Pekanbaru – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menangkap Anggota DPR RI, Eni Maulani Saragih, dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Jumat 13 Juli 2018. Selaku Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, ia ditetapkan sebagai Tersangka karena telah menerima suap dengan total 4,8 miliar dari Johannes B Kotjo selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited. Suap ini diduga untuk memuluskan proses penyusunan dan penandatanganan proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap-Mulut Tambang (PLTU-MT) Riau-1.
Proyek PLTU Riau-1 yang berkapasitas 2 X 300 MW ini rencananya akan dibangun dengan bekerja sama antara PT PLN, PT PJB, Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineerin. PT Samantaka yang merupakan anak usaha dari Blackgold Natural Resources, diketahui beroperasi di Provinsi Indragiri Hulu, Riau dengan wilayah konsesi seluas 15.000 ha dan mempunyai lebih dari 500 juta ton sumber daya batu bara akan dipastikan sebagai pemasok batu bara PLTU MT-Riau 1.
Kasus korupsi ini turut pula memperlihatkan bahwa proses awal dari pembangunan PLTU-MT Riau-1 sudah banyak menyalahi prosedur dan terkesan dipaksakan seperti penunjukan pihak secara langsung tanpa melalui lelang, tidak transparan dan melibatkan pihak yang sedang bermasalah secara hukum, salah satunya China Huadian Engineering Coorporation (CHEC). Perusahaan ini adalah pengembang beberapa proyek pembangunan PLTU bermasalah di Indonesia seperti PLTU Celukan Bawang di Bali dan PLTU MT Sumatera Selatan 8 di Sumatera Selatan.
Dalam kasus suapnya sendiri, selain menetapkan Eni Saragih dan Johannes sebagai Tersangka, KPK turut pula menetapkan suami dari EMS yakni Muhammad Al-Khafidz sebagai Tersangka. Bupati Temanggung terpilih ini ditetapkan Tersangka oleh KPK sehari diperiksa oleh KPK. Diduga uang suap mengalir untuk dana kampanye Al-Khafidz sewaktu menjadi Calon Bupati. Selain itu KPK terus mengembangkan kasus ini dengan menggeledah rumah Direktur Utama PT PLN, Sofyan Basir.
Dalam hal ini, LBH Pekanbaru mendorong agar KPK terus mengembangkan penyidikan perkara ini lebih lanjut karena suap PLTU MT Riau-1 ini berkaitan dengan pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW se-Sumatera. Proyek pembangunan sumber listrik tersebut terlalu dipaksakan sehingga peluang untuk korupsinya menjadi tinggi dengan dalih demi percepatan pembangunan dan pemenuhan pasokan daya di Sumatera dan Indonesia. Padahal menurut RUPTL 2018, pasokan daya di Sumatera sendiri telah surplus sebanyak 2.000 MW, sehingga tidak ada alasan mengorbankan lingkungan lagi demi alasan-alasan tidak masuk akal.
PLTU MT Riau-1 juga berpotensi merusak lingkungan di sekitar lubang tambang dan PLTU. Air akan tercemar dari limbah yang dihasilkan oleh PLTU dan tambang batu bara. Tanah dan hutan akan hilang dan berganti menjadi lubang yang menganga, walau direklamasi, prosesnya akan panjang dan membutuhkan biaya yang besar. Udara akan tercemar oleh debu tambang batu bara dan asap (fly ash) dari PLTU. Manusia akan terkena dampak langsung dan akan mengalami penyakit paru hitam (black lung) dalam jangka panjang yang tidak bisa dicegah maupun diobati.
Maka LBH Pekanbaru mendesak kepada Pemerintah baik Pusat maupun Daerah untuk kembali meninjau pembangunan pembangkit listrik di Tanah Air khususnya di Sumatera. Karena kasus suap ini tidak hanya terjadi di pembangunan PLTU Riau-1 saja namun juga dapat terjadi di pembangunan PLTU lainnya seperti di Bengkulu, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan daerah lainnya. Sehingga sudah sepantasnya Pemerintah Pusat dan Daerah menangguhkan terlebih dahulu pembangunan PLTU yang telah direncanakan atau bahkan menghentikan untuk selamanya karena dirasa lebih banyak kerugian daripada manfaat yang akan dirasakan oleh rakyat dan lingkungan hidup. (rls)
Pekanbaru, 16 Juli 2018
LBH Pekanbaru YLBHI
Narahubung: 081277741836