Menyambut Hari Perempuan Sedunia yang jatuh pada 8 Maret, Kanopi akan mengulas kaitan perempuan dan batu bara. Bagaimana perempuan dipaksa berurusan dengan batu bara. Seperti diketahui, batu bara baik di hulu dan hilir adalah sumber malapetaka.
Ketiadaan pilihan kerja dan kondisi ekologi yang semakin krisis membuat perempuan harus berurusan dengan batu bara. Pemilah batu bara di area “stockpile” Pelabuhan Pulau Baai, Kota Bengkulu misalnya setiap hari berjibaku dengan debu batu bara dengan upah Rp45-50 ribu per hari.

Mereka bekerja tanpa dilengkapi alat pelindung diri yang standar. Padahal batu bara bila terhirup dalam jangka lama akan menyebabkan penyakit paru-paru hitam atau pneumoconiosis.

Ini sepenggal kisah mereka para perempuan pemilah batu bara

Ibu Nurhikma kurang lebih 6 tahun bekerja memilah batu bara di area penumpukan batu bara di Pulau Baai. Banyak sekali keluh kesah sebagai pekerja hingga naik “pangkat” sebagai mangor saat ini. “Setiap hari berkecimpung dengan air bercampur batu bara. Ibu-ibu di sini sampai dua kali berganti pakaian karna basah dan kotor,” ucap Bu Nurhikma. Ibo Nurhikma dan ratusan pekerja lainnya selama ini hanya menggunakan alat pelindung diri seadanya yang tidak mampu membendung batu bara masuk melalui mulut dan hidung. Kesan pertama memakai masker itu sedikit mual tetapi sekarang merasa aman kalo bernafas setelah pulang bekerja.

Ibu Miswati sudah 8 tahun bekerja sebagai pemilah batu bara yang sudah beberapa kali pindah lokasi kerja tetap saja membeli alat pelindung diri sendiri demi melindungi kesehatan. Selama ini masker yang digunakan untuk menutup hidung dan mullet berupa kain serbet. Kesan pertama memakai masker lemas karna kekurangan oksigen tetapi lama kelamaan pernafasan membaik dan sudah mulai terbiasa.

Ibu Lia bekerja mengangkut batu napal yang sudah dipisahkan dari batu bara. Ia sudah menjalani pekerjaannya selama lima tahun. Kesan pertama memakai masker standar sedikit pusing tapi kemudia terbiasa dan nyaman.