Kanopi Hijau Indonesia pada Kamis (12/11) merilis laporan publik hasil pemantauan aktivitas PLTU batubara Teluk Sepang yang berkapasitas 2×100 Megawatt berdasarkan pemantauan periode Juli hingga November 2020. Laporan publik tersebut disiarkan langsung lewat kanal media sosial facebook dan youtube Kanopi Bengkulu.
Dalam laporan itu, sejumlah fakta pelanggaran terkuak, salah satunya ketidakpatuhan kegiatan operasional PLTU yang telah dijelaskan dalam dokumen Adendum Andal dan dokumen RKL-RPL.
Dokumen Adendum Andal adalah perubahan dokumen Andal terdahulu, yang dibuat oleh perusahaan, berisi tentang dampak penting dari aktivitas PLTU serta upaya penanganan dampak terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan serta pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak akibat dari rencana usaha dan/atau kegiatan.
Olan Sahayu Manajer Kempanye Kanopi Hijau Indonesia saat menyampaikan laporan publik tersebut mengatakan ketidakpatuhan praktik lapangan dengan dokumen Adendum Andal itu, yakni pada Bab II-47 yang tertulis bahwa batubara dari kapal diturunkan ke dermaga/jetty, kemudian dibawa menuju inactive coal yard stock (tempat penumpukan batu bara) menggunakan konveyor (sistem untuk memindahkan batubara) jenis idler roll belt conveyor (sabuk pengangkut statis) dengan kapasitas sebesar 200 ton per hari. Batubara ditumpuk hingga 82 ribu ton yang dapat memenuhi kebutuhan untuk pengoprasian PLTU selama 30 hari.
“Namun dari temuan kami, batubara itu juga dipasok menggunakan jalur darat,” kata Olan.
Begitu juga dalam proses pengangkutan abu sisa pembakaran batu bara, dalam Adendum Andal RKL – RPL Bab V-13 tertulis bak truk yang digunakan pengangkutan abu dari PLTU ke tempat penumpukan dan penyimpanan abu dasar dan abu terbang harus tertutup. Namun temuan tim Kanopi di lapangan, bak truk untuk pengangkutan abu tidak ditutup.
“Begitu juga pada pagar pembuangan abu yang diatur Bab V-14 poin 5, tertulis PLTU memagar tempat penumpukan dan penyimpanan sementara abu dasar dan abu terbang dengan tembok beton setinggi minimal 2 meter, fakta kami jumpai tanpa memiliki pagar,” tegas Olan.
Menurutnya, tanpa pagar pengaman tersebut tentu abu yang tergolong limbah B3 berpotensi mencemari lingkungan sekitar terutama laut, apalagi jika terjadi tiupan angin kencang atau badai, maka abu akan terbang ke arah laut yang jaraknya sangat dekat dengan kolam penyimpanan abu tersebut.
Seperti diketahui, abu sisa pembakaran batubara mengandung logam berat yang berbahaya seperti arsenik, nikel, krom, timbal, dan merkuri yang akan mengakibatkan dampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan. Logam berat tersebut apabila masuk ke dalam tubuh manusia dan terakumulasi sampai beberapa tahun dan terjadi penumpukan di paru-paru, dapat mengakibatkan penyakit anemia, ginjal, dan kanker.
Begitu juga tempat penumpukan dan pembuangan abu, dalam andal Bab V-14 poin 4 tertulis membangun tempat penumpukan dan penyimpanan abu dasar dan abu terbang di tapak PLTU di bawah permukaan tanah dengan kedalaman 3-5 meter. Kapasitas tampung tempat penumpukan dan penyimpanan tersebut harus cukup untuk menampung abu dasar (bottom ash) dan abu terbang (fly ash) minimal 250.000 ton. Konstruksi tempat penumpukan dan penyimpanan ini juga disebutkan dalam Andal harus kedap air.
Fakta di lapangan, dari temuan Kanopi, lokasi tempat penumpukan abu dasar dan abu terbang teridentifikasi seluas kurang lebih 3,32 hektar dengan kedalaman kolam 3-5 meter yang dilapisi dengan plastik (terpal) yang belum diketahui jenisnya,
“Sehingga belum bisa dipastikan apakah plastik tersebut bisa menahan air tirisan merembes ke tanah atau tidak,” tutur Olan.
Air tirisan dari abu sisa pembakaran batu bara tersebut mengandung logam berat yang berbahaya bagi ekosistem laut. Logam berat dari air tirisan seperti arsen, merkuri, selenium, timbal, kadmium, boron, bromida, nitrogen, dan fosfor.
Atas banyaknya pelanggaran itu, Olan mempertanyakan keseriusan pihak pengelola PLTU Teluk Sepang, yakni PT Tenaga Listrik Bengkulu (PT TLB) atas komitmennya yang terterah dalam dokumen Adendum Andal dan RKL-RPL.
“Banyak sekali aturan yang mereka tidak patuhi, harusnya pihak DLHK Bengkulu menindak tegas,” kata Olan.
Dorongan supaya DLHK Bengkulu untuk bertindak tegas juga disuarakan Raynaldo Sembiring Direktur ICEL Indonesia yang merupakan penanggap laporan publik ini. Menurutnya, sudah saatnya Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) berani membekukan izin lingkungan PT TLB.
“Laporan ini sudah jelas, apalagi sebelumnya Ombudsman RI sudah mengirim surat rekomendasi pembekuan Surat Izin Lingkungan kepada DLHK Bengkulu. Harusnya ditindaklanjuti dong,” katanya.
Surat rekomendasi Ombusman RI itu berlandaskan pelanggaran pembangunan PLTU yang tidak sesuai dengan RTRW bengkulu.
Raynaldo juga mendorong pembentukan forum publik untuk membahas temuan bahan/bukti ini. “Forum itu harus mendiskusikan hasil pemantauan pelaksanaan PLTU yang mengacu kepada dokumen adendum andal.”
Regulasi terkait membentuk tim pemantauan independen itu bukan tanpa landasan, dalam UU Keterbukaan Informasi Publik UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 65, dijelaskan hak masyarakat untuk berpartisipasi terkait informasi publik.
Ketua Pansus Raperda PPLH DPRD Provinsi Bengkulu, Usin Abdisyah Putra Sembiring SH juga menimpali bahwa manajemen proyek PLTU terlalu sering melakukan pelanggaran, seperti melanggar perda RTRW hingga proses pencemaran lingkungan lainnya.
Dia juga meminta masyarakat mengirimkan laporan pelanggaran kepada Ketua DPRD Bengkulu serta fraksi-fraksi di DPRD, sehingga partai yang merupakan representasi masyarakat dapat mengawal persoalan lingkungan ini.
“Bila pelanggaran terjadi, sekali lalu diperingati mengaku khilaf, maka itu normal. Namun jika pelanggaran dilakukan berulang-ulang, maka itu kejahatan,” tegas Usin.