Cerita kesengsaraan di tapak tapak Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara di Pulau Sumatera adalah femonena keseharian. Kampung tergusur, kehilangan mata pencaharian, penyakit, kehilangan tempat tinggal hingga konflik sosial menghiasi media informasi. Cerita ini disempurnakan dengan tingginya intensitas konflik baik laten maupun manifest.
Hal ini terungkap dalam webinar bertema “Mengapa 3,7 Gigawatt PLTU batu bara di Sumatera harus dimatikan” yang digelar Jejaring Sumatera Terang Untuk Energi Bersih, gabungan 18 lembaga non-pemerintah di Pulau Sumatera yang menekan pemerintah segera menghentikan energi fosil batu bara dan mempercepat transisi ke energi terbarukan pada Rabu, 23 November 2022.
Zaidun Abdi dari perwakilan Perkumpulan Pembela Lingkungan Hidup (P2LH) Aceh, menyatakan bahwa keberadaan PLTU batu bara Nagan Raya tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Yang diterima warga adalah kehancuran pondasi ekonomi rakyat. Nelayan Pangkalan Susu di Sumatera Utara pun mengalami kemerosotan pendapatan hingga 70 persen sejak PLTU Pangkalan Susu beroperasi. Begitu pula nelayan di Sungai Siak Riau dan Bengkulu juga kehilangan ikannya akibat eksploitasi batu bara.
Dewi Purnama Dosen Jurusan Kelautan Universitas Bengkulu menegaskan bahwa berdasarkan hasil penelitian, populasi penyu betina di perairan menurun 20% akibat perubahan iklim. Informasi ini cukup sebenarnya untuk memberikan kita informasi bahwa telah terjadi penuruan populasi biota laut akibat krisis iklim.
Cerita kerusakan ekonomi tidak hanya pada sektor laut, petani pun mengalami penurunan hasil pertanian. Sumiati Surbakti, Direktur Srikandi Lestari Sumatera Utara menyatakan bahwa petani di sekitar PLTU Pangkalan Susu mengalami penurunan hasil pertanian lebih dari 50%, dari sebelumnya mendapatkan rata-rata 300 kg/rantai*, sekarang untuk mendapatkan setengahnya sangatlah sulit. Cerita serupa juga terjadi di Lahat Sumatera Selatan, petani yang biasanya mendapat lebih dari 100 karung padi per bidang**, sekarang ini hanya mendapatkan tidak lebih dari 30 karung.
Data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tahun 2021 menyebutkan sekitar 828 juta orang menghadapi kelaparan yang kondisinya diperparah krisis iklim. Data Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebutkan 115 pulau sedang dan kecil di Indonesia terancam hilang atau tenggelam akibat naiknya permukaan air laut. Sementara data yang diolah Kanopi Hijau Indonesia dari berbagai sumber menyebutkan 27.175 hektare daratan Pulau Sumatera hilang dalam kurun tiga tahun terakhir.
Pembakaran fosil batu bara juga telah meracuni udara yang dihirup manusia dimana studi yang dipublikasikan Lancet, jurnal kedokteran internasional menyebutkan polusi udara mengakibatkan 6,7 juta kematian pada 2019. Sedangkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan sedikitnya 7 juta orang mengalami kematian dini per tahun, termasuk sekitar 600.000 anak di bawah usia 15 tahun akibat dari polusi udara. Jumlah ini tanpa memperhitungkan jutaan yang menderita penyakit kronis terkait polusi udara.
Derita kesehatan dampak dari krisis iklim dipaparkan secara lugas oleh Prof Budi Haryanto, guru besar Universitas Indonesia yang menjadi penanggapy dalam webinar ini. Prof Budi mengatakan pada 2018 dalam penelitian di 88 PLTU batu bara di seluruh dunia dengan perlakuan penelitian kesehatan masyarakat yang bermukim 50 km, 100 kilometer, hingga 1.000 kilometer dari PLTU menemukan warga terpapar penyakit yang mematikan dan dominan mengidap penyakit yang berkaitan dengan gangguan fungsi paru.
“Dominan mengalami gangguan fungsi paru seperti kanker paru-paru, asma dan pneumonia bahkan jantung, itu yang ditemukan,” katanya.
Penelitian di 18 PLTU negara wilayah Balkan juga menemukan penyebaran SO2 dan senyawa pencemar lainnya menyebar sampai ke Italia padahal sudah menyeberang laut. Penelitian juga menemukan pasca dihancurkannnya PLTU batu bara ditemukan polusi menurun drastis dan penyakit terkait polusi menurun dengan signifikan.
Dari paparan tersebut, fakta-fakta lapangan yang diderita oleh warga yang tinggal di sekitar PLTU batubara menunjukan bahwa penyakit yang mewabah adalah penyakit yang menyerang pernapasan dan kulit.
Di tapak PLTU Pangkalan Susu Sumatera Utara tahun 2021 tercatat 2.547 orang menderita ISPA dan 738 orang menderita sakit paru kronik. Derita serupa dialami warga Sijantang Koto Sawah Lunto Sumatera Barat seperti yang dipaparkan Direktur LBH Padang, Indira Suryani yang mengatakan penyakit ISPA menjadi penyakit terbanyak yang diderita warga Kecamatan Talawi dengan jumlah penderita mencapai 5.000 orang pada tahun 2011-2017 dan tetap masuk dalam 5 penyakit terbanyak pada tahun 2019 sampai 2021.
Yesi Sepriani perwakilan dari Posko Lentera, Bengkulu mengungkapkan bahwa 39 orang warga Teluk Sepang mengalami penyakit kulit yang sulit sembuh. Cerita yang sama juga terjadi di sekitar PLTU Pangkalan Susu dengan jumlah penderita penyakit kulit berjumlah 60 orang sementara penyakit pernapasan diderita oleh warga yang ada di sekitar PLTU Ombilin dan Pangkalan Susu.
Kerusakan lingkungan dipaparkan dari Riau oleh Direktur LBH Pekanbaru Andi Wijaya yang memaparkan kondisi pencemaran Sungai Siak yang masih menjadi sumber air PDAM bagi warga Kota Pekanbaru. Di Jambi tercatat 112 orang meninggal dunia di jalanan akibat kecelakaan yang diperparah dengan lalu lalang truk angkutan batu bara bahkan situs cagar budaya Muaro Jambi saat ini dikepung stockpile atau titik penumpukan batu bara. Di wilayah Lampung warga tiga kabupaten harus menerima debu batu bara setiap hari dari angkutan batu bara yang dibawa dari Sumatera Selatan menuju Lampung dengan kereta api.
Kerusakan lingkungan di lumbung batu bara seperti Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan pun menjadi makanan sehari-hari warga Kecamatan Merapi Barat. Syahwan dari Posko Anak Padi Lahat mengatakan warga Desa Muara Maung di tapak PLTU batu bara Keban Agung hidup dalam teror bencana banjir setiap musim hujan datang. Air Sungai Kungkilan yang meluap dan membawa lumpur masuk ke rumah dan lahan pertanian semakin intens terjadi. Begitu pula pembuangan limbah air bahang ke Sungai Lematang yang sehari-hari masih digunakan warga desa.
Sementara Profesor Yusmar Yusuf dari Universitas Riau, menyatakan persoalan sosial ini merupakan bentuk nyata dari eksploitasi berlebihan (over exploitation) terhadap alam lewat PLTU batu bara mulut tambang.
Ia mengatakan eksploitasi tambang batu bara telah menghilangkan habitat di lingkungan tambang yang berupa hutan atau areal yang tidak ada pemukimanya. Ia menilai saat ini Sumatera menjadi rapuh karena pengeroyokan ekonomi ekstraktif.
“Kondisi ini membuat transisi energi bukanlah pilihan tapi sebuah keharusan yang tidak bisa ditunda terlalu lama,” katanya.
Di sisi lain, Pulau Sumatera saat ini telah kelebihan daya listrik hampir 2.000 Megawatt (MW) dengan kapasitas terpasang 10.244 MW. Maka patut dipertanyakan penambahan PLTU baru yang terus digenjot khususnya di wilayah Sumatera Selatan.
Boni Bangun dari Sumsel Bersih menyebutkan di Provinsi Sumatera Selatan saja saat ini terdapat 6 PLTU dengan daya 2.168 MW sedangkan kebutuhan listrik di Sumsel hanya 36,39 persen dari total daya yang dihasilkan pembangkit atau hanya 789 MW. Artinya Sumsel mengalami surplus daya sebesar 1.379 MW tapi pemerintah terus menambah PLTU batu bara baru seperti PLTU Sumsel 1 dan PLTU Sumsel 8.
“Kami mendesak pemerintah menghentikan konstruksi PLTU Sumsel 1 dan Sumsel 8 karena Sumatera sudah kelebihan daya 2.000 MW dan Sumatera Selatan saja kelebihan daya 1.300 MW,” katanya.
Ali Akbar dari Kanopi Hijau Indonesia mengatakan laporan Sumatera ini dilaksanakan menyikapi inisiasi negara untuk mempensiunkan dini PLTU batubara di Indonesia. Pertemuan G20 yang baru saja dilaksanakan di Bali memberikan sedikit pengharapan akan adanya pengakhiran masa penggunaan batubara di Indonesia.
“Kami ingin Sumatera bebas dari energi kotor batubara. Cerita kesengsaraan rakyat yang telah dipaparkan tersebut cukup untuk menjadi dasar agar negara benar dalam mengambil keputusan. Rencana negara untuk berhenti menggunakan batubara bara pada tahun 2060 itu sudah terlalu terlambat,” katanya.