Bengkulu – Tanggal 6 April diperingati setiap tahun sebagai Hari Nelayan Nasional untuk mengapresiasi jasa para nelayan Indonesia dalam memenuhi kebutuhan protein dan gizi seluruh masyarakat Indonesia. Di samping itu, para nelayan merupakan salah satu aset nasional dalam menunjang perekonomian nasional yang perlu mendapatkan perhatian lebih.
Setelah 57 tahun Hari Nelayan digagas, kehidupan para nelayan di Indonesia, termasuk di Bengkulu masih memprihatinkan. Taraf hidup mereka masih jauh dari kata sejahtera. Dengan fasilitas penangkap ikan seadanya, para nelayan juga semakin terpuruk dengan degradasi sumber daya laut. Degradasi tersebut salah saturnya disebabkan operasi alat penangkapan ikan terlarang pukat harimau atau trawl.
Padahal, berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 71/PERMEN-KP/2016 tentang jalur penangkapan ikan dan penempatan alat penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia pasal 21 ayat (2) bahwa alat tangkap ikan yang mengganggu dan merusak salah satunya yaitu pukat hela (trawls). Berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 2/PERMEN-KP/2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) yang berlaku sejak Januari 2015.
Sedangkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan Pasal 84 (1) yang menyatakan setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah). Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan pada Pasal 9 Ayat (1) dan (2), Pasal 14 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4) dan Ayat (5) dan Pasal 85, sesuai dengan undang-undang tersebut maka tersangka yang menggunakan alat tangkap ikan yang tidak sesuai dengan ukuran yang ditetapkan diancam hukuman paling lama lima (5) tahun penjara dan denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,-rupiah (2 milliar
rupiah).
Meski sudah dilarang pengoperasiannya melalui sejumlah regulasi, faktanya trawl masih beroeprasi dengan leluasa di perairan Bengkulu. Para nelayan tradisional Bengkulu sudah berpuluh tahun “berperang” dengan trawl. Kesabaran tersebut juga tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang memberikan kelonggaran pada penggunaan alat tangkap tersebut. Namun, terhitung 1 Januari 2018, pengoperasian alat tangkap trawl dinyatakan melanggar hukum. Namun anehnya, operasi alat ini masih ditemui di perairan Bengkulu mulai dari pesisir Mukomuko, Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah, Kota Bengkulu dan Seluma hingga Bengkulu Selatan.
Untuk menyatakan penolakan terhadap trawl, para nelayan tradisional yang bergabung dalam Aliansi Nelayan Tradisional Bengkulu (ANTB) sudah berulangkali menyampaikan aspirasi. Hari Nelayan National tahun ini kembali menjadi momentum bagi nelayan untuk mendesak aparat penegak hukum untuk memmbersihkan trawl dari laut Bengkulu. Di Bengkulu saat ini masih beroperasi setidaknya 300 unit kapal pengguna trawl. Karena itu, parade menggunakan puluhan kapal tradisional menjadi momentum untuk mendesak penegak hukum segera bertindak sebelum para nelayan tradisional mengambil tindakan sendiri-sendiri.
Koordinator aksi, Kelvin Aldo mengatakan laut Bengkulu adalah warisan terbesar negeri, karena itu sudah menjadi kewajiban negara untuk memastikan warisan tersebut lestari. Sementara nelayan tradisonal Bengkulu, Rahman Syah mengatakan perjuangan nelayan tidak akan kendor untuk memastikan sumber daya laut Bengkulu bebas dari eksploitasi sapal trawl.
“Kami tidak akan menyerah untuk membela laut dari trawl karena laut adalah masa depan kami,” katanya.