Media Brief

Membangunan kesamaan perspektif antara jurnalis dengan konsorsium dalam pelestarian Bentang Alam Seblat

Kamis, 24 Februari 2022

Bentang alam seblat adalah benteng ekologis dengan fungsi utama sebagai penyangga sumber penghidupan komunitas yang hidup mulai dari Kecamatan Ketahun Kabupaten Bengkulu Utara sampai dengan Kecamatan Lubuk Pinang Kabupaten Mukomuko. Wilayah ini menjadi hulu dari sungai-sungai besar yakni Sungai Ketahun, Sungai Seblat dan Sungai Manjunto dan terbagi menjadi beberapa daerah aliran sungai (DAS) yakni DAS Teramang, Retak, Ipuh, Air Rami, Seblat, Sabai dan Senaba. Selain itu wilayah ini juga menjadi wilayah kehidupan satwa kharismatik seperti harimau dan gajah Sumatera.

Dengan fungsi ekologis sebagai wilayah tangkapan air, hidupan liar serta penjaga iklim mikro bagi aktivitas pertanian dan perkebunan di dua kabupaten, menjadikan  bentang alam ini adalah bentang dengan fungsi ekologis teramat penting.

Fakta Bentang Seblat

Bentang alam seblat memiliki luasan tidak kurang dari 323 ribu hektar. Membentang dari Sungai Ketahun sampai ke Air Manjuto. Secara administrasi wilayah ini berada di dua kabupaten yaitu Bengkulu Utara dan Mukomuko.

Sejauh ini dalam riset analisis tutupan hutan yang dilakukan oleh Konsorsium Bentang Alam Seblat, menemukan seluas 39.812,34 hektar atau 49 persen telah menjadi hutan lahan kering sekunder dan seluas 23.740,06 hektar atau 29 persennya telah beralih fungsi menjadi non hutan. Kerusakan ini, dalam temuan lapangan terindikasi sebagai akibat pembiaran dari penyelenggara negara seperti Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, BKSDA, dan kepolisian.

Fakta itu sebenarnya belum mewakili bentang alam seblat secara keseluruhan, Studi ini hanya dilakukan di wilayah kerja Konsorsium Bentang Alam Seblat mencapai 80.987 hektar yang melingkupi kawasan hutan Taman Nasional Kerinci Seblat seluas 17.500 hektar, Hutan Produksi Terbatas Air Ipuh I seluas 19.659 hektar, Hutan Produksi Terbatas Ipuh II 6.500, Hutan Produksi Terbatas Lebong Kandis seluas 12.000, Hutan Produksi Tetap Air Rami 14.010 hektar, Hutan Produksi Tetap Air Teramang 4.818 hektar dan Areal Peruntukan Lain seluas 6.500 hektar.

Namun gambaran tersebut telah cukup sebagai basis pengetahuan bersama, bahwa bentang alam seblat berada pada titik yang kritis. Diperlukan tindakan yang nyata oleh seluruh pemangku kepentingan jika menginginkan bentang alam dapat bertahan fungsi ekologisnya.

Lemahnya kerja parapihak terutama para pemangku kepentingan dengan tugas menyelematkan bentang alam seblat telah menyebabkan wilayah ini menjadi “rebutan” orang orang (pemain) guna mencari keuntungan secara pribadi

Para ‘pemain lahan’ melakukan praktik jual beli lahan hutan, tim pemantau kolaboratif  yang merupakan gabungan dari organisasi masyarakat sipil dan petugas negara mengungkap, pembukaan lahan baik itu untuk aktivitas perambahan maupun pembalakan bukan hanya dilakukan oleh pelaku semata, akan tetapi para petugas negara seperti kepala desa justru ikut ambil bagian.  Laporan kejadian yang di susun oleh tim pemantau kolaboratif yang melaporkan keterlibatan kepala Desa Kota Bani adalah fakta yang terang benderang.

Selain itu, pembalakan kawasan juga menjadi pemandangan rutin, beberapa aktivitas pencurian kayu selalu ditemukan setiap kali pemantauan dilakukan. Sementara, Jalur keluar kayu hanya melewati satu pintu, yaitu melewati pos jaga perkebunan PT Alno. Beberapa nama seperti Tarman dan hasan menjadi sangat populer. Bahkan beberapa ruas jalan di dalam kawasan telah menggunakan kedua orang ini.

Fakta gajah Sumatera

Populasi Gajah Sumatera di Bengkulu, sejauh ini makin mengkhawatirkan. Dengan estimasi populasi yang hanya mencapai 50 ekor. Kawanan ini terfragmentasi di beberapa kawasan hutan. Satu dasawarsa sebelumnya, tercatat ada 16 ekor gajah di Bengkulu yang ditemukan mati. Catatan ini kemudian bertambah lagi pada 2018-2021, setidaknya ada tiga ekor gajah lagi yang mati. Mayoritas kematian ini terjadi secara tidak alami. Seperti diracun, ditembak dan diburu.

Sejauh ini, dalam analisis yang dilakukan Konsorsium Bentang Alam Seblat, banyaknya kasus kematian gajah ini ditengarai oleh masih dominannya stigma bahwa gajah adalah hama. Stigma ini menjadi alasan utama bagi para pemangku perkebunan untuk membunuh kawanan ini.

Selain itu, akibat dari fragmentasi habitat. Saat ini, kawanan gajah yang hidup di Bentang Alam Seblat, menjadi hidup terkelompok dengan kawanan kecil. Efek lanjutan dari ini, memunculkan perkawinan gajah yang dekat pertalian darahnya (inbreeding). Kondisi ini memicu turunnya fungsi genetik gajah yang kemudian bermuara pada cepatnya laju kepunahan gajah di Bengkulu.

Inisiatif membangunan konektivitas

Di Bengkulu, sejak 2018. Pemerintah telah menetapkan Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) Koridor Gajah Sumatera seluas 29 ribu hektare yang meliputi Hutan Produksi (HP) Air Rami, Hutan Produksi Terbatas (HPT) Lebong Kandis, Taman Wisata Alam (TWA) Seblat, Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan sebagian konsesi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu [IUPHHK] dan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit.

Namun demikian, koridor yang sudah diproyeksikan untuk menjadi jalur satwa itu, nyatanya terus rentan dengan beragam ancaman. Perambahan, pembalakan, aktivitas perkebunan sawit skala besar hingga ke pertambangan batu bara membuat jalur penghubung itu terus tergerus dan memperbesar ancaman kematian terhadap para gajah.

Sejak 2021, dalam payung Konsorsium Bentang Alam Seblat, yang merupakan kerja kolaboratif tiga lembaga non-pemerintah yakni Yayasan Kanopi Indonesia, Yayasan Genesis dan Lingkar Inisiatif, menemukan bahwa kondisi itu ditengarai oleh lemahnya pengawasan negara terhadap kawasan yang hendak dijadikan jalur penghubung para Gajah Sumatera. Impilikasi dari inilah yang kini membuat ‘benteng terakhir’ para gajah Sumatera kini makin terdesak.

Rekomendasi

Penyelamatan populasi Gajah Sumatera dan perlindungan habitatnya menjadi hal mutlak yang mesti disegerakan. Butuh komitmen bersama dan dukungan banyak pihak untuk mewujudkan ini. Atas itu Konsorsium Bentang Alam Seblat Bengkulu menyampaikan beberapa rekomendasi penting untuk kondisi ini, yakni:

  • Penegak hukum harus memberikan sanksi tegas kepada para pihak yang merambah atau pun melakukan pembalakan liar di kawasan hutan yang menjadi habitat Gajah Sumatera. Temuan lapangan Konsorsium Bentang Alam Seblat mengungkap bahwa beberapa praktik pembukaan kawasan hutan justru difasilitasi oleh aparat desa, oknum di pemangku kawasan dan warga yang memiliki modal. Jika ini dibiarkan berlarut, maka konflik antara gajah dan manusia akan semakin sering bermunculan. Dan pastinya, maka akan menimbulkan korban di kedua belah pihak
  • Pemerintah harus segera menetapkan koridor penghubung Gajah Sumatera. Tindakan ini, bisa membantu menyelamatkan para gajah yang sudah terfragmentasi habitatnya sekaligus memperpanjang daur hidup satwa endemik Sumatera ini di Bengkulu. Tanpa koridor, habitat yang selama ini sudah menyempit akibat aktivitas manusia dan industri perkebunan atau pun pertambangan, akan semakin tergerus dan memicu kematian para gajah di Bengkulu semakin cepat.

 

KONSORSIUM BENTANG ALAM SEBLAT BENGKULU (Kanopi Hijau Indonesia, Genesis Bengkulu, Lingkar Inisiatif Indonesia)