelines,” Mar. Res. Indonesia vol. 19 (1977), hlm. 68.

4] lihat: Cui-Luan Yao dan George N. Somero, “The Impact of Ocean Warming on Marine Organisms,” Chinese Science Bulletin vol. 59 no. 5-6 (Februari 2014).

5] lihat: The Environmental Integrity Project, et. al., Closing The Floodgates: How The Coal Industry Is Poisoning Our Water and How We Can Stop It, hlm. 4-5, https://earthjustice.org/sites/default/files/ClosingTheFloodgates-Final.pdf.