Resume diskusi: konsolidasi Parapihak dalam menyikapi pembangunan PLTU Di Teluk Sepang Kota Bengkulu
Tanggal 20 Juli 2016
Belum lama ini, Yayasan Kanopi Bengkulu menggelar diskusi parapihak mengulas proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara di Teluk Sepang, pesisir Kota Bengkulu.
Kehadiran proyek penghasil listrik sebesar 2 x 100 megawatt itu telah menimbulkan gejolak (pro-kontra) di tengah masyarakat.
Di tingkat tapak, kehadiran PLTU mendapat penolakan keras dari masyarakat Kelurahan Teluk Sepang di mana proyek itu akan berdiri. Jaraknya hanya 1,5 kilometer dari permukiman warga.
Penolakan proyek listrik bersumber dari energi kotor batu bara itu ditegaskan warga saat aksi bersama pada Oktober 2016, bertepatan dengan peletakan batu pertama PLTU. Peletakan batu pertama itu dipimpin gubernur non-aktif Bengkulu, Ridwan Mukti yang saat ini mendekam di penjara akibat tersangkut dugaan korupsi.
Lalu bagaimana pandangan para akademisi dari berbagai latar ilmu dan kelompok masyarakat sipil tentang rencana proyek yang dikhawatirkan dapat menurunkan kualitas lingkungan serta berdampak pada penurunan kualitas hidup masyarakat itu?
Berikut kutipan diskusi dan pandangan mereka :
Ali Akbar (Ketua Kanopi Bengkulu)
Rencana usaha pemenuhan tenaga listrik (RUPTL) menjadi biang kerok dari pengembangan energi kotor batu bara. Ambisi pemerintah mewujudkan daya listrik sebesar 35 ribu MW menjadi pemicu proyek PLTU batu bara bermunculan di beberapa wilayah, terutama Pulau Sumatera dan Kalimantan.
Padahal, teknologi pemenuhan energi dari sumber daya batu bara yang merupakan penghasil emisi terbesar yang berdampak kepada semakin buruknya kualitas planet.
Begitupun dengan Bengkulu, Pembangunan PLTU Teluk Sepang di pelabuhan pulai bai yang merupakan kerjasama antara PT PELINDO II Jakarta dengan PT Tenaga listrik Bengkulu (PT. TLB), selain sarat dengan pelanggaran seperti pelanggaran UU Tata Ruang, juga akan berdampak kepada turunnya kualitas hidup rakyat kota Bengkulu, terjadinya degradasi ruang hidup Nelayan dan petani yang berada disekitar PLTU.
Ari Fiyanto/GreenPeace
Batu bara masih dianggap sebagai obat mujarab memenuhi kebutuhan energi. Pemenuhan energi dari sektor batu bara masih ditempatkan sebagai prioritas utama. Hanya beberapa bulan setelah dilantik, Jokowi-JK meluncurkan proyek 35 ribu MW yang direalisasikan pada 2019.
Ketika program ini diluncurkan, digunakanlah asumsi bahwa proyek tersebut dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen. Pemerintah pun menyusun narasi bahwa pemenuhan energi itu untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Padahal, proyek 35 ribu MW tersebut, hampir 60 persen dibangun di Pulau Jawa sehingga masyarakat yang belum terlistriki justru bukanlah prioritas, hanya sebatas narasi. Pertanyaannya, kenapa masih batu bara padahal energi paling kotor ini sudah ditinggalkan dunia. Batu bara juga adalah biang keladi pemanasan global yang menyebabkan terjadi perubahan iklim dan polusi udara di sekitar lokasi pembangunan PLTU.
Dua negara yang sangat tergantung batu bara yakni India dan China memiliki tingkat polusi sangat buruk, angka kematian dini tinggi akibat polusi pembakaran batu bara.
Namun, dampak buruk itu seperti tidak dianggap.
Justru dalam rencana usaha pemenuhan tenaga listrik, Sumatera bagian Selatan (Bengkulu, Palembang, Jambi) serta Riau adalah target wilayah pengembangan proyek batu bara dengan kapasitas yang cukup besar.
PLTU Teluk Sepang berkapasitas 2 x 100 MW adalah salah satu yang akan dibangun di Kota Bengkulu. Berikutnya, PLTU mulut tambang di Sumatera Selatan Sumsel, Riau dan Jambi. Ini perlu dilihat secara holistik sebagai masalah Pulau Sumatera sebab pembangunan di Jambi dan Sumsel akan berdampak juga ke wilayah Bengkulu.
Tidak masuk akal pemerintah terus bangun PLTU batu bara sementara banyak sumber lain yang lebih ramah lingkungan. Sementara kawasan Eropa Barat bahkan China dan India sudah tinggalkan batu bara. Sedangkan Asia Tenggara justru merencanakan ekspansi. Ada tiga negara yang sangat ngotot mengembangkan PLTU yakni Indonesia, Vietnam dan Myanmar.
Apakah ini faktor kebebalan pemerintah yang menjadikan Indonesia sebagai tempat pembuangan teknologi kotor atau rongsokan, atau pemerintah tidak cukup kreatif untuk melihat sumber-sumber energi terbarukan yang melimpah.
Ada tiga negara di Asia Timur yang getol mendanai PLTU yaitu Jepang, China dan Korea Selatan. Di banyak tempat mereka berlomba-lomba mendanai PLTU Asia Tenggara dan Asia Selatan.
Kini, Indonesia pun menjadi surga terakhir industri batu bara dunia. Di negara ini, energi terbarukan masih dianaktirikan. Kelompok yang paling terdampak adalah nelayan, masyarakat dari sisi kesehatan terutama anak-anak dan perempuan. Dampak ke pertanian juga ada, di mana hampir semua wilayah, testimoni masyarakat hampir sama.
Nela Tri Agustini (Jurusan Ilmu Kelautan Unib)
Ada tiga komponen pesisir yang sangat penting dijaga kelestariannya yakni terumbu karang, padang lamun dan mangrove.
Ketiga ekosistem ini memiliki peranan besar terhadap pesisir baik dari fungsi ekologisnya, penahan gelombang dan menjebak sedimen. Ketiganya saling terkait artinya bila salah satu mengalami perubahan, maka komponen lain akan terganggu. Bila mangrove terganggu, maka lamun dan terumbu karang juga terpengaruh.
Tidak hanya itu, stok perikanan juga akan terganggu, terjadi degradasi sebab tempat hidupnya rusak serta gangguan terhadap rantai makanan.
Secara umum PLTU batu bara juga produsen emisi karbon yang memicu pemanasan global dan perubahan iklim.
Karbondioksida yang dihasilkan akan memicu pengasaman di laut yang berdampak pada terumbu karang. Pemanasan global akan meningkatkan suhu air laut dan merusak terumbu karang, terutama mengakibatkan pemutihan karang atau “Coral Bleaching”. Belum lagi kondisi perairan tercemar oleh limbah batu bara. Mangrove yang ditebang untuk pembangunan PLTU di Teluk Sepang akan berdampak pada kedua ekosistem lainnya yakni terumbu karang dan padang lamun. Padahal, mangrove adalah penyerap karbon di wilayah pesisir.
Prof. Dr. Iskandar, SH, M.Hum (Fakultas Hukum Unib)
Kebijakan yang tidak populer bisa menimbulkan persoalan. Kebijakan energi nasional menambah daya 35 ribu MW di mana Bengkulu kecipratan 200 MW guna mengatasi persoalan energi.
Solusi ditawarkan pun banyak, bergantung potensi yang ada salah satunya batu bara. Banyak juga potensi lain seperti air, gas alam, surya dan panas bumi serta lainnya. Pilihan kebijakan kenapa PLTU? Padahal patut diduga penggunaan energi ini berisiko tinggi.
Ada beberapa dasar hukum yang perlu dikaji, pertama hukum lingkungan yaitu Undang-Undang nomor 32 tahun 2009, hukum tata ruang UU nomor 26 tahun 2007, dan peraturan pelaksananya. Ada pula hukum pengelolaan sumber daya alam hayati UU nomor 5 tahun 1990.
Dari sisi hukum pertanahan ini aneh sebab ujuk-ujuk PT Pelindo II menawarkan diri menyediakanlahan seluas tertentu. Padahal lahan Pelindo itu hak pengelolaannya diberikan oleh negara. Lalu hak dari PT Pelindo diberikan ke pihak lain. Ini seperti ada negara dalam negara.
Sementara di sisi lain, status lahan belum jelas seluruhnya, di mana wilayah konservasi, wilayah kelola masyarakat dan lainny. Intinya lahan itu belum “clean and clear” tapi ujuk-ujuk sudah dikerjasamakan dengan pihak lain, bahkan asing.
Perlu dipertanyakan bagaimana skema kerja sama antara PT PLN degan perusahaan asing itu, denga Pemda Provinsi dan Pemda Kota Bengkulu.
Di sisi lain, tata ruang tidak ada yang mengatur secara spesifik terkait PLTU di wilayah Pulau Baai. Di wilayah Kota Bengkulu, tidak ada satu zona pun yang dimungkinkan membangun PLTU batu bara. Jadi kalau dipaksakan akan melanggar hukum, perda, PP dan UU tentang Tata Ruang.
Sanksinya cukup jelas bahwa yang membuat keputusan bisa dikenai sanksi administrasi dan pidana. Kalau mau tetap dijalankan, pemerintah harus mengubah peraturan tentang tata ruang kota dan provinsi, zonasi dan kajian lingkungan hidup strategis untuk menganalisa layak lingkungan atau tidak.
Dalam beberapa kasus, pemerintah daerah kerap melakukan pembangunan yang dasar hukumnya belum ada
Kebijakan pembangunan proyek ini bisa diprotes sebab masyarakat juga punya hak menegakkan hukum. Bila protes sudah disampaikan tapi tidak mempan, maka ada upaya penegakan hukum yang lebih keras yakni jalur pengadilan dengan gugatan. Bisa menggugat keputusan pemerintah ke pengadilan administrasi atau pidana dengan memasukkan laporan ke penegak hukum sebab diduga terjadi perbuatan melanggar hukum. Sebenarnya polisi juga tidak perlu menunggu laporan, tinggal cek proses perizinannya.
Hamidin (Warga Teluk Sepang)
Saat ini sedang dilakukan pemasangan pasak bumi. Mangrove di pinggir laut sudah dibabat untuk rencana pembuatan kolam pembuangan limbah. Padahal mangrove itu hasil penghijauan masyarakat karena Teluk Sepang masuk zona merah rawan gempa bumi dan tsunami. Untuk siaga bencana, saat ini ada pembangunan shelter, tempat evakuasi sementara dari bencana gempa dan tsunami.
Masyarakat memprediksi PLTU akan jadi bencana besar. Pasir galian PT Pelindo, saat ini dimanfaatkan untuk menimbun rawa-rawa.
Walau PLTU belum berdiri, masyarakat sudah merasakan dampaknya. Hasil siraman cangkang panas saja sudah membuat ikan mabuk, apalagi limbah PLTU batu bara dari pembakaran 2.900 ton per hari.
Warga pun pernah diajak studi banding tapi justru dibawa ke PLTU berbahan gas. Masyarakat pun studi banding ke Labuan, Banten di mana nelayan menjadi pihak yang paling terdampak.
Supintri Yohar (Yayasan Genesis)
Pembiayaan PLTU batu bara Teluk Sepang berasal dari dana Tiongkok sebesar 70 persen. Perlu diwaspadai potensi korupsi mulai dari proses penetapan lelang, pengadaan barang dan lokasi sampai penjualan hasil.
Dari sisi hukum sudah dipaparkan beberapa potensi pelanggaran hukum. Ini pun bisa menjadi celah korupsi.
Contohnya adalah PLTU Tarakan di mana PLN menyeleksi pemenang pada 2001 dan 2002 . Amir Muis lobi ke DPR dan janjikan pemenang, lalu pemenang ditetapkan pada 2004. Pemberi janji mendapatkan fee melalui perusahaan anaknya.
PLTU punya spesifikasi kebutuhan batu bara, seperti Suralaya mengambil batu bara dari Kalimantan Selatan. Mereka mengambil batu bara dari lokasi yang lebih jauh. Ada dua kemungkinan yaitu PLTU memiliki investasi di pertambangan, atau dengan membeli batu bara yang lebih mahal mereka dapat subsidi dari PLN. Ada hal-hal yang bisa diakali untuk meraup keuntungan.
Dr. Dra. Titiek Kartika Hendrastiti (Fisipol Unib)
Sebenarnya perempuan juga ikut bereaksi melawan, bertempur mempertahankan ruang hidup. Perempuan bisa membuat rumusan dengan bahasa dan kepentingan mereka sendiri sebab ada ketubuhan dari simbol-simbol yang diberikan perempuan.
Misalnya air tercemar mengandung zat-zat berbahaya, bagi perempuan air ini langsung masuk ke dalam tubuh. Memang tidak langsung jadi penyakit sepreti di Sumba ada hasil analisis air setelah eksplorasi tambang emas.
Perlu analisis dari sudut pandang perempuan sebab mereka memahami relasi bahwa lingkungan adalah ketubuhan. Hubungan eksplorasi dan eksploitasi dengan lingkungan adalah ekspansi ke tubuh. Bila lingkungan rusak, yang pertama terdampak adalah tubuh, terutama bagi perempuan dan anak.
Karena itu, fase-fase brutal perusakan lingkungan adalah merusak hidup perempuan, bukan saat ini tapi yang akan datang. Ini bentuk ekspansi maskulinitas terhadap perempuan.
Perluas juga dengan solidaritas, karena semua orang akan menikmati pengorbanan orang-orang di Teluk Sepang. Gerakan ini menjadi solidaritas bersama. Hentikan penggunaan energi kotor yang membahayakan kehidupan dan cari teknologi yang lebih baik.
Susi Handayani (Yayasan Pupa)
Pernah dilakukan analisa kerentanan perempuan dan anak. Banyak anak dengan kecatatan di Teluk Sepang. Belum diketahui apakah pengaruh dari lingkungan atau yang lain. Pada 2011 dan 2012 sudah melakukan studi di Teluk Sepang. Di sana juga ada dua kelompok perempuan yang progresif yang perlu dilibatkan dalam gerakan ini. Mereka bisa turut menyuarakan bahwa PLTU sangat mengganggu perempuan dan anak sehingga perlu peningkatan pengetahuan mereka.
Firmansyah (Jurnalis Kompas.com)
Kecakapan jurnalis untuk meliput isu lingkungan masih minim. Selain itu, aksi dari masyarakat juga penting untuk membuat gaung pemberitaan lebih massif, seperti kasus Kendeng.
Yansen, S.Hut, M.App.Sc, Ph.D (Jurusan Kehutanan Unib)
Batu bara adalah energi paling kotor tapi 40 persen energi dunia masih digerakkan batu bara. Bila pembangunan PLTU batu bara Teluk Sepang terealisasi emisinya setara dengan emisi 250 ribu mobil. Perlu tindakan untuk membuat bumi berumur panjang.
Deff Tri Hamdi (Ketua Pengurus AMAN Bengkulu)
Sumber daya batu bara ada di punggung bukit hutan Sumatera. Dikhawatirkan ada konflik dalam tata kelola lahan yang menyasar wilayah hutan di punggung bukit yang menjadi wilayah kelola masyarakat adat.
Apalagi ada kecenderungan pemberian izin usaha pertambangan semakin cepat dibanding legalisasi lahan dalam bentuk reforma agraria. Jari persoalan ini tidak bisa hanya dilihat sebagai masalah Teluk Sepang ansih sebab wilayah yang dieksploitasi adalah wilayah lain yang masuk ruang kelola rakyat.