Bengkulu, KOMPAS.com – Hamidin (49), dengan tubuh setengah digerogoti stroke warga Kelurahan Teluk Sepang, Kota Bengkulu, Provinsi Bengkulu, menyemangati rekan-rekannya membangun pondok literasi belajar energi baru terbarukan ( EBT) dan buruknya energi fosil untuk warga. Sesekali ia juga turun tangan menyusun kayu dan papan agar bangunan ukuran 2 meter X 2 Meter dapat berdiri tegak dan rapi. Terlihat langkahnya tertatih dan perlahan namun semangat menolak energi batubara terpancar begitu kuat dari raut wajahnya yang terlindung dari topi merah yang ia kenakan. “Stroke sejak 2016 menggerogoti saya, namun saya memiliki panggilan hati agar rencana pembangunan PLTU batubara di Kota Bengkulu ditolak. Ini membahayakan anak keturunan kami,” kata Hamidin, pada Kompas.com belum lama ini. Hamidin, merupakan satu dari ratusan warga Kota Bengkulu yang kukuh menolak rencana pembangunan PLTU tenaga batubara 2 X 100 MW di tempatnya. Hamidin seorang buruh kasar bersama warga tak lelah sejak 2016 menolak kehadiran pembangkit listrik berbahan bakar fosil dari batubara.

“Saya memahami energi adalah kebutuhan rakyat, namun saya menolak bila bahan utamanya adalah batubara, batubara beracun akan membunuh anak keturunan kami,” tambahnya. Tepat di lokasi tempat tinggal Hamidin saat ini sedang berlangsung pembangunan PLTU batubara dengan kapasitas 2 X 100 MW. Protes agar pembangunan dibatalkan disuarakan keras Hamidin. Presiden hingga wali kota ia surati yang isinya kukuh menolak rencana pembangunan PLTU. “Saya dan ratusan warga sekitar lokasi pembangunan PLTU meminta pembangunan PLTU batu bara dibatalkan, diganti dengan energi lain,” sebutnya. Tidak saja bersurat, aksi unjukrasa juga dilakukan Hamidin bersama 300 warga bahkan dengan kondisi tubuhnya yang mengalami stroke. “Stroke menggerogoti tubuh saya, namun ini tak menghalangi saya untuk berjuang menolak pembangunan PLTU ini,” tegasnya. Segala cara telah ditempuh, hingga ia dan warga bersepakat membangun pondok literasi menyoal EBT dan buruknya dampak PLTU berbahan fosil. “Saya dan warga mendirikan pondok kecil berisikan informasi soal EBT dan buruknya PLTU batubara, harapannya warga sadar akan pentingnya energi bersih dan dapat menular pada kebijakan pemerintah, selebihnya saya serahkan pada pemimpin negara,” demikian Hamidin. Rencananya pondok literasi belajar EBT itu akan banyak menggelar diskusi, kajian dan nonton bareng bersama warga untuk menghidupkan semangat bahwa Indonesia harus mulai beralih pada EBT bukan lagi tergantung pada energi fosil. Secara sepintas semangat Hamidin seperti didengar oleh negara, awal Juli 2018 Presiden Joko Widodo meresmikan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sindereng Rappang (Sidrap) di Sulawesi Selatan. PLTB pertama di Indonesia ini mampu mengaliri 70.000 lebih pelanggan berdaya 900 Volt Ampere (VA). PLTB Sidrap diklaim merupakan komitmen pemerintah untuk pemperbanyak porsi Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia pada 2025 mencapai 23 persen dari total bauran energi nasional. Pemerintah Indonesia optimistis target 23 persen dapat dicapai pada 2025 mengingat melimpahnya potensi energi baru terbarukan lainnya yang bisa dikembangkan. Di antaranya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi yang memiliki potensi hingga 29 Gigawatt (GW). Optimisme itu agak terganjal jika dilihat realisasi capaian EBT saat ini di mana secara nasional EBT Indonesia baru mencapai angka 11,9 persen dilihat dari APBN-P 2017. Sementara target waktu hanya menyisakan 8 tahun. Hanya PLN di Pulau Sumatera yang mengklaim bahwa EBT yang digunakan mencapai 21 persen. Direktur Bisnis PT PLN Regional Sumatera, Wiluyo Kusdwiharto, menyebutkan, sudah 21 persen pembangkit listrik di Pulau Sumatera berasal dari energi baru terbarukan (EBT). Selanjutnya, pada 2025 target 23 persen EBT di Sumatera akan terpenuhi. “Pulau Sumatera sangat memenuhi syarat membangun energi baru terbarukan, yang berasal dari panas bumi, surya, dan lainnya,” kata Wiluyo di Bengkulu, Jumat (10/8/2018). Dia mengatakan, saat ini kapasitas EBT listrik di Sumatera mencapai 1.800 MW. Ke depan pemerintah akan membangun banyak pembangkit EBT di Pulau Sumatera seperti di Asahan kapasitas 185 MW, Batangtoru kapasitas 500 MW, dan lainnya. Kerusakan Hutan Ancam EBT Meski Indonesia memilik banyak potensi EBT, namun ancaman juga tak kalah banyak mengintai potensi EBT. Sebut saja Provinsi Bengkulu yang selama ini 90 persen energi listriknya berasal dari EBT yakni PLTA Musi di Kabupaten Kepahiang. PLTA Musi mampu menyuplai hingga ke Jambi dan Sumsel. Ancaman kerusakan hutan di hulu sungai kerap mengancam suplai air menjadi berkurang pada kondisi tertentu. Manager PLN Area Bengkulu, Nova Sagita, menyebutkan kapasitas terpasang listrik dari PLTA Musi mencapai 270 MW dengan beban puncak di Provinsi Bengkulu 160 MW terdapat surplus listrik. Namun ancaman rusaknya hutan di hulu sungai mengakibatkan kekhawatiran tersendiri. “Bila hutan di hulu sungai tak ditahan laju kerusakannya maka PLTA Musi akan terancam kekurangan daya,” jelas dia. Kepala Bidang Energi dan Ketenagalistrikan, Dinas Energi dan Sumberdaya Alam, Provinsi Bengkulu, Anthony Doloksaribu menyebut saat terjadi krisis air di PLTA Musi maka daya listrik bisa drop mencapai 80 MW. “Saat krisis air drop sampai 80 MW dayanya,” ucapnya. Menguatnya Penolakan Energi Fosil Indonesia memiliki janji pada dunia internasional. Salah satu komitmen Indonesia pada dunia yakni mengurangi persentasi emisi gas karbon nasional hingga 29 persen (41 persen dengan bantuan internasional) dalam beberapa sektor antara lain sektor energi yang melingkupi pembangkit dan transportasi, proses industri, product use dan waste, serta land-use change and forestry (LULUCF). Komitmen Indonesia dituangkan kedalam draft Nationally Determined Contributions (NDCs) selama periode 2020-2030. Ini tertulis dalam Kesepakatan Paris 2015, pada KTT Iklim. Namun hampir bersamaan Indonesia juga menggalakkan PLTU batubara dengan total kapasitas 35 ribu MW. Paradoks semangat EBT dan fosil muncul ke permukaan. Walhi, Greenpeace dan sejumlah organisasi sipil lingkungan tajam mengkritik kebijakan ini. Tidak saja di kalangan aktivis, penolakan juga getol terjadi di tingkat masyarakat termasuk dilakukan oleh Hamidin dan ratusan warga Kelurahan Teluk Sepang, Kota Bengkulu. “Indonesia punya semua potensi energi bersih, sudah saatnya dioptimalkan dengan kemampuan anak bangsa, mari tinggalkan energi kotor,” kata Hamidin.

Sumber : https://ekonomi.kompas.com/read/2018/08/15/153806326/jalan-berliku-kebijakan-energi-baru-terbarukan-indonesia