Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara sudah sejak lama ditolak di berbagai wilayah baik dalam maupun luar negeri. Dampak buruk berupa turunnya kualitas lingkungan yang mengakibatkan turunnya tingkat produktivitas pertanian, sumber daya laut serta ancaman kesehatan menjadikan PLTU batubara dinyatakan sebagai salah satu “biang” dari kesengsaraan rakyat.

Selain itu, PLTU batu bara adalah kontributor utama dari laju perubahan iklim. Buruknya model pengelolaan PLTU dan dampak beroperasinya yang tidak dapat ditanggulangi telah memunculkan perlawanan warga dalam bentuk protes seperti yang terjadi di Aceh Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan dan Sumatera Barat.

Sementara daerah lain yang belum bergerak lebih dikarenakan tertutupnya informasi dan pengetahuan yang dimiliki.

Tidak hanya Sumatera, warga Pulau Jawa telah lebih dahulu merasakan dampak buruk PLTU dan sampai kini warga masih berjuang menutup PLTU-PLTU yang beroperasi dan mencoba menahan proyek PLTU yang akan dan sedang dibangun.

Senada dengan hal itu, Koalisi Langit Biru (KLB) melalui kajian panjang, menemukan adanya indikasi pelanggaran atas terbitnya izin lingkungan PLTU batu bara 2×100 MW Teluk Sepang. Pelanggaran terhadap PERDA Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi dan Kota Bengkulu, klaim atas persetujuan warga hingga analisis dampak lingkungan yang dipandang tidak tepat, serta prosedur penerbitan yang dinilai tidak mengikuti aturan yang berlaku.

Berdasarkan hal tersebut, melalui Tim Advokasi Langit Biru (T(a)LB) pada 20 Juni 2019 warga memasukkan gugatan ke PTUN dan meminta agar izin lingkungan PLTU Teluk Sepang dibatalkan dan dicabut.

Hari ini, 22 Juli merupakan agenda sidang dengan pembacaan gugatan dari para penggugat melalui kuasa hukum Tim Advokasi Langit Biru.

Bersamaan dengan sidang, sejumlah warga Teluk Sepang bersama mahasiswa, seniman dan aktivis lingkungan menggelar aksi simpatik di depan PTUN Bengkulu dengan membawa spanduk besar dengan seruan “Wahai Hakim, Keadilan Anda adalah Masa Depan Kami”. Dalam spanduk itu juga dipaparkan dampak yang akan dialami warga bila PLTU batu bara Teluk Sepang tidak dihentikan.

Dampak tersebut antara lain peningkatan risiko gangguan kesehatan, peningkatan risiko bencana, kerusakan biota laut seperti kerusakan ekosistem mangrove yang sebelumnya dibabat lalu ditimbun untuk mendirikan proyek PLTU yang berdiri di zona merah rawan gempa dan tsunami itu.

Penggugat, Harianto dengan profesi sebagai pedagang ikan, mengatakan bahwa PLTU Teluk Sepang akan membuat nelayan dan petani kehilangan mata pencarian. Abu pembakaran batu bara akan mencemari udara, serta limbah air bahang akan mencemari laut. “Jika PLTU beroperasi maka kami akan menderita” kata Harianto.

Rayendra Agustian korlap aksi yang juga merupakan Pengurus Departemen Politik dan Kajian Strategis Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Besar Mahasiswa Universitas Bengkulu (BEM -KBM UNIB) yang sejak awal menjadi bagian dalam perjuangan menolak PLTU batubara Teluk Sepang, menyatakan, “Dari kacamata intelektual, kami menilai bahwa PLTU ini adalah pembangkit kuno dan sudah mulai ditinggalkan oleh negara-negara maju, bahkan di negara lain peta jalan transisi energi sudah disusun dan mulai diterapkan. Sementara Indonesia, jangankan peta jalan, komitmenpun belum ada. Hal ini dibuktikan dengan terus didirikannya PLTU-PLTU batubara baru”, katanya

Saman Lating, S.H selaku koordinator Tim Advokasi Langit Biru, menyatakan, fakta-fakta yang ada serta pengalaman gugatan PLTU di Kenya yang dimenangkan warga serta kualitas hakim PTUN Bengkulu yang menjadi majelis, kami percaya, bahwa gugatan ini akan dimenangkan oleh warga selaku penggugat. Kemenanggan ini kelak bukan hanya kemenangan para penggugat akan tetapi kemenangan warga Bengkulu yang akan bebas dari ancaman polusi PLTU batu bara