Sebanyak 28.431 nelayan tradisional yang tersebar di 5 kantong se Provinsi Bengkulu terancam kehilangan mata pencarian, hal ini disebabkan oleh krisis iklim.
Cuaca ekstrim, kenaikan permukaan dan suhu air laut adalah bentuk dari krisis iklim tersebut. Penyebab utamanya adalah emisi gas rumah kaca yang terus meningkat akibat aktivitas manusia. Salah satu penyumbang emisi terbesar adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara, yakni sebesar 44 persen .
Namun fakta ini tidak menghentikan nafsu negara untuk terus kecanduan batubara. Ada 33 unit PLTU batubara yang beroperasi di Sumatera berkapasitas 3.566 Megawatt (MW), lalu perencanaan pemerintah dalam Rencana Usaha Pemenuhan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021 – 2030 akan menambah sebesar 4.000 MW pembangkit berbasis energi kotor.
Di Bengkulu berdiri satu PLTU batubara berkapasitas 2×100 MW di Teluk Sepang Kota Bengkulu dan bongkar muat batubara serta tempat penumpukan batubara (stokpile) di pesisir Teluk Sepang.
Dampak yang dirasakan oleh komunitas adalah terancam kehilangan sumber penghidupan. Contohnya nelayan tradisional di Teluk Sepang Kota Bengkulu. Sejak tahun 2019 hingga tahun 2022, pendapatan ikan menurun drastis. Berdasarkan data UPTD Pelabuhan Perikanan Pulau Baai Bengkulu pada 2019 produksi ikan nelayan mencapai 8,6 juta ton menjadi 7,5 juta ton pada 2020, turun menjadi 4,2 juta ton pada 2021 dan terus merosot ke angka 2,4 juta ton pada 2022.
Kondisi ini memaksa para nelayan menghentikan aktivitas melautnya dan memilih untuk mencari pekerjaan serabutan. Bekerja sebagai buruh tani, buruh nelayan, kuli bangunan hingga bekerja sebagai pembuka terpal dan bongkar batubara.
Dendi, nelayan tradisional Teluk Sepang menggantungkan hidup pada di laut. Ia mengeluhkan kondisi cuaca yang buruk dan ikan yang susah didapat.
“Dampak yang kami rasakan kami sering tekor, 1 kali melaut hanya Rp. 40.000 bahkan nol. Hal ini diperparah dengan keberadaan PLTU dan Stokpile batubara. Limbah cair dari PLTU, getaran PLTU serta air danau Teluk Sepang menjadi hitam akibat batubara mengakibatkan ikan tidak ada” katanya
Fenomena tersebut divisualisasikan oleh Kanopi Hijau Indonesia ke dalam bentuk film pendek berjudul PUNAH yang di luncurkan pada tanggal 11 April 2023.
Manager Kampanye Anti Tambang Kanopi Hijau Indonesia, Hosani Hutapea menyatakan bahwa film Punah adalah gambaran kecil dari kisah nelayan diberbagai tempat yang terdampak oleh krisis iklim.
“Dari film ini terlihat jelas bahwa Negara mengabaikan kesejahteraan hidup rakyatnya. Penguasa dan pengusaha hanya mementingkan keuntungan bisnis. Sedangkan ditingkat tapak rakyatnya tercekik penderitaan” katanya.
Hosani menegaskan solusi atas krisis iklim adalah Negara harus segera mempensiunkan PLTU batubara dan beralih ke energi yang adil dan berkelanjutan.