Kanopi – Penambangan batu bara tertua di Provinsi Bengkulu terdapat di Kecamatan Taba Penanjung Kabupaten Bengkulu Tengah yang sebelumnya menginduk ke Kabupaten Bengkulu Utara. Pertambangan batu bara pertama mengeruk isi perut bumi di wilayah ini pada 1983.

Setelah 35 tahun eksploitasi pertambangan batu bara di daerah ini, masyarakat sadar bahwa mereka tidak mendapatkan apa-apa. Yang tersisa hanya limbah batu bara yang merusak bahkan mematikan Sungai Kemumu hingga ke Sungai Air Bengkulu. Ekosistem yang luluh lantak selama puluhan tahun seolah tak ada harapan untuk dipulihkan.

Kepala daerah yang diharapkan menjadi pengelola atau semacam manajer suatu wilayah pun tak mampu menyelesaikan persoalan yang ada. Pergantian pemimpin ke pemimpin berikutnya tidak memberikan solusi apa-apa atas krisis lingkungan ini.

Masalah ini tidak berhenti pada wilayah Bengkulu Tengah, sebab wilayah Kota Bengkulu sebagai daerah hilir pun ikut dirugikan dengan eksploitasi hulu ini. Sungai Air Bengkulu yang dipenuhi butiran halus batu bara harus “dinikmati” warga Kota Bengkulu melalui saluran pipa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) ke setidaknya 6.000 rumah pelanggan.

Tidak hanya mengalir ke bak-bak rumah warga kota, air sungai yang membawa butiran batu bara itu pun berakhir di lautan luas melalui muara Sungai Air Bengkulu. Banyak kepala keluarga nelayan yang sebelumnya berprofesi menjaring ikan kini beralih menjadi pengumpul limbah batu bara yang dijual dengan harga yang dikendalikan pedagang pengumpul atau toke.

Kondisi memprihatinkan ini juga tak mampu diselesaikan oleh kepala daerah yang terpilih melalui agenda elektoral sekali lilma tahun. Rakyat tentu menumpukan harapan pada mereka yang dipercaya mengemban amanah untuk mengurai persoalan yang dihadapi masyarakat, termasuk soal bencana di Sungai Bengkulu.

Kini momentum elektoral kembali hadir di Kota Bengkulu. Ada empat pasangan calon kepala daerah wali kota dan wakil wali kota yang berani maju sebagai pemimpin. Lalu, bagaimana suara masyarakat di hulu, area penambangan batu bara terhadap momen elektoral Kota Bengkulu? Berikut suara mereka ;

1. Desa Penanding :

Minggu, 29 April 2018 melihat langsung Sungai Air Bengkulu di Desa Penanding, Kabupaten Bengkulu Tengah yang tercemar oleh batu bara. Puluhan warga sedang mengambil batu bara di dalam badan sungai. Warga Penanding kerap menyebut aliran sungai tersebut dengan nama Muara Tiga sebab merupakan pertemuan tiga aliran sungai yakni Sungai Rindu Hati, Kemumu, dan Penawai. Dari penuturan warga, limbah batu bara yang terdapat di sungai itu sebagian besar dibawa aliran Sungai Kemumu.

Sebelum dicemari batu bara, air sungai dimanfaatkan untuk kebutuhan air minum, mencuci, mandi dan lainnya. Masyarakat juga memanen isi sungai berupa ikan dan udang. Namun, masa itu sudah berlalu sebab kini sungai telah dicemari batu bara. Jangankan untuk air minum, untuk mandi saja air sungai tak bisa lagi diandalkan. “Masuk kedalam sungai saat ini badan sudah gatal-gatal, terkena penyakit kulit. Kalau bisa memilih, masyarakat lebih pilih sungai yang masih bagus dan jernih dulu,” kata Romsi, warga Penanding.

Batu bara yang dikumpulkan dijual dengan sistem karungan dengan harga 10-15 ribu/karung. Rata-rata per orang bisa mengumpulkan 12 karung/hari. Batu bara itu harus dijual ke seorang pria bernama Bebi yang mengaku sebagai pemilik batu bara dan beralasan bahwa batu bara yang diambil masyarakat dari dalam sungai berasal dari pertambangan miliknya.

Pesan : Pilihlah walikota yang tidak dibiayai oleh pihak pertambangan

2. Desa Taba Teret

Setelah dua anak Sungai Air Bengkulu yakni Kemumu dan Penawai hancur lebur, pertambangan pun kini mengancam Sungai Rindu Hati dan Susup yang menjadi andalan masyarakat untuk mendapatkan sumber air bersih. Pengerukan batu bara di hulu Bukit Ndu Besar dan Ndu Kecil berimbas pada lima desa di sekitarnya yakni Desa Taba Teret, Taba Baru, Rindu Hati, Surau, dan Tanjung Heran. Warga lima desa ini telah merawat hutan tersebut turun temurun karena mengetahui fungsinya sebagai mata air.

Kondisi ini membuat masyarakat lima desa mempertanyakan pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan kepada perusahaan pertambangan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Merekapun menggugat izin tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Bengkulu.

“Sudah berpuluh tahun pertambangan ada di Bengkulu Tengah, tapi yang kami rasakan hanya limbah, limbah dan limbah,” kata mantan Kepala Desa Taba Teret, Fahid Alfisah.

3. Desa Taba Lagan :

Kepulan debu dari jalanan menjadi makanan sehari-hari warga Desa Taba Lagan, Bengkulu Tengah. Jalan yang membelah desa ini merupakan jalan provinsi yang setiap hari dilintasi truk batu bara. Menurut penuturan warga, jalan tersebut cukup sering diperbaiki namun hanya bertahan satu hingga tiga bulan, kemudian rusak lagi karena beban truk yang melintas melebihi tonase dan kualitas jalan yang dibangun diduga tidak sesuai spek.

Selain itu juga warga juga was-was karena sopir truk yang ugal-ugalan. Dulu pernah warga akan menutupi jalan berlobang dengan tanah tapi truk yang lewat tetap saja ugal-ugalan tanpa berhenti. Akhirnya warga tidak mau lagi menutup lobang yang ada. Akibatnya banyak debu dan kecelakaaan juga sering terjadi. Truk yang berlalu lalang hampir setiap menit siang dan malam hari. Saat magrib banyak sekali truk yang lewat. Suara bising yang meresahkan warga desa.

“Suatu daerah kalau mau maju memang harus banyak pengorbanan tapi jangan merugikan masyarakat terlampau banyak,” kata Kepala Desa Taba Lagan, Otto Kemri.

4. Desa Lagan Bungin :

Desa ini juga dilewati angkutan batu bara. Menurut penuturan warga debu batu bara masuk rumah sampai ke dapur. Debu dari angkutan batu bara membuat dalam sehari perlu dua sampai tiga kali membersihkan rumah. “Jadi bukan makan nasi melainkan makan debu batu bara sampai banyak anak kecil yang muntah darah,” kata Mitra Yanti, warga setempat.

Hampir semua truk bermuatan melebihi tonase yang membuat batu bara berceceran di jalan. Otomatis saat musim kemarau debu merajalela. Pihak perusahan hanya menyiram jalan di daerah tertentu. Di Lagan Bungin tidak ada penyiraman dengan alasan jalan sudah diaspal, padahal debu masih tetap banyak.