Oleh : Suarli Sarim

Kanopi – Jarum jam menunjuk pukul 06:12 WIB, artinya sudah 15 jam kami di sini. Sebagian teman-teman masih tertidur pulas dan sebagian lagi menikmati angin sepoi juga sunrise (matahari terbit). Saya dan ketiga teman lain menikmati pagi ditemani kopi hangat, lalu kami berinisiatif berkeliling pantai Teluk Sepang, menikmati panorama tebaran sayur mayur yang luas dan dirawat oleh petani Kelurahan Teluk Sepang, di sudut Kota Bengkulu.

Jenis sayuran yang dibudidaya oleh warga mulai dari cabe, pare, timun, kangkung, bayam, sawi, terong, bawang, katu, kacang panjang, jagung, kacang rambat, buncis, dan jenis-jenis sayuran lainnya.

Awalnya hanya berkeliling, tapi perjalanan kami terhenti ketika melihat salah satu petani sedang memetik timun berkarung-karung. Kami pun menghampiri dan memperkenalkan diri. “Saya biasa disapa Pak Ulum,” begitu jawaban perkenalan dari Pak Ulum di perjumpaan kami pagi itu. Pria beranak dua itu mengajak kami menuju pondok sederhana dari papan yang menjadi tempat tinggal bersama istri dan anak-anaknya.

Dari penuturan Pak Ulum, warga yang berkebun sayuran di lokasi itu sudah cukup lama menggarap lahan yang merupakan milik PT Pelindo II Bengkulu. Ada yang sudah bertani selama 3, 7 bahkan ada yang sudah 10 tahun.

“Memang lahan ini milik Pelindo, kami hanya ingin menopang hidup di lahan ini, dan kami tidak mau kalau lahan ini di gusur oleh PLTU,” ungkap Pak Ulum sambil menunjuk satu cerobong asap yang sudah berdiri tidak jauh dari kebunnya.

Menurut Pak Ulum, ia sudah sering didatangi orang yang tak dikenalnya dan meminta mereka meninggalkan lahan itu. Namun, Pak Ulum dan keluarganya masih bertahan.

Di tempat yang lain kami menjumpai Pak Mulkan, juga petani cabe di wilayah tersebut. Menurut Pak Mulkan, aktivitas konstruksi PLTU batu bara mulai memberikan dampak bagi petani di wilayah itu.

“Sekarang saja dengan aktivitas pembangunan PLTU ini sudah sangat panas dan debu dari sana berhembus ke kebun kami, bayangkan kalau nanti itu debu batu bara, bakal mati semua tanaman kami ini,” ungkapnya menyampaikan kekhawatiran.

Pembangkit berbahan bakar batu bara Teluk Sepang berkapasitas 2 x 100 Megawatt sedang dalam tahap konstruksi. Lokasi pembangkit hanya puluhan meter dari hamparan kebun petani palawija yang selama ini menopang hidup dari tanaman muda yang mereka budidaya.

Bila PLTU batu bara itu beroperasi, dapat dibayangkan dampak yang akan diterima masyarakat yang bertani di sekitar lokasi itu. Sebab, pembakaran PLTU mengandung polutan beracun dan senyawa kimia SO2 dan NOx pembentuk hujan asam. Emisi SO2 dan NOx yang berlebihan akan membentuk asam sulfat dan asam nitrat di atmosfer. Asam-asam inilah yang membuat penurunan kadar pH dalam hujan.

Istilah hujan asam pertama kali digunakan oleh Robert Angus Smith pada 1872 pada bukunya “Air and Rain: The Beginnings of Chemical Technology“. Hujan dikatakan hujan asam ketika air hujan itu memiliki ph dibawah 5,6. Mengapa kadar ph nya bisa lebih kecil dari 5,6 itu dikarenakan emisi gas SO2 dan NOx membuat kadar pH hujan lebih kecil dari 5,6.

Hujan asam akan melarutkan kalsium, potasium dan nutrien lain yang berada dalam tanah. Akibatnya tanah menjadi kurang subur dan tanaman mati. Hujan asam juga menghancurkan jaringan tumbuhan dan mengganggu pertumbuhan tanaman. Beberapa akibatnya adalah lapisan lilin pada daun rusak sehingga nutrisi menghilang sehingga tanaman tidak tahan terhadap keadaan dingin, jamur dan serangga. Pertumbuhan akar menjadi lambat sehingga lebih sedikit nutrisi yang bisa diambil, dan mineral-mineral penting menjadi hilang.

Berikutnya, hujan asam juga menyebabkan pH air turun di bawah normal sehingga ekosistem air terganggu. Beberapa akibatnya adalah berkurangnya populasi ikan di danau-danau, menghambat produksi enzim dari larva ikan, dan beberapa ikan mengeluarkan lendir berlebihan di sekitar insangnya sehingga ikan sulit bernapas.

Ini hanya sedikit dari dampak hujan asam . Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi pada dunia bila PLTU produsen senyawa kimia pembentuk hujan asam terus dikembangkan. Produktivitas lahan pertanian yang menurun jadi ancaman kekurangan bahan makanan.