Catatan perjalanan sang penggugat

Menerima eksepsi tergugat satu tentang legal standing, menolak gugatan para penggugat untuk seluruhnya dan menghukum para penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.169.000”

“Begitu bunyi salah satu petikan putusan PTUN Bengkulu, yang tidak pro keadilan ekologis.

Jalaluldin, kini berusia 78 tahun, rambutnya memutih, dan kulit mulai keriput, tapi tenaganya masih kuar menggarap lahan kebun dengan luasan kurang lebih dua hektar yang dinyatakan secara sepihak milik PT PELINDO II Jakarta.

Setiap hari Jalal ke kebun menggunakan sepeda “jengki” tua. Ia selalu semangat berjuang menolak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batu Bara di kampung.

Bagi Jalal dan warga lain, tugas warga adalah berjuang dan ia akan mendermakan sisa umur ini untuk keselamatan lingkungan.

Jalaludin tinggal di rumah sederhana. Tanpa plafon, tanpa kamar.  Rumah tersebut ia beli dari penduduk lokal, Di rumah sederhana itu ia tinggal bersama anak perempuan dan dua cucu yang masih sekolah di Sekolah Dasar dan sekolah menengah pertama.

Disela kesibukan merawat tanaman sawit yang terbelah jalur  saluran udara tegangan tinggi (SUTT), Jalaludin selalu membantu petani lain membersihkan kebun. Jalal membangun perlawanan kolektif. Dua kali dalam seminggu ia mendatangi kebun ibu Nur dan membantu sukarela untuk membersihkan kebun tersebut.

Kala itu, ketika ia tahu akan dibangun PLTU tenaga batu bara di kampungnya, ia bersikeras menolak.

Jalaludin secara spontan menyatakan bersedia untuk menjadi salah satu penggugat. Alasan Jalal sederhana, di sisa usianya, ingin berjuang menyelamatkan lingkungan di kampungnya,

“Saya mau terlibat dalam proses perjuangan menyelamatkan lingkungan,”kata Jalal.

Sidang di PTUN Bengkulu mulai berproses. Selama hampir 6 bulan proses didang, Jalal selalu hadir, walau kadang lagi kurang sehat. Ia dengarkan proses sidang sangat khidmat. Mulai dari pembacaan gugatan, pertanyaan hakim, para saksi, pengacara pengugat, tergugat hingga pembacaan putusan.

Ketika menghadirkan saksi dari tergugat intervensi, saksi klaim tidak ada dampak PLTU Batu Bara. Jalal hanya tersenyum dan berkata, “ketika harta dan kuasa bersatu, kebenaran seolah menjadi mimpi.”

Tanggal 17 Desember 2019, di PTUN Bengkulu, warga teluk sepang, petani tergusur, mahasiswa dan tentunya Jalal hadir di PTUN Bengkulu, mereka ingin mendengarkan putusan majelis hakim atas gugatan izin lingkungan. Hari itu, hari paling ditunggu Jalal.

Berbaju batik, sepatu butut dan segulung rokok “Nipah” yang ia tenteng, ia berjalan tegap dan semangat menjemput keadilan, sembari menunggu teman-teman lain di Posko Langit Biru. Di posko inilah warga berdiskusi dan berkumpul untuk berjuang menjaga lingkungan.

“Berangkat kita Pak Jalal,” kata Pak midin ketua Posko langit biru,

“Ayuk , aku ikut bae karno dak mungkin pakai sepeda, kata Jalal dengan logat selatan yang sangat kental.

Jalaludin dan beberapa warga lain, naik angkutan umum menuju PTUN Bengkulu.

Sepanjang jalan, dipikiran Jalal ialah kemenangan warga dan alam. Bagi Jalal, itu tidak terlalu muluk. Fakta-fakta berupa alat bukti, sidang lapangan serta keterangan saksi baik fakta maupun ahli semuanya menguatkan gugatan.

Lalu, siding dimulai. Hakim ketua, Baherman SH, membuka sidang agenda putusan No 112/G/LH/2019/PTUN.BKL. Berkas putusan dibuka dan mulai dibaca.

Hakim ketua memulai dengan membaca materi gugatan. Lalu secara bergantian dibaca hakim anggota I bernama Indah Triharyanti, SH.,M.Hum Pokok, lalu dilanjutkan lagi kepada hakim anggota II bernama Erick S. Sihombing. SH

Dalam pembacaan putusan, Jalal mendengar beberapa poin penting yang dibacakan hakim anggota II ini antara lain,

  • Bahwa Izin lingkungan berdasarkan komitmen telah dilengkapi dengan dokumen RKL-RPL dan dokumen Andal beserta Adendum-nya yang mana dalam dokumen tersebut termuat komponen geofisik-kimia, Biologi, Sosial-ekonomi-budaya, dan kesehatan masyarakat yang terbagi dalam tahap pra konstruksi, konstruksi, operasi dan pasca operasi, selain itu, PT TLB telah menyusun laporan pelaksanaan RKL-RPL semester II tahun 2018 dan semester I tahun 2019 yang diserahkan kepada pemerintah provinsi Bengkulu, kota Bengkulu, kabupaten seluma
  • Bahwa pendapat majelis hakim, fakta-fakta hukum diatas adalah salah satu bentuk penerapan asas pencegahan bahaya lingkungan (prevention of harm), maka potensi kerugian (potensial loss) berupa penurunan kualitas udara, penurunan kualitas air laut, hilangnya fungsi ekologis wilayah, kerusakan ekosistem laut sebagaimana didalilkan para penggugat adalah kerugian yang dapat dicegah, selain itu potensi kerugian yang didalilkan merujuk artikel, tulisan, hasil riset mengenai peningkatan emisi dan polutan udara karena PLTU tidak cukup untuk menjadi bukti penunjuk terhadap potensi kerugian atas pencemaran dan kerusakan lingkungan (Hal 180)
  • Legal standing akibat kerusakan ekosistem mangrove yang menghilangkan atau merugikan pencarian para penggugat, namun berdasarkan keterangan Aung dan Gimin menyatakan sampai sekarang kegiatan pencarian kepiting bakau masih dilakukan oleh saksi dan beberapa warga setempat di hutan bakau dari pelabuhan sampai dengan kawasan PLTU dan pencarian kepiting tersebut bukan pekerjaan pokok atau satu-satunya
  • Bahwa Pembangunan PLTU di zona merah rawan bencana gempa dan tsunami tidak relevan dengan legal standing. Tidak ada kepentingan para penggugat yang dirugikan dengan dibangunnya PLTU di zona merah rawan bencana
  • Menurut Majelis, RTRW adalah bagian dari keseluruhan AMDAL yang memiliki kaitan dengan potensi pencemaran dan kerusakan kingkungan hidup, oleh karenanya relevan untuk dipertimbangkan dalam pengujian tentang legal standing para penggugat
  • Meskipun letak lokasi pembangunan PLTU yang tercantum dalam dokumen Amdal tidak ada atau tidak sesuai dengan RTRW Provinsi maupun kabupaten/kota, namun berdasarkan pasal 114A PP No 13 tahun 2017 jo. Pasal 19 dn Pasal 20 terhadap kegiatan pemanfaatan ruang yang bernilai strategis nasional atau proyek strategis nasional didasarkan atau disesuaikan dengan RTRW Nasional, selain itu pembangunan PLTU dalam sengketa a quo telah mendapatkan rekomendasi RTRW lokasi PLTU berdasarkan surat kepala Bappeda No 650/0408/Bappeda tanggal 3 Mei 2019

Lalu saat yang dinantikan tiba, Baherman mengambil kembali berkas putusan dan membacakan kesimpulan putusan atas gugatan Jalal.

“Menimbang dan seterusnya, memutuskan,” kata Baherman.

MENGADILI

DALAM PENUNDAAN             : Menolak permohonan penundaan para penggugat

DALAM EKSEPSI                     : Menerima eksepsi tergugat I tentang legal standing

DALAM POKOK PERKARA     :

  1. Menolak gugatan para penggugat untuk seluruhnya
  2. Menghukum para penggugatuntuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.169.000.

Palu diketok. Jalal tertunduk, semua masa siding tertuntuk. Kecuali para tergugat yang menebar senyum.

Hakim meninggalkan ruang sidang, Jalal berdiri tegap menghormati para tangan tuhan tersebut. Berjalan gontai dan bingung atas putusan sidang yang baru saja dibacakan majelis hakim.

Jalal keluar pengadilan. Kepalanya tentunduk. Ia menemui massa aksi di depan PTUN Bengkulu. Mereke berorasi, berharap keadilan ekologis berpihak pada Jalal dan warga Bengkulu. Tapi itu semua sirna. Jalal menyesalkan putusan hakim yang berpihak kepada pemerintah dan korporasi.

Lalu  Jalal merapat ke massa aksi. Mendengarkan orasi mahasiswa dan warga lainnya. Selesai itu, Jalal memasuki pelataran Gedung PTUN Bengkulu dan meletakan papan nisan bertulisakan ”keadilan ekologis, wafat 17 Desember 2019”

Sayup terdengar lagu Indonesia pusaka dinyanyikan solidaritas para seniman, air mata jatuh tanpa sadar, Jalaludin pulang dengan kerutan diwajah yang bertambah.

“Kalah kita,” kata Jalaludin lirih.

**********