Suara rakyat dalam menegakkan keadilan lingkungan semakin terabaikan dalam sistem hukum di Indonesia. Salah satu contoh adalah pendirian proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara Teluk Sepang yang sejak awal sudah ditolak oleh masyarakat terkait dampak buruk yang ditimbulkan hingga gugatan ke PTUN Bengkulu meminta agar izin lingkungan PLTU batu bara Teluk Sepang dicabut.

Dari sisi Amdal, Kanopi Hijau Indonesia menemukan terdapat cacat substansi dalam perencanaan proyek ini. Dimulai dari pelanggaran Peraturan Daerah (Perda) tentang RTRW Provinsi Bengkulu. Dalam Perda disebutkan bahwa PLTU batu bara baru akan didirikan di Napal Putih Kabupaten Bengkulu Utara, bukan di Teluk Sepang, Kota Bengkulu. Selain perda RTRW, substansi lain yang cacat adalah tidak adanya pelibatan masyarakat dalam penyusunan Amdal. Lalu Amdal juga disusun dengan mengklaim persetujuan warga bahwa 92 persen masyarakat setuju dengan proyek ini dan 8 persen ragu-ragu. Fakta di tengah masyarakat Teluk Sepang, sejak awal proyek sudah menyatakan penolakan.

Ini mendasari masyarakat mengajukan gugatan izin lingkungan PLTU yang dimiliki PT Tenaga Listrik Bengkulu itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Bukannya dicabut, rakyat malah dikalahkan dengan alasan tidak punya kepentingan dalam menggugat dan belum ada kerugian yang nyata. Masyarakat menurut hakim tidak memiliki legal standing karena belum ada kerugian padahal para penggugat adalah masyarakat penerima dampak dari proyek tersebut, ditambah lagi salah satu penggugat berumur 76 tahun dan masuk dalam kategori rentan.

“Majelis hakim baik diPTUN Bengkulu maupun Pengadilan Tinggi Tata Usaha Medan meletakkan nasib masyarakat Bengkulu atas dampak buruk dari PLTU batu bara Teluk Sepang pada Amdal yang secara hukum cacat substansi,” kata Saman Lating, S.H, koordinator Tim Advokasi Langit Biru saat diskusi bertema “Suara Rakyat dalam Menegakkan Keadilan Lingkungan” yang digelar secara virtual oleh Yayasan Kanopi Hijau Indonesia, Jumat.

Selain gugatan izin lingkungan, kasus terbaru adalah laporan indikasi pelanggaran hukum lainnya yaitu dugaan pencemaran lingkungan akibat tumpahan oli di sekitar PLTU batu bara Teluk Sepang yang sudah dilaporkan ke POlda Bengkulu namun sampai saat ini tidak ada kejelasan atas laporan tersebut. Bahkan kasus ini telah dilaporkan secara resmi oleh Kanopi Hijau Indonesia ke Polda Bengkulu pada 14 April 2020, namun sampai saat ini belum ada perkembangan.

“Dilihat dari surat balasan Dinas LIngkungan Hidup dan Kehutanan yang disampaikan ke Kanopi Bengkulu menyebutkan oli yang tumpah menggenangi kebun warga itu adalah milik perusahaan yang mengerjakan PLTU,” kata Lating.
Dalam hal ini pengelolaan dan penyimpanan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) oleh pihak PT TLB diduga tidak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah B3 sebagaimana yang di ataur dalam pasal 13 hingga pasal 17 peraturan pemerintah tersebut.

Selain itu apabila dilihat dari sisi hukum pidana maka pihak PT.TLB telah lalai (culpa) dalam penyimpanan dan penjagaan terhadap tangki oli milik PT.TLB sehinga dari kelalaian tersebut menyebabkan terjadinya tumpahan oli pada kebun petani konsekuensinya adalah pidana dan sanksi administrasi.

“Ini menunjukan bahwa penegakan hukum lingkungan masih lemah yang menjadikan ketidakpercayaan publik terhadap penegak hukum. Apabila tingkat kepercayaan ini sudah klimaks justru masyarakat sendiri yang akan menegakkan hukum,” kata Lating.

Iqbal Damanik peneliti Auriga Nusantara mengatakan mendirikan PLTU justru menyengsarakan banyak pihak. Dalam UU Minerba yang baru disahkan, di pasal 162 tetap dipertahankan bahwa ada kemungkinan orang yang dianggap merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan mudah untuk dikriminalisasi. Artinya, masyarakat tidak punya hak veto atau hak mengatakan bahwa mereka tidak mau wilayahnya ditambang batu bara atau rumah mereka ditambang batu bara.
Misal di daerah lingkar tambang dan PLTU berdasarkan pemaparan dari Hanan Nugroho Kedeputian Maritim, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup Bappenas dalam diskusi kebijakan strategis tata kelola pertambangan dalam RPJMN pemerintahan kedua Jokowi 2020-2024 pada 18 Juli 2019 menyebutkan bahwa Sumatera Bagian Selatan termasuk wilayah tertinggal, padahal wilayah tersebut kaya akan sumber daya alam.

“Jadi tidak ada korelasi positif antara industri batu bara dengan kesejahteraan. Juga mengutip paparan dari Poppy Ismailina dari UGM bahwa di wilayah PLTU banyak pengangguran,” kata Iqbal.
Tidak hanya itu, jika PLTU batu bara terus ditambah maka PLN akan terus merugi karena harus membayar listrik dari swasta walaupun daya tersebut tidak terpakai.

“Harga listrik disubsidi negara, mau PLN rugi atau tidak. Pada kuartal I tahun 2020 ini saja PLN rugi Rp38 triliun karena membeli listrik ke pihak swasta. Ketika PLN rugi maka akan disubsidi dari APBN atau APBD sehingga dua kali subsidi padahal jika PLN tidak rugi uang subsidi bisa untuk kesehatan, pendidikan dan lainnya. Justru kita mensubsidi para elit oligarki,” katanya.

Hal ini menunjukkan mulai dari regulasi sampai pada penerapan dilapangan semua tidak berpihak kepada rakyat melainkan kepada para oligarki yang menguasai sumber daya alam.

Ketua Yayasan Kanopi Hijau Indonesia, Ali Akbar yang menjadi pemandu dalam diskusi mengatakan bila palu hakim pun tidak berpihak kepada masyarakat, tidak berpihak pada keselamatan lingkungan, maka kehancuran yang akan terjadi padahal mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat adalah bagian dari hak asasi manusia dan dilindungi oleh konstitusi.

Diskusi virtual ini disiarkan langsung melalui Facebook dan Youtube Kanopi Bengkulu. Kabid Humas Polda Bengkulu, Kombes Pol Sudarno juga diundang sebagai narasumber namun tidak bisa bergabung karena alas an teknis.
Video siaran langsung dapat ditonton kembali di link berikut https://www.youtube.com/watch?v=ZycLb672l4w dan https://www.facebook.com/watch/live/?v=287425629164673&ref=notif&notif_id=1594348349869715&notif_t=live_video