Lima ekor penyu mati dalam jangka waktu satu bulan di area Pantai Teluk Sepang. Sejak 10 November 2019 ditemukan dua ekor penyu dan ikan mati. Penemuan ini terus bertambah. Pada 18 November 2019 kembali ditemukan penyu dan ikan mati di Pantai Teluk Sepang, tidak jauh dari area pembuangan limbah air bahang PLTU batu bara.

Hingga kini belum diketahui penyebab pasti kematian penyu dan ikan ini. Meski rombongan tim DLHK Provinsi Bengkulu sudah turun ke lapangan dan mengukur suhu dan pH, tidak ada jawaban pasti apa penyebab kematian biota laut ini.

Namun, berdasarkan catatan Program Studi Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, belum ada data rekaman penyu mati di perairan Bengkulu. Dengan kata lain, kasus seperti ini belum pernah terjadi.

Anehnya, kematian ikan dan penyu yang menurut nelayan menyaksikan ada lima ekor penyu mati dalam waktu berdekatan, bersamaan dengan uji coba PLTU batu bara yang membuang limbah pencucian boiler ke laut.

Dari catatan Kanopi, uji coba PLTU digelar dua kali yaitu 19 hingga 26 September 2019 lalu diulang kembali pada 8 Oktober 2019.

Adapun dampak lingkungan dari uji coba PLTU Batubara Teluk Sepang yang dipantau warga bersama tim Kanopi adalah :

  1. Asap hitam pekat yang kemudian dilanjutkan oleh asap berwarna kecoklatan keluar dari cerobong PLTU. Dicurigai pada asap hitam pekat adalah asap dari hasil pembakaran bahan bakar diesel sebagai pemicu panas untuk pembakaran batu bara. Sedangkan asap kecoklatan adalah asap yang mengandung abu terbang.
  2. Sejak awal Oktober ditemukan limbah cair yang dibuang melalui saluran pembuangan air bahang. Limbah dalam jumlah besar ini berbau menyengat dan berbusa dengan warna kuning kecoklatan. Hal diduga akibat dari salah satu proses yang harus dilakukan dalam proses uji coba yaitu Metal Cleaning Waste Water Treatment Plant (MCWWTP) dan Neutralization Plant (NP). MCWWTP adalah instalasi pengolahan limbah cair untuk air buangan boiler drum (blowdown boiler) sedangkan NP adalah unit netralisasi yang berfungsi untuk menetralkan PH dari air buangan demineralization water plant. Di mana dalam proses ini dilakukan injeksi HCL (asam klorida)
  3. Pada bulan November mulai ditemukan adanya kematian biota laut seperti ikan, cumi-cumi dan udang serta penyu sisik. Biota laut jenis ikan, udang dan cumi-cumi ini berserakan disepanjang pantai kiri kanan pembuangan air limbah.

Berdasarkan informasi dari warga bernama Fajar, pihak PLTU batu bara Teluk Sepang mengambil biota ini dan menguburkannya. Sementara warga mengambil ikan ini untuk dikonsumi.

Selain ketiga jenis tersebut, juga ditemukan penyu yang mati dan terdampar di sekitar lokasi pembuangan air bahang. Jumlah penyu yang mati dan ditemukan oleh tim Kanopi Bengkulu berjumlah empat ekor, akan tetapi menurut informasi Fajar, setidaknya dia telah menemukan 12 ekor penyu yang mati dan terdampar sejak dilaksanakannya uji coba PLTU batubara.

Penyu sisik merupaka Fauna yang dilindungi berdasarkan lampiran Peraturan Menteri lingkungan hidup dan kehutanan Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 perubahan kedua atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi. Oleh karena dapat dikenakan sanksi berdasarka Pasal 21 ayat 2 huruf a Junto Pasal 40 ayat 2 dan ayat 4 UU 5 1990 tentang sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Menurut Andrianto, salah satu nelayan penjaring pinggir di Pantai Teluk Sepang yang setiap hari menjaring menyebutkan bahwa dalam kurun dua minggu melihat 5 ekor penyu yang mati.

“Kejadian ini belum pernah kami temukan banyak penyu mati dalam waktu berdekatan, begitu pula ikan-ikan,” ungkapnya.

Dari pengukuran DLHK Provinsi Bengkulu yang sudah dipublikasi ke jurnalis pada 21 November 2019 menyebutkan suhu air di area out let air bahang masih memenuhi baku mutu dengan paramer ph 8,32, suhu air : 35 ℃ (suhu rata-rata laut Bengkulu 29-30 derajat Celcius), Dhl : 13,5 ms. Laporan ini diperoleh tim yang ke lapangan yakni Zaunibu, Rico Y, YuYun, Meswari dan Muslim Azhari serta Yostaki. (http://rri.co.id/bengkulu/post/berita/749852/daerah/penyu_dan_ikan_mati_dinas_lhk_bengkulu_sebut_limbah_pltu_tidak_tercemar.html)

Berdasarkan penelitian yang dipimpin Universitas Harvard yang dipublikasi di National Science Foundation dan dikutip media mainstream kontan,co.id (https://internasional.kontan.co.id/news/semakin-tinggi-suhu-air-laut-kian-tinggi-mercuri-dalam-tubuh-ikan) menyebutkan kenaikan suhu air lautan dapat meningkatkan jumlah methylmercury yang terkandung dalam ikan.

Penelitian ini menyimpulkan air laut yang hangat mempengaruhi tingginya neurotoxicant methylmercury yang terkandung dalam tubuh seafood, ikan cod, tuna sirip biru dan ikan marlin.

Sementara dalam makalah penelitian dari National Oceanic and Atmospheric Administration, Universitas Negeri California dan Worldwide Fund for Nature Australi yang diterbitkan dalam Current Biology juga dipaparkan bahwa peningkatan suhu laut telah mengubah hampir semua populasi penyu hijau di Great Barrier Reef. Penelitian ini memperingatkan bahwa keadaan tersebut jika terus terjadi dapat mengancam masa depan populasi penyu laut. (https://litbang.kemendagri.go.id/website/meningkatnya-suhu-air-laut-mengganggu-penyu-di-great-barrier-reef-australia/)

Sementara dalam kajian lembaga Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) pada awal Desember 2018 yang sudah dipublish ke media massa pada Januari 2019 (https://icel.or.id/aturan-baku-mutu-air-limbah-pltu-batubara-bisa-bahayakan-laut/) menyebutkan bahwa sejumlah peraturan pemerintah tentang perlindungan laut sangat longgar dan membahayakan biota laut.

Hasil analisis mengungkapkan, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (PermenLH) nomor 8 tahun 2009 yang menetapkan baku mutu air limbah untuk PLTU batu bara sangat longgar dan bertentangan dengan aturan lain. Untuk itu, perlu penguatan kebijakan dengan membentuk peraturan baru khusus baku mutu air limbah PLTU batu bara yang dibuang ke laut dengan tujuan memberi jaminan perlindungan bagi ekosistem pesisir dan laut.

Aturan ini merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah nomor 82 tahun 2001 soal pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Peraturan ini tidak mengatur air laut sehingga aturan menteri yang dibuat pada 2009 itu tidak tepat sebagai acuan baku mutu air limbah PLTU batu bara yang dibuang ke laut.

Lemahnya perlindungan PermenLH nomor 8 tahun 2009 juga terlihat dari penetapan baku mutu suhu limbah bahang yang tak dapat mendukung terpenuhinya baku mutu air laut yang ditetapkan dalam KepmenLH nomor 51 tahun 2004. Dalam PermenLH no 8 tahun 2009 memperbolehkan limbah bahang dibuang ke laut dengan suhu maksimal 40 derajat Celsius sedangkan KepmenLH no 51 tahun 2004 hanya memperbolehkan peningkatan suha air laut tidak lebih dari 2 derajat Celcius. Kalau dilihat dari suhu rata-rata air laut di Indonesia berkisar 29,5 derajat Celcius, maka kenaikan suhu laut tidak boleh lebih dari 31,5 derajat Celcius.

Univeritas Diponegoro telah melakukan penelitian pada 2014 di PLTU Tanjung Jati B Jepara menunjukkan suhu air laut akibat limbah bahang PLTU meningkat hingga 34,5 derajat C dan menyebar sampai 4.709 meter. Penelitian serupa juga dilakukan Universitas Hasanudin pada 2014 di perairan sekitar lokasi PLTU Jeneponto. Sejak beroperasi pada 2005, suhu air laut awalnya 28-29 derajat C meningkat menjadi 29-33 derajat C.

Peningkatan suhu air laut akan berdampak krusial terhadap ekosistem pesisir dan laut. Menurut Stephen L. Coles dalam “Marine Management and The Sitings of Electrical Generating Stations on Tropical Shorelines” menyebutkan kenaikan suhu 3-5 derajat Celcius mengakibatkan kematian bagi organisme laut. Sementara kenaikan suhu 2-3 derajat C berdampak kronis, misalnya menghambat metabolism dan fotosintesis. (https://icel.or.id/aturan-baku-mutu-air-limbah-pltu-batubara-bisa-bahayakan-laut/)