I. Latar Belakang

Penggunaan batu bara di dunia sebagai penghasil energi dimulai sejak revolusi di Eropa (abad 19) sedangkan di Indonesia digunakan sejak tahun 1849, zaman Hindia Belanda. Setelah beberapa dekade dieksploitasi dan digunakan sebagai penghasil energi, dampak negatifnya mulai dirasakan di sejumlah negara. Pembakaran batu bara untuk menghasilkan setrum ternyata membawa dampak buruk bagi lingkungan dan masa depan bumi. Laporan Badan Energi Internasional menyebutkan lebih 40 persen emisi global disumbang oleh pembakaran batu bara.

Sementara pemerintah saat ini menargetkan proyek penyediaan listrik sebesar 35.000 MW di Indonesia untuk tahun 2019 mendatang. Seolah menampik dampak buruk pembakaran batu bara, lebih 60 persen target proyek ini akan dipenuhi dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbahan baku batu bara.

PLTU batu bara adalah pembangkit yang membakar batu bara untuk merebus air guna menghasilkan uap yang memutar turbin sehingga terciptalah daya listrik. Di Pulau Sumatera, pembangunan PLTU batu bara akan ditambah di delapan provinsi yakni Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Jambi, Riau, Kepulauan Riau, Lampung dan Bengkulu dengan daya mencapai 7.925 MW. Lebih spesifik, Sumatera bagian Selatan (Bengkulu, Sumatera Selatan dan Jambi) diproyeksikan menjadi “sarang” PLTU batu bara dengan kapasitas 4.690 MW dari 7.925 MW. Salah satu PLTU yang sudah beroperasi adalah PLTU mulut tambang Keban Agung di Desa Kebur, Kecamatan Merapi barat, dengan kapasitas 2×135 MW.

PLTU mulut tambang ini mendapatkan suplai batu bara dari Kuasa Pertambangan (KP) PT Priamanaya Energi dan PT Dizamatra Powerindo. Dua KP seluas 2.000 hektar di Kabupaten Lahat itu memiliki cadangan sebesar 280 juta ton. Energi listrik yang dihasilkan PLTU batu bara Keban Agung dialirkan melalui jaringan transmisi 150 kV ke Gardu Induk (GI) Lahat dan kemudian masuk ke sistem kelistrikan PLN Sumatera bagian Selatan (Sumbagsel).

Disamping menghasilkan setrum, pembakaran batu bara sebagai pembangkit menimbulkan risiko yang cukup besar. Menurut jurnal Muhammad Ehsan Munawer tahun 2007, emisi yang dihasilkan dari pembakaran batubara adalah sulfur, karbon dan nitrogen yang terlepas sebagai SOx, COx, NOx, abu dan logam berat yang tinggi.

Senyawa SOx berasal dari emisi sulfur pada saat pembakaran yang teroksidasi membentuk sulfur dioksida (SO2) dan selanjutnya teroksidasi kembali membentuk SO3 mengakibatkan ganggunan paru-paru dan berbagai penyakit pernapasan. Senyawa NOx yang bersama SOx menyebabkan hujan asam yang terdiri dari H2CO3, H2SO4 dan HNO3 yang menyebabkan penyakit berbahaya termasuk kanker kulit dan berbagai penyakit kulit lainnya serta berakibat buruk juga terhadap industri peternakan dan pertanian.

II. Tujuan

Kajian pengaruh PLTU Batu Bara Keban Agung terhadap kondisi lingkungan dan kondisi sosial masyarakat.

Tujuan secara khusus

  1. Adanya data lapang dan informasi kondisi lingkungan (kualitas udara, debu batu bara dan hasil pembakaran, temperatur mikro)
  2. Data lapang dan informasi kondisi sosial ( relasi antara komunitas dan PLTU, konflik)

III. Metodologi

Kajian ini menggunakan metodologi Rapid Assesment Prosedure (RAP). Teknik   ini   pada   dasarnya   merupakan   pendekatan   antropolog   secara kualitatif dengan mengumpulan informasi yang diperlukan dan relevan. RAP memberikan hasil yang nyata karena menggunakan bahasa yang sederhana, memperhatikan lingkunagn sosial dan beroriantasikan cultural. Metodologi ini melakukan suatu penilaian cepat terhadap program atau masalah yang hasilnya dapat di pertanggung jawabkan secara ilmiah, dengan Pendekatan:

  1. Pemenuhan kebutuhan data dan informasi secara kuantitatif.
  2. Peneliti tanpa   harus   memiliki   latar belakang antropologi yang mendalam.
  3. Rancangan suatu penelitian dengan waktu singkat.

IV. Hasil yang diharapkan

1. Menggambarkan dengan jelas disertai dengan bukti-bukti lapangan tentang kondisi lingkungan yang merupakan dampak langsung dan tidak langsung, disertai dengan data dan informasi tentang Sejarah PTLU, pemilik, kapasitas, sumber batubara, daya, dan teknologi pengelolaan abu terbang dari keberadaan PLTU.

2. Menggambarkan dengan jelas kondisi sosial kemasyarakatan akibat keberadaan PLTU seperti kondisi kesehatan warga, hilangnya sumber mata pencaharian serta dampak langsung dan tidak langsung lainnya akibat beraktivitasnya PLTU.

3. Menceritakan tentang konflik dari keberadaan PLTU baik yang laten maupun yang sudah muncul kepermukaan.

V. Waktu Pelaksanaan

Pelaksanaan kajian ini dilakukan pada 15 – 28 November 2017

VI. Pembahasan

Di Desa Kebur, Telatang, dan Desa Maung hampir semua pintu rumah warga tertutup rapat, baik pada pagi, siang hingga malam hari. Rumah mereka terpaksa ditutup karena kerap kemasukan debu baik yang berasal dari PLTU maupun dari lalu lintas truk pengangkut batu bara yang dipasok ke PLTU yang hanya berjarak 1,7 kilometer dari desa.

Hasil pengamatan dan diskusi dengan beberapa warga setempat, bila hujan turun beberapa jam di desa itu, dapat dipastikan dalam dua hari ke depan, warga desa akan mengalami batuk dan radang tenggorokan. Kondisi ini mencirikan dampak PLTU dari sisi kesehatan yang sudah diteliti para ahli bahwa debu pembakaran PLTU batu bara cukup membahayakan bagi kesehatan warga terdampak. Penelitian mengungkap bahaya polutan dari debu batu bara dapat menyebabkan penyakit paru-paru, jantung, penyakit pernafasan dan kardiovaskular serta penyakit stroke.

Penghidupan warga tiga desa ini awalnya ditopang oleh sektor pertanian komoditas padi dan palawija. Namun, seiring kehadiran tambang dan PLTU yang membutuhkan pekerja buruh, warga pun beralih profesi menjadi buruh. Kini, hanya sebagian kecil saja yang menggeluti pekerjaan petani padi dan palawija, sisanya bekerja di tambang batu bara. Kehadiran pertambangan batu bara dan PLTU Batu Bara Keban Agung secara nyata mengubah struktur sosial dan ekonomi masyarakat. Pertanian yang bersifat berkesinambungan berganti menjadi perekonomian yang bertumpu pada batu bara yang sama-sama kita ketahui akan habis suatu saat.

VII. Kesaksian Warga

PLTU Keban Agung berdiri di tepi Sungai Telatang yang masih digunakan masyarakat sebagai sumber air untuk kebutuhan domestik. Keterangan seorang warga bernama Ibu Misni yang ditemui di sungai, pembangkit listrik itu baru beroperasi setahun terakhir. Suara mesin pembangkit tersebut cukup mengganggu telinga warga karena deru mesinnya. “Apalagi saat tengah malam, suaranya sangat keras dan membuat bising telinga,” kata Misni.

Selama ini, Sungai Lematang masih kaya sumber daya ikan lokal mulai dari jenis Nila, Mujair, Keli (Lele), Lampam, Betutu, Lemutih, Umbut, Kepiat, Seluang, Kaloi, dan Semah. Namun, beberapa waktu belakangan, tiga jenis ikan mulai sulit ditemui yakni jenis Kaloi, Beledeng, dan Semah.

Saat PLTU mulai dibangun, lebih dari 100 orang warga Desa Telatang bekerja sebagai buruh di proyek konstruksi PLTU. Seiring waktu, PLTU yang masuk ke tahap operasi, banyak pekerja diberhentikan dengan alasan proyek konstruksi sudah selesai dan tahap operasi membutuhkan tenaga kerja yang memiliki skill atau keahlian. Kini, hanya ada 10 orang warga Desa Telatang yang bekerja di PLTU, sisanya jadi buruh tambang. Lalu keuntungan apa yang didapat warga atas kehadiran PLTU? Menurut seorang warga, saat tahap pembebasan lahan, pihak perusahaan secara lisan menjanjikan beasiswa bagi anak-anak desa sekitar PLTU dan tunjangan hidup bagi kaum lansia. Berdasarkan janji investor kepada masyarakat, setiap anak dibiayai Rp70.000/bulan dan lansia akan diberikan tunjangan Rp100.000/bulan plus beras sebanyak 5 kilogram.

Berdasarkan perjanjian secara lisan itu, bantuan akan diberikan per tiga bulan sekali. Namun, berdasarkan keterangan tokoh adat Desa Kebur, Cik Nuri, janji itu hanya direalisasikan sekali. “Kelemahan masyarakat adalah saat janji itu disampaikan investor, tidak ada masyarakat yang membuat dokumen tertulis (hitam di atas putih) akhirnya janji itu tidak bisa masyarakat gugat ke perusahaan maupun pengadilan,” katanya

VIII. Penutup

Kajian ini adalah dasar dalam menentukan rencana aksi selanjutnya, diperlukan validasi data dan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Pelibatan warga lokal diutamakan agar hasil kajian tidak hanya menjadi milik Kanopi selaku pelaksana program, akan tetapi juga menjadi milik warga setempat.