Catatan Kritis

Serial dialog publik Kanopi HIjau Indonesia
Tanggal 3 Juli 2020

Gugatan rakyat dalam perjuangan menyelamatkan lingkungan seperti menabrak tembok tebal dan tak mungkin dirobohkan. Gugatan di peradilan negara yang diajukan baik atas nama gerakan masyarakat sipil maupun warga korban yang tinggal di sekitar PLTU batubara. Hal itu terungkap dalam diskusi dengan tema “Batu Uji Keselamatan Lingkungan dalam Sistem Peradilan Negara” yang diselenggarakan oleh Kanopi Hijau Indonesia pada 3 Juli 2020.

Ali Akbar selaku host dalam diskusi tersebut menyatakan bahwa berat sekali posisi rakyat untuk menyentuh jalur hukum ini. Dia mencontohkan gugatan rakyat yang tinggal di sekitar PLTU batubara teluk sepang dimana salah satu penggugat sudah berusia 76 tahun dan memiliki kerentanan terhadap penyakit. Posisi seperti saja tidak dapat menjadi pijakan bagi warga sebagai penggugat. Fakta pengadilan menyebutkan bahwa manusia usia lanjut yang memiliki kerentanan tidak memiliki legal standing atau hak untuk menggugat.

Untuk diketahui bahwa PLTU batubara telah diketahui secara umum dapat menyebabkan penyakit pernapasan.
Begitupun dengan pendekatan dokumen, sudah secara terang bahwa rekomendasi RTRW diterbitkan tidak sesuai dengan fakta. Tidak cukup dengan fakta tersebut, lembaga negara seperti Ombudsman RI juga menyatakan bahwa terbitnya rekomendasi RTRW sebagai dasar penyusunan dokumen AMDAL juga dinyatakan dilaksanakan dengan melakukan pelanggaran berupa penyalahgunaan wewenang.

Semua fakta itu tidak menjadi pertimbangan bagi hakim untuk untuk memenangkan gugatan rakyat yang berjuang demi keselamatan lingkungan dan sumber penghidupan mereka. Tidak dapat dipungkiri bahwa penilaian hakim dalam memutuskan suatu perkara ada nilai subyektivitas hakim. Menurut Dr Nur SB Ambarini SH., MH penilaian dengan subyektivitas hakim dimungkinkan karena hakim memiliki kewenangan penilaian terhadap gugatan.

Arip yogiawan dari Yayasan lembaga bantuan hukum Indonesia menegaskan bahwa sengketa lingkungan hidup berbeda dengan sengketa perdata biasa. Sengketa lingkungan hidup diregister dengan kode LH. Kekalahan gugatan rakyat karena belum ada dampak menegaskan bahwa cara berpikir hakim dalam penanganan gugatan ini masih mengacu kepada sistim peradilan biasa.

Contoh putusan gugatan di Celukan Bawang, Bali dan Teluk Sepang, Bengkulu dimana kekalahan penggugat karena dinyatakan tidak memiliki legal standing dengan alasan belum ada dampak. Adalah contoh nyata bahwa sistim peradilan lingkungan hidup masih dilaksanakan dengan pola sistim peradilan biasa.

Sengketa lingkungan hidup itu berorientasi jangka panjang, dampaknya dapat saja dirasakan oleh generasi yang akan datang. Namun hal ini jarang diperhatikan.

Roy Murtadho Menegaskan bahwa dalam hukum di Indonesia secara makro antara yang ideal dan faktual terjadi kontradiksi. Jarak antara ideal dan factual jaraknya terlalu jauh, pijakan dalam kita melihat hukum adalah hukum adalah cerminan dari politik. Dia lahir dari situasi politik tertentu. Kondisi politik dan ekonomi prasyarat tertentu yang melahirkan hukum tertentu. RUU Omnibus yang sekarang sedang dibahas adalah contoh nyata dari situasi tertentu tersebut.

Pada sisi yang lain Roy memberikan contoh tentang perjuangan masyarakat sipil sejak 2012 yaitu masyarakat kendeng di pati dan rembang yang menggugat tambang semen, gugatan di MA dikabulkan dan dimenangkan pada 2016 dengan amar putusan dibatalkan demi hukum. Namun faktanya operasi pertambangan masih terus berlangsung. Presiden mengetahui tapi lagi-lagi dengan alasan pertumbuhan ekonomi.

Terakhir dia mengatakan bahwa strategi nafkah yang seharusnya dilindungi oleh negara, anehnya hal ini direnggut negara dengan alasan pembangunan. Hampir semua proses peradilan ada infiltrasi dari luar pengadilan. Hal ini yang perlu diperhatikan oleh gerakan masyarakat sipil yang sedang memperjuangkan Indonesia.

Koordinator Posko Langit Biru, Hamidin mengatakan bahwa sejak pamitan kami sudah menolak PLTU batu bara teluk sepang. karena kami sudah bisa memprediksi akan ada dampak buruk yang akan terjadi. Pada saat konstruksi saja lahan warga sudah di hancurkan dengan ganti rugi tanam tumbuh yang tidak manusiawi, begitupun dengan hutan mangrove, sebelumnnya negara meminta untuk menjaganya namun ketika PLTU mau didirikan hutan mangrove tersebut dihancurkan. Sementara pemerintah diam saja.

Puncaknya adalah kami dikalahkan dalam pengadilan tata usaha negara. Apakah kami perlu sumbangan untuk memenangkan gugatan tersebut “ketika rakyat mengambil pasir untuk bangun rumah ditangkap, sementara perusahaan mengambil pasir dengan menggunakan eskavator didiamkan saja. Pemerintah diam saja ungkapnya kesal sambil menyatakan kami kehilangan kepercayaan pemerintah.

Perjuangan melawan PLTU batu bara Teluk Sepang sudah sejak 2016 mulai dari aksi di jalan sampai ke pengadilan. Namun kemenangan untuk lingkungan yang baik tidak pernah berpihak kepada masyarakat. Saat ini perjuangan rakyat sampai pada tahap kasasi. Akankah keadilan dan keselamatan lingkungan terwujud dari palu mahkamah agung?