Oleh Karyawanto
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 16 jam menggunakan kendaraan umum dengan tiga kali transit, saya tiba di Desa Simpang Bayat Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan. Saya menemui Made Ardite, seorang kenalan yang dikenalkan teman. Dari Desa Simpang Bayat, saya diantar ke Desa Sindang Marga, tempat Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara Bayung Lencir berdiri.
Hari itu, 12 Januari 2018 saya tiba di Desa Simpang Bayat. Made Ardite berbaik hati mengantarkan saya ke Desa Sindang Marga sekitar 20 kilometer dari Simpang Bayat. Tujuan pertama kami adalah rumah kepala desa Sindang Marga. Namun sayang, kades sedang ada urusan di Kota Jambi. Sekdes pun demikian, tak ada di tempat karena sedang keluar daerah.
Kami pun bertemu Kepala Urusan (Kaur) Keuangan, Pak Yusri dan menyampaikan maksud serta tujuan ke Sindang Marga. Pak Yusri menerima dengan baik dan meminta esok hari datang lagi untuk bertemu Kades atau Sekdes. Benar saja, keesokan harinya kami kembali ke Sindang Marga dan bertemu dengan Sekdes, Pak Buyung.
Orangnya cukup ramah. Dengan tangan terbuka, Pak Buyung menerima saya dari Kanopi untuk melakukan semacam riset atau penelitian berhubungan dengan keberadaan PLTU batu bara di Sindang Marga. Akhirnya saya menetap selama beberapa hari di desa itu dan tinggal di masjid desa setempat.
Hari berikutnya, saya mulai berkeliling desa dan menemui sejumlah warga untuk mengetahui keberadaan PLTU batu bara dan dampaknya terhadap kehidupan warga. Secara umum, masyarakat Sindang Marga cukup terbuka dengan pertanyaan dan keingintahuan saya tentang PLTU Bayung Lencir. Namun, sayangnya, sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh dari warga tentang keberadaan PLTU milik PT Sinar Mas itu.
Apalagi, sangat sedikit warga yang bekerja di pembangkit listrik tersebut. Anton misalnya, yang pernah bekerja sebagai buruh kasar di PLTU Bayung Lencir mengatakan area itu sangat tertutup bagi masyarakat umum. “Sangat sulit masuk ke lokasi PLTU, harus lengkap surat izin dengan maksud dan tujuan yang jelas,” kata Anton.
PLTU Batu bara Bayung Lencir
Proyek PLTU batu bara mulut tambang Bayung Lencir berkapasitas 2 X 150 Megawatt berlokasi di Desa Sindang Marga Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Pembangkit ini dibangun oleh PT Dian Swastika Sentosa Power (DSSP) Sumsel yang merupakan anak perusahaan PT Sinarmas yang bergerak di bidang energi dan infrastruktur. Pembangunan tapak dimulai pada Mei 2013 pengoperasiannya dimulai pada awal 2017.
Proyek milik perusahaan pengembang swasta (Independent Power Producer/IPP) grup Sinarmas ini akan memasok listrik ke PLN melalui skema Build, Own, Operate, and Transfer (BOOT) selama 25 tahun berdasarkan Power Purchase Agreement (PPA) yang ditandatangani pada 3 November 2011.
Untuk membangun pembangkit ini, PT DSSP mendapatkan komitmen pinjaman dari China Development Bank senilai US$ 318 juta dolar. Pinjaman tersebut juga digunakan untuk membeli mesin dan peralatan dari China National Electric Engineering Co. Ltd. Nilai keseluruhan proyek ini mencapai lebih dari US$ 400 juta.
Batu bara yang dibakar sebanyak 3.000 to per hari untuk memutar turbin dipasok oleh PT Mangala Alam Lestari, berjarak dua kilometer dari tapak PLTU.
Kesaksian Warga
Kehadiran PLTU Bayung Lencir yang hanya berjarak lima kilometer dari permukiman warga Desa Sindang Marga telah memunculkan beragam persepsi. Menurut Ketua RT 05, Suratman kehadiran PLTU di wilayah itu tanpa konflik berarti, bahkan warga terkesan kurang informasi tentang dampak baik dan buruk PLTU batu bara itu. Lahan tapak PLTU menurut Suratman adalah lahan karet warga yang dibeli perusahaan seluas 100 hektare dengan harga Rp60 juta per hektare.
Kurangnya informasi yang diperoleh warga ditegaskan Slamet, yang menyebutkan tidak ada sosialisasi sama sekali kepada masyarakat tentang proyek pembangkit listrik itu, terutama dampak lingkungannya. Lalu, sejak pengoperasian PLTU tersebut, persoalan kesehatan muncul di tengah-tengah masyarakat. Sejumlah anak-anak menderita penyakit kulit. Meski belum diketahui kaitan antara PLTU batu bara dan persoalan kesehatan yang dialami sejumlah anak-anak tersebut.
Ibu tiga orang anak, Herlina (31th) mengatakan ketiga anaknya menderita penyakit kulit selama tiga bulan tak sembuh-sembuh meski sudah dibawa berobat ke Puskesmas.“Sebelum PLTU beroperasi tidak pernah kena penyakit gatal-gatal seperti sekarang ini,” kata Herlina. Kondisi serupa juga dialami ketiga anak Ibu Relin (33 th). Anaknya bernama Depin (4th), Eci (9th) serta Desti (1 tahun 3 bulan) mengalami penyakit kulit gatal-gatal selama hampir 8 bulan. “Sudah sering disuntik di bidan Puskesmas tapi tidak juga sembuh-sembuh. Sebelum berorasinya PLTU tidak pernah sakit gatal-gatal,” kata Relin. Untuk menjawab persoalan kesehatan yang menimpa anak-anak di desa itu, perlu dilakukan kajian lebih lanjut, untuk mengetahui penyebab utamanya sehingga penderitaan mereka berakhir.
Selain masalah kesehatan, kehadiran PLTU batu bara dan industri ektraktif pertambangan batu bara telah mengubah struktur sosial ekonomi masyarakat Desa Sindang Marga. Banyak lahan perkebunan masyarakat yang di jual ke perusahan, seperti perkebunan karet yang merupakan penghasilan utama masyarakat. Di bawah lahan kebun karet itu terdapat sumber daya batu bara yang berpotensi dikeruk untuk dibakar PLTU. Kondisi ini membuat perubahan mata pencarian masyarakat dari pemilik lahan karet menjadi buruh sejumlah perusahaan baik tambang maupun hutan tanaman industri.
Berdasarkan keterangan tokoh masyarakat setempat, Haji Totok, tingkat kejahatan dan kriminalitas di wilayah it uterus meningkat. Perlu dikaji lebih lanjut tentang perubahan pola sosial ekonomi dan tindak kejahatan yang muncul, sebab akar kejahatan seringkali diakibatkan oleh kemiskinan.