Sejumlah aktivis dari Koalisi Langit Biru Bengkulu dengan mengikuti protokol kesehatan Covid19 menggelar teatrikal sebagai aksi protes terkait penghapusan Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dari kategori Limbah Bahan Berbahaya Beracun (LB3). Hal ini ditujukan ke pemerintah untuk menggambarkan bahaya limbah batubara yang selama ini menghantui masyarakat yang tinggal di sekitar PLTU. Aksi ini merupakan bagian dari aksi serentak #BersihkanIndonesia yang juga dilakukan di beberapa daerah seperti di Padang, Pekan Baru, Cilacap, Kaltim, Banten, dan Jakarta.
Presiden Joko Widodo menghapus limbah batubara hasil pembakaran yaitu Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dari kategori Limbah Bahan Berbahaya Beracun (LB3). Hal ini tertuang dalam peraturan turunan UU Cipta Kerja yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.[1] Keputusan yang berpihak pada industri energi kotor batubara ini adalah kabar buruk bagi lingkungan hidup, kesehatan masyarakat, dan masa depan transisi energi bersih terbarukan nasional.
Penetapan aturan ini tidak terlepas dari desakan simultan sejak pertengahan tahun 2020 oleh Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) termasuk Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI-ICMA) yang menjadi bagian di dalamnya.
Budi Franata selaku kordinator aksi mengatakan bahwa aksi yang dilakukan adalah bentuk kritikan kepada Presiden Jokowi yang telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang justru tidak berpihak terhadap keselamatan lingkungan.
“Yang kami takutkan apabila hal ini tidak menjadi perhatian oleh pemerintah maka akan menimbulkan dampak buruk yang luar biasa untuk kehidupan kami di masa yang akan datang. Masih berstatus limbah B3 saja kami sudah merasakan dampak yang sangat buruk dan merusak lingkungan di sekitar kami” katanya.
Upaya masif oligarki batubara ini dimulai dari revisi UU Minerba, UU Omnibus Law Cipta Kerja, proyek hilirisasi batubara yang berusaha membajak RUU EBT, dan sekarang dengan menghapus limbah FABA dari jenis limbah B3. Kebijakan demi kebijakan ini hanya bertujuan agar industri energi kotor batubara dapat terus mengeruk untung berganda.
Dihapusnya FABA dari daftar limbah B3 adalah keputusan bermasalah dan berbahaya. Batubara mengandung berbagai jenis unsur racun termasuk logam berat dan radioaktif. Ketika batubara dibakar di pembangkit listrik, maka unsur beracun ini terkonsentrasi pada hasil pembakarannya yakni abu terbang dan abu padat (FABA). Ketika FABA berinteraksi dengan air, unsur beracun ini dapat terlindikan secara perlahan, termasuk arsenik, boron, kadmium, hexavalent kromium, timbal, merkuri, radium, selenium, dan thallium ke badan lingkungan.
“Undang-undang menjamin hak hidup layak dan sehat untuk setiap orang, tapi mengapa rakyat kecil yang selalu dirampas haknya. Abu sisa pembakaran atau lebih dikenal dengan FABA diberi kebebasan untuk membunuh rakyat. Padahal sudah banyak korban jiwa, jangan sampai korban ini bertambah” kata Harianto dari Teluk Sepang salah seorang anggota Koalisi.
Banyak laporan dan fakta atas terjadinya perubahan dan penurunan kondisi lingkungan dan kesehatan warga di sekitar PLTU. Seperti yang dialami warga dan petani di Mpanau Sulawesi Tengah, Cilacap Jawa Tengah, Indramayu dan Cirebon Jawa Barat, Celukan Bawang Bali, Ombilin Sumatera Barat, Muara Maung dan Muara Enim Sumatera Selatan, dan Suralaya Banten[3].
Derita serupa juga dialami warga di banyak kampung di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, termasuk di Morowali Sulawesi Tengah, dimana terdapat smelter nikel, PLTU mulut tambang dan kawasan industri yang listriknya berasal dari batubara.
Di Kabupaten Lahat, Sumatera Selatan tepatnya di PLTU batu bara Keban Agung, pengelolaan abu sisa pembakaran dibuang sembarangan yaitu ke dalam bekas lubang tambang eks PT MNP. Perusahaan sudah mendapatkan sanksi administratif paksaan pemerintah oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Provinsi Sumatera Selatan. Namun sampai saat ini, abu tersebut masih di dalam tanah dan meracuni tanah dan sungai Lematang. Tidak hanya itu, di tempat penumpukan sementara pun, plastik kedap air (geomembrane) justru rusak dan sobek sehingga saat hujan turun, abu ikut mengalir ke sungai Lematang.
Di Bengkulu, berdasarkan laporan hasil pemantauan Kanopi Hijau Indonesia bahwa abu sisa pembakaran ditumpuk di TPS yang diduga tidak dikelola dengan baik. Truk pengangkut abu dari silo ke TPS tidak tertutup. Atas fakta-fakta di atas, FABA yang masuk dalam kategori limbah B3 saja tidak dikelolah dengan baik dan sesuai aturan, apalagi sekarang justru dikeluarkan dari limbah B3.
“Aturan ini akan menjadi ancaman kesehatan bagi warga Kota Bengkulu dan ancaman keselamatan sumber penghidupan bagi nelayan di pesisir barat Sumatera dan semua ini adalah muara dari aturam Omnibus Law yang sejak awal sudah ditolak oleh masyarakat secara luas, baik di akar rumput maupun para akademisi. Karena itu solusinya adalah membatalkan sumber dari peraturan ini yaitu UU Omnibus Law Cilaka” Kata Ali Akbar Ketua Kanopi Hijau Indonesia juga anggota koalisi.
Dalam laporan Analisis Timbulan & Kebijakan Pengelolaan Limbah B3 di Indonesia yang dikeluarkan oleh BAPPENAS disebutkan bahwa FABA termasuk dalam jenis limbah B3 terbanyak dihasilkan pada tahun 2019 [4]. Bahkan, Bottom Ash masuk dalam kategori limbah dengan tingkat bahaya tertinggi dengan skor 13 (dari skala 14), sedangkan Fly Ash memiliki skor 11 (dari skala 14).
Ketika FABA berstatus sebagai limbah B3 pun, banyak studi kasus yang menunjukkan perizinan belum berhasil memastikan perlindungan atas risiko. Para penghasil abu maupun pihak ketiga yang mengelola abu belum betul-betul mengelola risiko dan memenuhi persyaratan teknis yang layak sebagaimana diatur dalam regulasi.
Bahkan beberapa kasus menunjukkan pemilik izin melakukan pembuangan abu illegal tanpa pengelolaan di sungai, rawa, tanah kosong dekat rumah penduduk, maupun memberikan secara cuma-cuma kepada penduduk sebagai material urug. Kasus PT Indominco, Kalimantan Timur misalkan. Perusahaan ini sudah divonis bersalah karena pengelolaan buruk FABA, ternyata di lapangan tidak terjadi pemulihan. Nilai denda sangat kecil dan tidak membuat jera.
Di Indonesia, studi mengenai pencemaran lingkungan akibat FABA maupun dampak kesehatannya masih sangat terbatas. Informasi hasil pengujian air tanah tidak tersedia untuk diakses publik, sekalipun disyaratkan dalam pengelolaan limbah B3. Sementara, kegiatan berizin yang bertahun-tahun dianggap taat pun belum tentu benar. Seringnya, inspeksi serius dilakukan setelah keresahan masyarakat kian merebak, atau jika ada pengaduan masyarakat. Jika pun sanksi dijatuhkan, tidak selalu menjamin masyarakat terbebas dari pelanggaran berulang.
Anggota koalisi lainnya, Riki Pratama dari Mahupala FH UNIB mengatakan bahwa pemerintah harus diingatkan, limbah FABA akan menjadi ancaman bagi kesehatan dan penghidupan rakyat. Kebijakan ini seakan memberikan karpet merah bagi korporasi untuk cuci tangan dari kejahatan lingkungan.
“Maka atas dasar prinsip keadilan antar dan sesama generasi, kami selaku pemuda dan mahasiswa meminta negara mencabut omnibuslaw beserta peraturan perundangan dibawahnya untuk memberikan jaminan bahwa generasi sekarang dan yang akan datang dapat menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat” katanya.
Apabila pemerintah memiliki orientasi dan keinginan yang kuat pada upaya pembangunan yang mengedepankan keberlanjutan lingkungan hidup, mencegah bencana lingkungan dan masalah kesehatan masyarakat, pemerintah harus tetap mengatur FABA batubara sebagai jenis limbah B3. Penghapusan aturan yang terjadi saat ini dengan dalih mendorong pemanfaatan hanya akan berakhir sebagai langkah ekonomi yang berisiko tinggi.
Koalisi Langit Biru bersama Bersihkan Indonesia mendesak Presiden Jokowi untuk mencabut kebijakan yang menghapus FABA sebagai Limbah B3. Bersihkan Indonesia juga mendesak pemerintah untuk segera beralih ke energi terbarukan. Transisi energi harus dilakukan secara serius dan dimulai dengan kebijakan phase out batubara, bukan justru terus memfasilitasi industri energi batubara yang kotor, rakus dan serakah.