Kanopi Bengkulu- Proyek pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara yang dibangun PT Tenaga Listrik Bengkulu (TLB) di pesisir Kelurahan Teluk Sepang mulai menuai masalah.
Kekhawatiran masyarakat akan proyek yang sudah ditentang sejak kemunculannya ini mulai terbukti. Persoalan pertama muncul terkait tenaga kerja yang mengerjakan konstruksi.
Puluhan tenaga kerja lokal dari masyarakat Teluk Sepang dipecat oleh perusahaan lalu digantikan dengan tenaga kerja asal Pulau Jawa.
Hal ini mengundang reaksi keras dari 60 orang warga lokal yang sudah bekerja selama dua bulan untuk membangun mess pekerja PLTU. Selama dua bulan bekerja membangun mess, gaji tenga kerja harian lepas itu belum dibayarkan.
Tidak hanya gaji yang belum dibayarkan, mereka pun diberhentikan secara sepihak dan digantikan dengan pekerja asal luar daerah berjumlah 85 orang yang didatangkan perusahaan dari luar Kota Bengkulu, tepatnya Jawa Barat.
Sekedar mengingatkan bahwa saat peletakan batu pertama PLTU pada Oktober 2016, ratusan warga Kelurahan Teluk Sepang berunjukrasa menolak proyek yang hanya berjarak 1,5 meter dari permukiman mereka.
Menggunakan pakaian serba putih, warga saat itu berupaya memblokade jalan yang dilalui para pejabat dan pihak terkait yang akan menghadiri seremonial peletakan batu pertama.
Aksi ini pun mendapat reaksi dari aparat penegak hukum yang saat itu dipimpin Kapolres Kota Bengkulu, Ardian Indra Nurinta. Sejumlah perwakilan masyarakat pun diajak bernegosiasi yang dipimpin Plt Sekda Provinsi Bengkulu yangg saat itu dijabat Sudoto.
Ada beberapa poin yang ditandatangani warga dalam kesepakatan itu, salah satunya menyangkut tenaga kerja lokal. Intinya, para pekerja lokal akan diutamakan untuk terlibat dalam proses konstruksi dan pasca-kontruksi.
Namun, kesepakatan itu mentah dengan pemecatan 60 orang buruh harian lepas. Pekerja lokal yang hendak digantikan pekerja asal luar daerah itu pun protes.
Pada 25 dan 26 Juli 2017, mereka mendatangi lokasi tapak proyek PLTU menuntut pembayaran gaji dengan nilai masing-masing berkisar Rp300 ribu dan menolak diberhentikan atau digantikan dengan pekerja lain.
“Kami sudah bekerja membangun mess perusahaan selama dua bulan dan gaji belum dibayar. Sekarang malah mau digantikan dengan pekerja luar daerah, kami tidak terima,” kata Amarlihan, salah seorang pekerja harian lepas.
Atas kondisi ini, Yayasan Kanopi yang sejak awal menemani dan memberikan warga pemahaman tentang dampak buruk PLTU mendesak pihak perusahaan segera membayarkan gaji yang merupakan hak para pekerja.
“Konflik ini sudah kami prediksi sejak awal, karena kasus serupa terjadi di hampir seluruh lokasi pembangunan PLTU,” kata Ketua Yayasan Kanopi, Ali Akbar.
Salah satu contoh adalah PLTU Celukan Bawang, di Provinsi Bali terdapat permasalahan dokumen tenaga kerja di mana tenaga kerja asing asal Tiongkok mendominasi jumlahnya.
Ia pun kembali menekankan bahwa PLTU bukan solusi untuk memenuhi kebutuhan energi masyarakat Bengkulu dan Indonesia.
Pembakaran batu bara untuk menghasilkan daya listrik sudah terbukti menurunkan kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat di mana proyek itu berdiri.
Di sisi lain, Provinsi Bengkulu tambah Ali memiliki segudang potensi energi baru dan terbarukan seperti tenaga angin, surya, air dan panas bumi.
PLTU Teluk Sepang yang dibangun PT TLB atas sokongan dana pinjaman dari salah satu bank asal Tiongkok diproyeksi akan beroperasi pada 2019 dengan daya 2 x 100 Megawatt.
Sejak awal, warga Kelurahan Teluk Sepang menolak pembangunan proyek ini terkait kekhawatiran atas pencemaran udara dan laut serta kehilangan wilayah tangkap ikan bagi nelayan setempat.
Link terkait PLTU Teluk Sepang
https://www.youtube.com/watch?v=1mqc-EOJy_k
https://www.youtube.com/watch?v=MRKd60NLuGI
http://regional.kontan.co.id/news/warga-bengkulu-tolak-pembangunan-pltu-batubara
http://bengkulu.antaranews.com/berita/39844/warga-bengkulu-tolak-pembangunan-pltu-batubara
http://www.rmolbengkulu.com/read/2016/10/25/2751/Warga-Teluk-Sepang-Tolak-PLTU-Batubara-