Kanopi Bengkulu – Pertemuan dengan Lembaga Tiga Beradik (LTB) yang dilaksanakan pada 9 Agustus 2017 bertempat di Sekretariat LTB ditujukan untuk membangun kesepahaman awal guna membangun aliansi melawan PLTU Batubara. Pertemuan ini dihadiri oleh Ketua Perkumpulan LTB, Ghusdi Warman, Kepala Program LTB, Hadi Yudha dan beberapa orang staf program.
Ketua Yayasan Kanopi, Ali Akbar, dalam paparannya mengulas tentang bagaimana Jambi selama ini memenuhi kebutuhan listriknya. Jambi yang tergabung dalam interkoneksi wilayah Sumatera Selatan, Jambi dan Bengkulu mendapatkan pasokan listrik selain dari adanya empat pembangkit lokal, juga mendapatkan pasokan dari wilayah lain seperti Sumatera Selatan dan Bengkulu.
Selain itu disampaikan bahwa berdasarkan RUPTL 2016 -2026 Jambi berencana untuk membangun 13 pembangkit. Dari 13 pembangkit itu akan menghasilkan daya sebesar 1.907 MW, jumlah daya tersebut berdasarkan asumsi peningkatan ekonomi Provinsi Jambi dengan pertumbuhan sebesar 7,54 persen.
Dari total daya yang akan di produksi tersebut, 2 x 600 MW akan dibangun dengan mendirikan pembangkit berbahan bakar batu bara. Atas dasar ini maka dipandang penting untuk melakukan serangkaian kegiatan dengan tujuan utama menghentikan rencana pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar batubara.
Mengapa PLTU batu bara harus dihentikan? Ali memaparkan bahwa dengan pendekatan peningkatan ekonomi dimana kenaikan 7,54 persen pada tahun 2026 adalah sesuatu yang ambisius dan kecil kemungkinan untuk dapat diraih, tahun 2016 saja dari target 6,06 persen hanya mampu diraih sebesar 5,5 persen. Hal ini berarti bahwa akan ada kelebihan daya yang tidak akan terpakai. Selain itu Jambi masih mempunyai sumber energy lain seperti panas bumi dan tenaga air sebagai pengganti batu bara.
Dengan pendekatan teknologi, sekarang ini hanya PLTU di Pulau Jawa yang akan menggunakan teknologi super ultra critical, sementara Sumatera masih menggunakan teknologi subcritical dan ultra critical, ini artinya polutan yang akan dilepas akan semakin besar yang bermuara kepada semakin buruknya kualitas lingkungan dan kehidupan warga.
Pada sisi yang lain PLTU Batubara adalah pembangkit yang rakus akan air, dimana untuk pembangkit sebesar 200 MW saja memerlukan 50.000 Mt air, bagaimana dengan kebutuhan air untuk pembangkit 120.000 MW? dan dengan jenis PLTU yang dibangun adalah PLTU Mulut tambang, maka dapat dipastikan bahwa akan terjadi pengalihan air sungai yang selama ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat dan penjaga kualitas lingkungan berubah menjadi uap panas yang akan digunakan sebagai pemutar turbin.
Terakhir disampaikan bahwa PLTU di beberapa negara sudah mulai ditinggalkan karena terbukti menjadi aktor utama penyebab turunnya kualitas lingkungan yang bermuara kepada turunnya kualitas hidup seperti kesehatan dan problem sosial lainnya. Namun negara yang sudah mulai meninggalkan PLTU tersebut seperti Jepang, Korea dan China, justru menjadi pemodal utama dalam bisnis pembangunan PLTU di Indonesia.
Menanggapi pemaparan Ali, Direktur LTB Ghusdi Warman menyatakan bahwa:
Melawan PLTU batubara, adalah agenda yang masih cukup baru di Jambi, artinya selama ini belum ada lembaga yang fokus menangani dampak buruk dari PLTU. Advokasi yang dilakukan selama ini untuk isu lingkungan masih bicara hutan, tambang sebagai isu utama, walaupun sekarang juga ada NGO yang juga mulai konsentrasi menjalankan isu kebakaran dan rawa gambut. Tapi semuanya masih bicara pada isu sektor hulu.
Dengan kondisi ini, maka diperlukan peningkatan pengetahuan untuk NGO sebagai modal utama dalam menjalankan advokasi melawan PLTU Batubara.
Selain itu data dan informasi valid melalui kajian dan pengumpulan data juga penting untuk dilaksanakan. Data dan informasi ini akan menjadi sumber pengetahuan dan juga menjadi alat utama dalam melakukan advokasi dan kampanye
Hal lain menurut Hadi Yudha perlu dilakukan pemantauan pada tingkat provinsi seperti Dinas ESDM tentang rencana pembangunan PLTU mulut tambang, masyarakat sipil yang ada di Jambi diharapkan mampu melakukan pemantauan dari setiap gerak mereka dalam melaksanakan pembangunan PLTU mulut tambang.
Yudha juga menyatakan bahwa bahwa hal yang dianggap ambiguitas dalam pelaksanaan PLTU mulut tambang adalah keluarnya peraturan gubernur (PERGUB) Jambi pada 2012 tentang penurunan emisi gas rumah kaca, dimana pemerintah Provinsi Jambi akan mengurangi penggunaan energi fosil dan menggalakan penggunaan energi ramah lingkungan.
Bagaimana dengan strategi kedepan? Untuk pengelolaan pengetahuan diperlukan informasi visual yang dapat berupa testimoni ataupun film kampanye yang akan menjadi alat penting untuk membangun dan menguatkan komunitas.
Selain itu membangun kontak dengan wilayah-wilayah yang diperkirakan sebagai tempat PLTU mulut tambang akan dibangun juga perlu dilakukan. Dengan adanya kontak ini akan terbangun komunikasi dialogis antara masyarakat sipil dengan komunitas.
Diskusi selanjutknya adalah melakukan tracking terhadap aktivitas PLTU mulut tambang. Pertama PLTU Samaran. PLTU ini dibangun sejak tahun 2008 dan beroperasi pada tahun 2012, pada tahun 2010 PLTU samaran belum beroperasi karena belum adanya kesepakatan antara PLN dengan pihak pembangun (PT PE)
https://sarolangunonline.com/pltu-600-mw-bakal-hadir-di-sarolangun-ce-investasi-capai-rp-36-triliun/
http://www.antaranews.com/berita/104705/pltu-samaran-sarolangun-siap-beroperasi-2009
PLTU Samaran sendiri tidak terdapat dalam daftar pembangkit listrik yang eksisting di RUPTL 2016 – 2016. Tidak diketahui mengapa hal ini tidak dicantumkan, akan tetapi diduga hal ini karena PLTU dianggap kecil (2 x 7 MW). Namun jika dilihat dari sisi jumlah batubara yang dibakar, maka minimal ada 60.000 ton batubara yang akan dibakar setiap harinya.
Selain itu, tidak ada penjelasan yang tegas mengenai teknologi yang digunakan, namun dapat dipastikan teknologi masih menggunakan teknologi konvensional yang menghasilkan abu dengan jumlah besar.
Khusus untuk lokasi tapak PLTU mulut tambang, sampai saat ini belum diketahui lokasi pembangunannya. Namun, berdasarkan lokasi penambangan batubara dan sungai yang ada, PLTU mulut tambang berkemungkinan dibangun di Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Bungo dan Kabupaten Tebo. Untuk itu perlu dilakukan pemantauan secara intensif pada wilayah ini dengan tujuan memastikan wilayah mana yang akan menjadi lokasi PLTU mulut tambang.