Siaran Pers Yayasan Kanopi Bengkulu
MERDEKA DARI ENERGI KOTOR, STOP PLTU BATU BARA
Kanopi Bengkulu – Penumpahan ratusan ton batu bara milik PT Injatama ke laut Pantai Muara Sungai Ketahun pada 26 Juli 2017 menjadi cerminan akan brutal dan buruknya praktik pertambangan batu bara, khususnya di Bengkulu.
Sebelum menumpahkan batu bara ke laut (dengan berbagai dalih) aktivitas perusahaan ini telah terlebih dahulu mengakibatkan ratusan hektare sawah warga Desa Gunung Payung tertimbun longsor dan badan jalan provinsi juga ikut terimbas. Ironisnya, praktik-praktik buruk pertambangan ini berpotensi akan terus terjadi terkait program ambisius pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menyediakan listrik sebesar 35 ribu megawatt (MW) dalam jangka lima tahun (2014-2019).
Dalam perencanaannya, dari 35 ribu MW itu, sebesar 60 persen masih mengandalkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara sebagai pembangkitnya, dengan kata lain pemerintah masih mengandalkan energi fosil. Dalam dokumen rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) tahun 2016-2025 wilayah Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) khususnya Jambi, Bengkulu dan Sumatera Selatan menjadi lokasi sasaran pengembangan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara mulut tambang.
PLTU batu bara mulut tambang di wilayah Sumbagsel mencapai 6.000 Megawatt (MW) dengan daya terbesar berasal dari Sumatera Selatan mencapai 3.890 MW yang dikembangkan di tujuh lokasi. “Bisa dibayangkan daya rusak di sektor hulu dimana batu bara itu dikeruk dan di hilir tempat pembakaran akan mendapat udara tercemar,” kata Ketua Yayasan Kanopi Bengkulu, Ali Akbar.
Di wilayah Bengkulu, PLTU batu bara akan dibangun di Pulau Baai, Kota Bengkulu dengan daya 200 MW. Bila pembangkit ini berdiri sebanyak 2.900 ton batu bara akan dibakar per hari. Dampaknya jelas, polusi udara menghantui masyarakat di wilayah Kota Bengkulu, bahkan nelayan di Kelurahan Teluk Sepang, terancam terusir dari wilayah ruang kelola mereka mencari ikan. Pembakaran batu bara akan mencemari udara dengan polutan yang mengandung SO2, NOx dan PM 2,5 ditambah hujan asam, emisi logam berat seperti merkuri, arsenik, nikel, kromium dan timbal.
Akibatnya, rakyat akan terpapar polusi yang dapat memicu penyakit stroke, jantung insemik, kanker paru-paru, paru obstuktif kronik, dan lain karena penyakit pernafasan dan kardiovaskular. Karena itu, alih-alih menambah pembangkit baru, pemerintah harus mulai mengurangi ketergantungan negeri ini terhadap bahan bakar fosil batu bara, karena hal ini berdampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia. “Batu bara bukan solusi memenuhi listrik bagi Bengkulu karena pembakarannya justru menjadi sumber polusi yang menurunkan kualitas hidup,” kata Ali.
Staf Kajian dan Kampanye Kanopi Bengkulu, Suarli mengatakan sejak penandatanganan kontrak antara PLN, pemerintah daerah dan PT Pelindo terkait pembangunan PLTU batu bara di Teluk Sepang, berbagai persoalan sudah muncul di lapangan. Baru-baru ini misalnya, puluhan tenaga kerja lokal diberhentikan dan diganti dengan buruh asal luar daerah, tepatnya dari Pulau Jawa. Belum lagi, debu ratusan truk yang setiap hari melintasi jalur utama warga Teluk Sepang menuju pusat Kota Bengkulu selama ini sudah dikeluhkan warga setempat.
Karena itu, Kanopi Bengkulu bersama masyarakat menggelar aksi pemasangan spanduk “ Merdeka dari energi kotor, Stop PLTU Batu Bara”, di empat titik Kota Bengkulu, diantaranya: Kelurahan Teluk Sepang, Kantor Gubernur Provinsi Bengkulu, Kantor DPRD Provinsi Bengkulu, Simpang Lima Kota Bengkulu.
Aksi ini seruan bagi pemerintah untuk menghentikan pemakaian batu bara sebagai sumber energi listrik dan segera beralih ke energi bersih terbarukan seperti tenaga surya, tenaga angin, tenaga air, panas bumi dan tenaga gelombang laut yang potensinya melimpah di negeri ini. Aksi ini juga mengajak kepedulian masyarakat Kota Bengkulu untuk memastikan energi yang digunakan untuk kehidupan kita adalah energi yang berkelanjutan tanpa mengancam masa depan anak cucu.