Bengkulu (Antara) – Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara di pesisir Kelurahan Teluk Sepang, Kota Bengkulu dikhawatirkan akan mengancam kelestarian pesisir dan perairan Bengkulu.

“Posisi tapak proyek itu berada di wilayah resapan air dan sempadan pantai, ini jelas akan merusak ekosistem pesisir,” kata Manajer Analisis Kebijakan Publik dan Analisis Hukum Lingkungan Walhi Bengkulu, Teo Reffelson di Bengkulu, Kamis.

Saat konsultasi publik dokumen antara Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang digelar Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Bengkulu, Teo mengatakan limbah PLTU juga akan dibuang ke laut.

Selain itu, proyek PLTU batu bara juga tidak masuk dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bengkulu.

“Justru saat ini RTRW provinsi sedang direvisi dan proyek ini didesakkan masuk, ini jadi pertanyaan besar,” ujar Teo.

Karena itu, ia meminta pemerintah menghentikan proyek PLTU batu bara berkapasitas 2 x 100 Megawatt (MW) yang didanai investor asal Tiongkok tersebut karena sudah menyalahi Perda RTRW Provinsi Bengkulu.

Lebih lanjut, Teo juga mengkhawatirkan terganggunya wilayah tangkap nelayan dengan keberadaan PLTU batu bara di pesisir pantai itu.

Sementara Ketua Kanopi Bengkulu, Ali Akbar menambahkan, debu pembakaran batu bara dari PLTU juga akan menjadi ancaman bagi masyarakat di sekitarnya.

Polutan beracun yang dihasilkan dari PLTU batu bara seperti merkuri, timbal, arsenik, kadmium, dan partikel halus lainnya dapat masuk ke dalam paru-paru hingga aliran darah yang berdampak buruk bagi kesehatan, seperti risiko penyakit jantung, strok, dan masalah pada paru-paru.

Padahal, kata Ali, kebutuhan listrik Bengkulu dapat terpenuhi tanpa kehadiran PLTU. Sejumlah pembangkit ramah lingkungan yang kini dibangun di sejumlah titik seperti listrik tenaga air, geothermal di Kabupaten Lebong dan Rejanglebong lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik daerah.***1***