Skema pendanaan transisi energi global seperti Just Energy Transition Partnership (JETP), Climate Investment Funds (CIF), dan Energy Transition Mechanism (ETM) bertujuan untuk mendukung pemensiunan dini PLTU batu bara, penutupan tambang batu bara dan percepatan pengembangan energi terbarukan. Bahkan Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpes) No 112/2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

Di Indonesia wacana transisi energi justru dibelokan untuk memberikan label bersih terhadap batu bara, sebagai salah satu energi fosil penyebab krisis iklim. Kementerian ESDM, menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, tengah menyiapkan strategi dalam mereduksi emisi karbon, beberapa diantaranya yaitu pembangunan industri hilir batubara, pemanfaatan clean coal technology di pembangkit dan Carbon Capture Storage/Carbon Capture Utilization Storage (CCUS). Pemanfaatan teknologi untuk tetap menggunakan energi fosil, seperti minyak bumi, gas dan batu bara, adalah bagian dari solusi palsu.

Di Pangkalan Susu, beroperasinya PLTU Batubara diduga telah merampas ruang hidup rakyat, hasil penelitian Yayasan Srikandi Lestari di 5 Desa yaitu Desa Pulau Sembilan, Desa Seiu Siur, Desa Pintu Air, Kelurahan Beras Basa, Desa Tanjung Pasir dan Desa Lubuk Kertang dan 2 kecamatan yaitu Pangkalan Susu dan Brandan Barat, tercatat ada 3 sektor yang dampak pembakaran batubara paling merusak kehidupan masyarakat antara lain :

1. Sector Perikanan, sebanyak 659 nelayan menjadi korban menurunya mata pencaharian sebanyak 70%. Nelayan memilih menjual sampan/ perahunya menutupi hutang – hutang akibat hilangnya mata pencaharian dan merantau mencari pekerjaan lain atau menjadi penganguran. Nelayan tradisional mengaku dilarang, kejar, diancam, dilempar, di tembak oleh security PLTU ke laut untuk mengusir nelayan yang mencari ikan di sekitar dermaga PLTU batubara Pangkalan Susu. Kondisi laut tercemar akibat debu batubara yang jatuh kelaut dan pembuangan air bahang.

2. Sektor Pertanian, ada 316 orang petani yang mengelola sawah dengan luas sawah 158,36 Ha menderita gagal panen hingga menurun hanya hasil panen hingga 50 %. Banyak padi yang tumbang atau menjadi gosong serta terkena hama yang sulit diatasi. Biaya produksi yang tinggi membuat petani banyak menjual sawahnya karena pertanian tidak lagi menghasilkan penghidupan. Batubara yang dibakar di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) memancarkan sejumlah polutan seperti NOx dan SO3, kontributor utama dalam pembentukan hujan asam, yang mempengaruhi tanaman, tanah, bangunan. Hujan asam bisa mengubah komposisi tanah dan air sehingga menjadi tidak layak untuk tanaman maupun hewan.

3. Sektor Kesehatan, ada 333 orang (202 Laki-laki, 131 Perempuan), rentang usia 1 – 19 tahun berjumlah 98 orang dan 235 orang dengan rentang usia 20 – 75 tahun. tercatat ada jenis 5 penyakit tertinggi : Gatal – Gatal : 243 Kasus, Batuk / Sesak Nafas & ISPA : 42 Kasus, Hipertensi : 39 Kasus, Paru Hitam : 4 Kasus (3 Meninggal karena Paru Hitam dan 1 Paru-parunya Hancur), Kelenjar / Tiroid

4. Polusi partikel halus (PM2.5), emisi udara PLTU Batubara juga memancarkan bahan kimia berbahaya dan mematikan seperti merkuri dan arsen, sangat berbahaya bagi kelanjutan kehidupan masyarakat dan lingkungan. Kasus Kesehatan Anak : Ada 60 anak dari 5 Desa yang terdata mengalami gatal-gatal akut. Hingga saat ini anak-anak bahkan orang dewasa harus mengkonsumsi obat – obatan setiap hari agar penyakit gatal – gatal ini tidak kambuh. Sementara data penyakit yang tertinggi diderita masyarakat 5 desa Ring 1 PLTU adalah yang dikeluarkan oleh Puskesmas Beras Basa antara lain infeksi saluran pernafasan atas, peradangan dinding lambung, peningkatan tekanan darah, maag dan penyakit paru.

Kondisi ini memicu pengiat lingkungan mendorong pemerintah memensiunkan PLTU Batubara Pangkalan Susu, selain karena dampak kondisi lingkungan yang telah rusak, juga karena beberapa sistem ketenagalistrikan di Indonesia kelebihan pasokan (oversupply). Solusi palsu merupakan sumber energi yang tidak terbarukan dan berisiko sebagai energi baru yang tertulis dalam perundangundangan Indonesia, seperti pencairan batu bara, gasifikasi batu bara, nuklir, sampai hidrogen yang berbahan dasar fosil. Sumiati Surbakti menyatakan “Anak-anak kita di Pangkalan Susu telah di racun sejak kecil, tidak hanya itu, ribuan masyarakat menderita ISPA di semester I, Juni tahun 2022, untuk apa proyek strategis nasional jika merampas ruang hidup rakyat, kami menginginkan PLTU Batubara segera di Pensiunkan untuk mengakhiri penderitaan masyarakat Pangkalan Susu”.

Mita Lumban Gaol, “Telah terjadi perubahan iklim, saat ini kami kepanasan, air pasang maka kami kebanjiran dan limbah batubara berserakan di mana-mana, Padi kami tumbang, batang gosong, kami merugi. Pestisida dan dan pupuk mahal dan jarang kami temukan. Udang kami memerah dan mengambang bahkan tidak sempat di panen, Saya sendiri mengalami sesak nafas dan gatal-gatal dan batuk, banyak warga yang tubuhnya menderita benjolan”.

Patonah, menyampaikan “Kami ingin udara sehat, mata pencaharian kami tidak mati. kembalikan lingkungan bersih kami, sebagaimana sebelum ada udara bersih kami, sebelum ada PLTU kami tidak kekurangan. Kami tidak kelaparan,, tolong bantu kami agar perjuangan kami bisa didengarkan.

Ashov menyatakan “Dampak negatif bagi kehidupan sosial, lingkungan dan ekonomi lokal yang terjadi di PLTU Pangkalan Susu adalah potret dari dampak buruk operasi industri batubara di Indonesia. Di tengah negosiasi dan menjelang kesepakatan pendanaan untuk transisi energi di Indonesia dalam momentum COP27 dan G20, sangatlah penting bahwa dampak-dampak seperti yang terjadi di PLTU Pangkalan Susu diperhitungkan dan dipastikan untuk dipulihkan. Sangatlah penting juga untuk membuka ruang partisipasi publik, terutama komunitas terdampak dalam kebijakan pemensiunan dini PLTU batubara. Tanpa kedua hal tersebut, transisi energi yang berkeadilan tidak mungkin diwujudkan.

Wina Khairina, menyatakan “Peristiwa krisis ekologis di Sumatera Utara belum dianggab sebagai peringatan dini bagi perubahan iklim yang ekstrim. Kasus-kasus konflik pada industri ekstraktif vs pemerintah daerah di Sumatera Utara memperlihatkan bahwa pembagunan berbasis hak dengan melibatkan masyarakat lokal, masyarakat adat dan kelompok kepentingan masih abai di lakukan, Peran TNCs di Sumatera Utara masih belum berperspektif HAM dan masih belum melibatkan masyarakat terdampak di setiap level proses industri ekstraktifnya, Energi fosil.Batubara PLTU di Pangkalan Susu telah mengkhawatirkan kesehatan publik masyarakat lokal dan kawasan di sekitar industri hilir tersebut. Mendesak untuk dihentikan segera dengan mempertimbangkan kesehatan publik”.

M F Rosiy, menyatakan “”Secara bersama-sama kita harus menyampaikan suatu kebenaran (tell the truth) –termasuk dari Pemerintah dan media– kepada publik terkait bagaimana kondisi kita saat ini yang terdampak krisis iklim, khususnya mereka yang terdampak di tapak atau mereka yang tinggal dekat dengan sumber polusi, seperti penambangan dan pembangkit listrik. Kita juga harus melakukan suatu tindakan (act now) mengantisipasi bahaya atau dampak yang berkelanjutan, berbicara tentang krisis iklim ini adalah suatu permasalahan ketidakadilan antar generasi.

Aksi nirkekerasan dapat menjadi suatu alternatif yang dilakukan untuk menaikkan perhatian masyarakat lebih luas lagi. Saya sangat berterima kasih dengan perjuangan teman-teman perempuan, ibu-ibu yang semangat mempertahankan haknya untuk hidup. Ke depannya semoga menjadi perhatian bagi para pemangku jabatan untuk tidak meneruskan solusi palsu –solusi yang masih dapat menjadi masalah baru di kemudian hari.”

Mhd Ali Nafiah, menyatakan “Indonesia butuh energy, namun karena PLTU Batubara merupakan proyek strategi nasional yang memiskinkan masyarakat, namun saat kami melakukan advokasi tidak didengar. Kedaulatan di tangan rakyat juga tidak ada, ini berdasarkan UUD 1945, kami tidak bisa menyampaikan pendapat, dan ini merupakan pelanggaran hukum, namun militer dan apparat penegak hukum pada akhirnya mengawal korporasi dan melakukan pembatasan HAM. Hilangnya mata pencaharian masyarakat akan berdampak pada meningkatnya kriminalitas karena masyarakat tidak punya kebutuhan hidupnya”.

Oleh karena itu kami menuntut Pemerintah untuk memperhatikan beberapa hal yaitu :

1. Mendesak pemerintah Indonesia mempensiunkan dini PLTU Batubara Pangkalan Susu dan segera beralih ke energy bersih terbarukan yang ramah lingkungan dan berkeadilan.

2. Menolak semua pendanaan terhadap solusi palsu transisi energi. seperti seperti gas bumi, semua bentuk co-firing batubara, nuklir, penerapan carbon capture and storage pada PLTU batubara, hilirisasi batubara.

3. Melakukan pemulihan terhadap kerusakan baik lingkungan, pemulihan Kesehatan, pemulihan sector pertanian dan pemulihan sector perikanan yang diakibatkan pembakaran batubara di Pangkalan Susu.

4. Menghentikan segala bentuk pelanggaran HAM yang diakibatkan industri ekstraktif.