Kanopi – Kabupaten Bengkulu Tengah khususnya Kecamatan Taba Penanjung dikenal sebagai “sarang” batu bara di wilayah Provinsi Bengkulu. Pertambangan batu bara pertama di Provinsi Bengkulu juga terdapat di wilayah ini sejak 1983.
Setelah 35 tahun pertambangan beroperasi di daerah ini, masyarakat mulai sadar bahwa mereka tidak mendapatkan apa-apa. Yang tersisa hanya limbah halus batu bara yang merusak bahkan mematikan Sungai Kemumu hingga ke Sungai Air Bengkulu.
“Dulu air sungai ini jernih sekali, banyak batu-batu besar dan kayu besar di pinggirnya. Kami bisa berenang, mengambil air minum dan mencari ikan di sungai ini,” kata Romsi, warga Desa Penanding, Kecamatan Taba Penanjung, mengenang masa kecil di desa kelahirannya itu.
Kini sungai yang dulunya berair dalam telah dangkal dipenuhi sedimen tanah, pasir dan batu bara yang terbawa dari area penambangan di hulunya. Sedangkan kayu di kiri dan kanan sungai sudah gundul. Warna air sungai kadang hitam, kadang kuning dan lebih sering berwarna abu-abu.
Menurut Romsi, perubahan drastis kondisi sungai di tepi desanya itu bermula saat tambang batu bara mulai beroperasi di daerah aliran sungai Kemumu dan Penawai. Saat itu, warga tidak punya gambaran dampak yang akan mereka terima atas operasi pengerukan emas hitam itu.
Saat air mulai berubah warna, masyarakat desa pun meminta pemerintah menyediakan instalasi air bersih dan berhenti mengggunakan air sungai. Namun, setelah berpuluh tahun, kondisi sungai semakin memprihatinkan, ikan tak lagi terlihat bahkan warga pun tak berani lagi mandi di dalamnya.
“Kalau mandi siaplah gatal-gatal seluruh badan, justru penyakitan kalau sering masuk sungai ini,” ucapnya.
Tumpukan batu bara yang terbawa dari hulu di mana lokasi penambangan berada mulai dikais oleh warga untuk mendapatkan rupiah. Risiko penyakit kult pun tak mereka hiraukan demi mengumpulkan Rp10 ribu per karung isi 60 kilogram batu bara.
Romsi mengatakan, bila boleh memilih maka ia menginginkan masa-masa aliran sungai yang bermuara di Kota Bengkulu itu jernih, penuh bahan pangan berupa ikan segar.
Air sungai di tepi Desa Penanding merupakan perpaduan tiga aliran sungai dari wilayah hulu di kawasan Hutan Lindung Bukit Daun. Tiga sungai yang mengalir menjadi satu yang disebut warga sebagai aliran Sungai Muara Tiga adalah Sungai Rindu Hati, Kemumu dan Penawai.
Dari ketiga sungai tersebut, Sungai Kemumulah yang kondisi pencemarannya paling parah. Diikuti Sungai Penawai dan Sungai Rindu Hati yang beberapa waktu belakangan mulai membawa butiran batu bara.
Selamatkan Mata Air
Sungai Rindu Hati dan Sungai Susup yang berpuluh tahun menjadi sumber air bagi ratusan hektare areal persawahan di Kecamatan Taba Penanjung mulai terusik dengan pertambangan batu bara terbuka di kawasan itu.
Adalah PT Bara Mega Quantum yang mendapat izin kuasa pertambangan batu bara di tiga bukit yang menjadi hulu sungai tersebut yakni Bukit Ndu Besar, Bukit Ndu Kecil dan Bukit Rapia. Sebelum tahun 2011, ketiga bukit ini berstatus Hutan Lindung (HL). Masyarakat sekitar hutan yakni warga Desa Rindu Hati, Surau, Taba Teret, Taba Baru dan Tanjung Heran telah merawat hutan tersebut turun temurun karena mengetahui fungsinya sebagai mata air, sumber kehidupan.
“Di sekitar bukit Ndu Besar dan Ndu Kecil juga terdapat situs-situs yang kami yakini peninggalan leluhur. Kalau bukit itu digali demi batu bara, kami akan kehilangan mata air sekaligus situs bersejarah,” kata Fahid Alfisah.
Warga mempertanyakan keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mengalihkan status kawasan Bukit Ndu yang selama selama ini merupakan Hutan Lindung menjadi hutan produksi terbatas.
Selama ini kata Fahid, kawasan hutan itu dijaga oleh masyarakat karena menjadi sumber mata air bagi kebutuhan sehari-hari, namun diturunkan fungsinya demi mengeruk batu bara di dalamnya.
Keinginan menyelamatkan mata air yang menjadi sumber kehidupan warga, masyarakat dari lima desa menggugat izin pinjam pakai kawasan hutan produksi terbatas itu oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan ke Pengadilan Tata Usaha Negeri (PTUN) Bengkulu.
Bila izin pinjam pakai kawasan hutan seluas 1.600 hektare tersebut dikupas demi batu bara, maka masyarakat tinggal menunggu bencana alam dan bencana kelaparan.
Sebab, air Sungai Rindu Hati dan Sungai Susup selain menjadi tumpuan bagi masyarakat untuk mendapatkan air bersih, juga mengairi hamparan persawahan di Kecamatan Taba Penanjung seluas 700 hektare.