Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dinilai telah melindungi ketidakpatuhan PT Tenaga Listrik Bengkulu yang merupakan pengelola Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara dalam pengelolaan lingkungan.
“Buktinya sudah empat kali diadukan warga dan sudah mendapat sanksi administrasi tapi tidak ada perubahan dalam pengelolaan lingkungan, tetap tidak patuh,” kata Fahmi Arisandi, Akademisi Universitas Muhammadiyah Bengkulu saat seminar bertema “Peran dan partisipasi para pihak dalam pemantauan dan pengaduan ketidakpatuhan korporasi”, Selasa.
Fahmi menegaskan bahwa lingkungan yang baik dan sehat adalah hak asasi setiap manusia yang harus dipenuhi dan dijamin negara, tanpa harus membuat pengaduan apalagi menggugat ke pengadilan.
Dalam seminar itu, Ali Akbar Ketua Kanopi Hijau Indonesia memaparkan temuan hasil pemantauan dan pengaduan terhadap PLTU Bengkulu yang sudah mendapat sanksi sebanyak empat kali dari KLHK. Sanksi pertama atas ketidakpatuhan PT Tenaga Listrik Bengkulu (TLB) terhadap amanat dokumen pengelolaan lingkungan dalam ANDAL, RKL-RPL adalah pembuangan limbah air bahang tanpa izin ke laut dalam kawasan Pantai Teluk Sepang dan menerima sanksi administrasi pada akhir April 2020.
Kedua, pengaduan tentang air bahang yang berbau menyengat ke laut lepas pada November 2020 dan telah dijatuhi sanksi administrasi pada Maret 2021. Pengaduan ketiga tentang kolam air bahang yang jebol pada Agustus 2022 dimana KLHK mengirimkan surat balasan yang menerangkan bahwa PT TLB telah diberikan sanksi administrasi dan paksaan pemerintah pada November 2022.
Pengaduan keempat tentang pembuangan limbah Fly Ash dan Bottom Ash (FABA/abu sisa pembakaran batubara) di Taman Wisata Alam (TWA) Pantai Panjang-Pulau Baai, yang diadukan pada 24 Maret 2023. KLHK mengirimkan surat balasan yang menerangkan bahwa PT TLB telah diberikan surat peringatan pada Juni 2023.
“Anehnya, salinan dokumen sanksi administrasi yang dijatuhkan KLHK kepada PT TLB sebagai pengelola PLTU Teluk Sepang tidak diberikan kepada warga yang melapor,” kata Ali.
Selain itu, ketidakpatuhan tersebut juga masih berlangsung hingga saat ini sehingga memunculkan pertanyaan apakah proyek PLTU mendapat kekebalan dalam penegakan hukum?
Akibat ketidakpatuhan itu, saat ini warga Teluk Sepang telah merasakan dampak kesehatan dan ekonomi di mana dari riset yang dilakukan sejumlah akademisi menemukan 85 warga Bengkulu harus mengeluarkan biaya berobat sekitar Rp36 juta akibat kondisi lingkungan yang buruk.
Para nelayan juga mengalami penurunan hasil tangkapan karena wilayah jelajah melaut semakin jauh yang mengharuskan mereka mengeluarkan modal lebih besar untuk membeli bahan bakar minyak.
Lovi, tokoh masyarakat Kelurahan Teluk Sepang Kota Bengkulu, lokasi berdirinya PLTU batubara yang mempertanyakan ketegasan pemerintah menertibkan pelanggaran pengelolaan lingkungan PLTU Teluk Sepang.
“Sekarang, abu FABA itu diberikan dan disebarkan untuk bahan timbunan kepada masyarakat yang membutuhkan, padahal itu abu beracun,” kata Lovi.
Ia mempertanyakan masa depan anak-anak dan remaja di kelurahannya yang setiap hari menghirup polusi yang dihasilkan PLTU Teluk Sepang.
Advokat dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Adrizal juga menyampaikan kondisi yang hampir serupa di mana PLTU Ombilin di Sawah Punto telah mendapat sanksi administrasi sebanyak tiga kali tapi tidak ada tindakan lanjutan dari KLHK.
“Akibat ketidakpatuhan pengelolaan lingkungan, sebanyak 66 persen murid kelas 6 SDN 19 Sijantang yang berlokasi di sekitar PLTU Ombilin menderita gangguan paru seperti bronkitis kronis dan TB paru. Data ini didapatkan langsung dari pemeriksaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tahun 2017,” kata Adrizal.
Ia mengatakan, pengelola PLTU Ombilin dalam hal ini PT PLN telah dijatuhi sanksi administrasi oleh KLHK bahkan diberikan proper hitam, tetapi sampai sekarang sanksi tidak diterapkan dengan dalih sanksi diperpanjang hingga tahun 2025.
Kondisi ini membuat LBH Padang mengambil langkah menggugat KLHK ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta karena tidak mengambil tindakan yang tegas dan terukur sesuai peraturan perundang-undangan terhadap pelanggaran pengelolaan lingkungan PLTU Ombilin.
Sementara narasumber dari Direktorat Pengaduan, Pengawasan dan Sanksi Administrasi (PPSA) KLHK, Eka Prasetyo menjelaskan, bahwa dokumen sanksi administrasi yang dijatuhkan kepada korporasi merupakan informasi yang dikecualikan. Eka pun hanya menjelaskan tahapan proses pengaduan dari warga atas ketidakpatuhan perusahaan menjalankan peraturan pengelolaan lingkungan.
Sementara Dody Novran, Fungsional Pengendali Dampak Lingkungan DLHK Provinsi Bengkulu, menyatakan pihaknya tidak menerima salinan dokumen sanksi administrasi yang dijatuhkan KLHK kepada PLTU Teluk Sepang.
“Kami hanya posko pengaduan di daerah, sementara penindakan adalah kewenangan KLHK,” kata Dody.