Dua puluh empat hari pasca banjir dan tanah longsor yang menyebabkan 25 jiwa meninggal, 6 hilang dan 12.000 jiwa mengungsi, serta kerugian materil yang harus ditanggung sebesar 144 miliar rupiah. Semua pemangku berpartisipasi baik dalam fase emergensi respon yang sudah dicabut pada 3 Mei 2019 maupun pada fase rehabilitasi dan rekonstruksi yang sekarang ini sedang dilaksanakan.
Namun di balik tingginya budi baik warga korban yang menerima bahwa kejadian ini bencana alam, para pejuang bencana yang tak kenal lelah mendistribusikan bantuan serta bersama-sama dengan warga korban, tergambar dengan jelas bagaimana kondisi DAS Bengkulu yang compang camping akibat pertambangan batubara.
Edy Prayekno juru bicara koalisi langit biru yang juga merupakan Ketua Komunitas Drone Bengkulu menyatakan bahwa, dalam sejarahnya belum pernah ada banjir dengan dampak seluas ini di Kota Bengkulu. Berdasarkan pemantauan udara di Kota Bengkulu, wilayah terdampak parah adalah Kelurahan Tanjung Agung, Tanjung Jaya, Rawa Makmur dan Bentiring, Semarang dan Sawah Lebar di mana semuanya wilayah berada dikiri kanan sungai Bengkulu.
Mengutip daftar IUP yang diterbitkan Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) ada 8 izin tambang yang beroperasi di hulu Sungai Bengkulu. Aktivitas pertambangan di hulu Sungai Bengkulu dimulai sejak 1980-an, namun delapan IUP yang aktif saat ini diterbitkan dalam kurun waktu 2011-2013. Delapan IUP tersebut dimiliki PT Bara Mega Quantum seluas 1.998 ha, PT Inti Bara Perdana seluas 892,05 ha, PT Ratu Samban Mining memiliki dua IUP yang pertama seluas 1.955,66 ha dan kedua seluas 5.196,79 ha, PT Cipta Buana Seraya seluas 2.649,59 ha, PT Bengkulu Bio Energi seluas 987 ha dan PT Danau Mas Hitam seluas 800,31 ha, PT Kusuma Raya Utama seluas 984,60 dan PT Griya Pat Petulai seluas 6.230 ha.
Pengerukan batu bara di hulu sungai yang masuk dalam wilayah daerah aliran sungai (DAS) Bengkulu dengan total luas delapan IUP aktif mencapai 21.694 hektare atau mencakup 42 persen dari total luas DAS Bengkulu yang mencapai 51.951 hektare.
Selain mengupas kulit bumi, perusahaan tambang telah menyebabkan hancurnya pondasi ekologis sungai Bengkulu, mulai dari anak sungai sampai dengan muaranya sudah masuk dalam kategoi tercemar berat dan tentu saja proses sedimentasi dan pendangkalan sungai ini akibat hancurnya DAS Bengkulu. Warga Desa Talang Empat Kabupaten Bengkulu Tengah, Sanayun menyatakan bahwa sejak tahun 1989 Sungai Bengkulu tak pernah jernih lagi.
Anggota koalisi lainnya Dede Frastien menyatakan pengupasan tutupan lahan dan abainya pelaksanaan reklamasi telah memperparah banjir. Pemantauan berdasarkan citra satelit ditemukan bahwa ada 33 lubang tambang yang masih menganga di wilayah konsesi tambang. Lubang tambang yang dibiarkan tanpa reklamasi itu akan menjadi ancaman bencana baru bagi lingkungan dan manusia.
Perusahaan yang meninggalkan lubang tambang adalah PT Inti Bara Perdana sebanyak 12 lubang, PT Bukit Sunur 6 lubang tambang, Cipta Buana Seraya 4 lubang, PT Bengkulu Bio Energi 4 lubang, PT Danau Mas Hitam 3 lubang, PT Bara Mega Quantum 2 lubang, PT Fero Rejang dan PT Kusuma Raya Utama masing-masing 1 lubang.
Apabila perusahaan tersebut tidak melaksanakan kewajiban reklamasi dalam kurun waktu 5 tahun dan juga melakukan kewajiban pasca-tambang setelah selesai melakukan kegiatan usaha, dalam hal ini pemerintah wajib untuk melakukan reklamasi dan pasca tambang sesuai dengan Rencana Reklamasi dan Rencana Pasca Tambang yang telah di susun oleh pihak perusahaan dengan menunjuk pihak ke-3 yang telah bersertifikasi serta memakai Jaminan Reklamasi dan Jaminan Pasca Tambang yg telah disetorkan perusahaan ke Bank Negara dalam bentuk Deposito Berjangka, sehingga tidak ada alasan bahwa reklamasi dan pasca tambang tidak terlaksana.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah nomor 78 tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang disebutkan bahwa Rencana Reklamasi (RR) dan Rencana Pasca Tambang (RPT) disusun sebelum suatu kegiatan/usaha pertambangan dengan kata lain sebelum Izin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi diterbitkan oleh pemerintah.
“Apabila tidak terlaksana maka pemerintah dan pelaku usahalah yang harus bertanggung jawab atas semua ini,” katanya.
Hal ini juga sejalan dengan tanggung jawab pemerintah seperti amanat UU Pengelolaan Bencana No 24 tahun 2009 dalam BAB IX PENGAWASAN Pasal 71 menyatakan bahwa (1) Pemerintah dan pemerintah daerah melaksanakan pengawasan terhadap seluruh tahap penanggulangan bencana. (2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: sumber ancaman atau bahaya bencana; kebijakan pembangunan yang berpotensi menimbulkan bencana; kegiatan eksploitasi yang berpotensi menimbulkan bencana; pemanfaatan barang, jasa, teknologi, serta kemampuan rekayasa dan rancang bangun dalam negeri; kegiatan konservasi lingkungan; perencanaan penataan ruang; pengelolaan lingkungan hidup; kegiatan reklamasi; dan pengelolaan keuangan. Berdasarkan pasal tersebut, terang benderang bahwa pemerintah daerah tidak melakukan pengawasan sebagaimana dimanatkan oleh UU. Hal ini dibuktikan dengan dengan rusaknya Kawasan DAS Bengkulu yang menyebabkan semakin parahnya dampak bencana banjir tangga 27 April 2019
Atas fakta dan Analisa yang diuraikan melalui siaran pers ini koalisi langit biru mengajak semua elemen warga korban untuk bersama-sama menyatakan bahwa banjir tanggal 27 April 2019 adalah banjir yang dampaknya diperparah oleh aktivitas pertambangan. Dan bersama-sama menggugat perusahaan tambang yang beraktivitas di Kawasan DAS Bengkulu.
Koalisi juga mendesak gubenur untuk ; pertama, mengevaluasi delapan izin pertambangan yang ada di DAS Bengkulu dengan membentuk tim terpadu yang beranggotakan unsur pemerintah, perguruan tinggi dan gerakan masyarakat sipil, kedua mencabut izin pertambangan yang ada di DAS Bengkulu, karena selama pertambangan tersebut beraktivitas, maka banjir dan longsor akan terus terjadi. Ketiga, menagih pertanggun jawaban perusahaan atas kewajiban-kejiban untuk reklamasi dan pengelolaan pascatambang lainnya. Keempat, tidak lagi menerbitkan izin tambang apapun di wilayah DAS Bengkulu.