Ada kejadian yang cukup miris dalam sidang gugatan warga atas izin lingkungan PLTU batu bara Teluk Sepang, Bengkulu pada Senin, 7 Oktober 2019. Perusahaan dalam hal ini PT Tenaga Listrik Bengkulu tidak menghormati pengadilan dan proses sidang karena tidak memperbolehkan majelis hakim dan para pihak untuk masuk ke lokasi PLTU yang akan membuktikan keberadaan ekosistem mangrove yg sudah ditimbun untuk PLTU.
Majelis hakim beserta para pihak mulai dari para penggugat, tergugat I dan tergugat II berangkat menuju objek sengketa sekira pukul 14.00 WIB. Semua berjalan lancar, sampai masuk ke wilayah Teluk Sepang jalan rusak dan debu batu bara diterbangkan angin, ditambah lagi dengan angkutan truk batu bara yang juga melewati jalan tersebut. Kabut debu semakin banyak saat mendekati lokasi PLTU.
Setelah tiba di lokasi, majelis hakim diberikan masker N95 oleh para penggugat sesuai dengan hasil sidang sebelumnya. Selanjutnya, sidang dibuka oleh ketua majelis dan menyepakati para pihak yang ikut masuk ke dalam PLTU.
Saat akan masuk ke dalam PLTU, terlihat arogansi dari pihak PLTU Teluk Sepang yang menolak kedatangan hakim, pengacara Pemprov Bengkulu, OSS dan para penggugat. Bisa dikatakan pengadilan tidak dihormati oleh perusahaan. Bagaimana perusahaan bisa menolak majelis hakim yang akan melakukan pemeriksaan setempat. Hal ini menambah dugaan bahwa ada sesuatu yang tidak beres yang terjadi di proyek ini.
Padahal titik pertama yang akan dikunjungi adalah lokasi 10 Ha hutan mangrove yang di babat habis dan saat ini sudah dibangun PLTU. Hal ini membuktikan bahwa memang benar ada hutan mangrove dan lokasi tersebut tempat pencari kepiting mencari nafkah, tempat ikan bertelur, penahan abrasi dan tsunami dan masih banyak maanfaat ekonomi maupun ekologi lainnya.
Dulu, menurut cerita dari warga Teluk Sepang, masyarakat menanam mangrove di lokasi itu dan jika masyarakat menebang pohon mangrove maka mereka akan diganjar hukuman penjara. Tapi, saat perusahaan menebang dan menimbun lokasi tersebut tidak ada tindakan sama sekali oleh pihak yang berwenang.
Walaupun majelis dilarang masuk, pemeriksaan tetap dilanjutkan. Sesuai dengan hasil sidang sebelumnya bahwa parah pihak wajib membawa alat pengukur kordinat atau GPS namun yang membawa GPS hanya para penggugat. Lalu, pengambilan titik dilakukan di depan gerbang PLTU.
Selanjutnya sidang lapangan dilanjutkan ke lokasi pembuangan limbah air bahang, di tepi Pantai Teluk Sepang dekat dengan lentera hijau. Bahwa lokasi saluran air bahang ini masuk dalam kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Pantai Panjang-Pulau Baai Bengkulu dan limbah dibuang langsung ke laut. Selanjutnya setelah memeriksa lokasi pembuangan limbah, sidang lapangan dilanjutkan ke kebun kelapa sawit yang terbelah jadi dua bagian oleh jalur SUTT.
Berdasarkan pemeriksaan setempat, jaringan ini sudah dialiri listrik, hal ini dibuktikan dengan suara kencang terdengar di tower SUTT.
Jalalludin salah seorang penggugat yang juga seorang petani yang memiliki tanam tumbuh yang terbelah oleh jalur SUTT mengatakan bahwa suara dari jaringan transmisi ini sangat kencang dan takut untuk melaluinya.
“Pada saat proses pemasangan, tidak ada pemberitahuan dari pihak PLTU batubara Teluk sepang tentang dampak dari pemasangan SUTT. Namun belakangan ada tulisan yang menyatakan bahwa wilayah itu berbahaya” ujarnya.
Terakhir ke pemukiman di Teluk Sepang dimana menunjukkan bahwa para penggugat adalah benar warga Teluk Sepang dan juga menunjukkan banguan tempat evakuasi sementaran atau biasa disebur shelter tsunami. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah teluk sepang adalah zona merah bencana tsunami.